15

Suara air di kamar mandi berhenti. Kurasakan langkah seseorang di belakangku, namun aneh dia tidak menyapaku. Kuberjalan ke ruang depan untuk menitipkan pesan perihal pecel yang kubawa. Namun Rima dan Nurma masih pulas tertidur di depan tivi.

"Hah? Jadi yang tadi, siapa?" gumamku.

Kutengok ke dalam kamar ibu, dan ibu pun masih tertidur. Mungkin aku salah lihat. Aku bergegas pulang karena aku pun harus menyiapkan sarapan untuk mas Pamuji dan anak-anak. Kutinggalkan pesan di secarik kertas kemudian kuletakan di meja makan.

Sesampainya di rumah mas Pamuji sedang bermain dengan Bagas dan juga Tika, mereka berebut perhatian ayahnya untuk bermain mainan baru masing-masing. Mas Pamuji terlihat kewalahan namun wajahnya terlihat sangat bahagia.

Aku yakin mas Pamuji tidak sengaja memanjakan ibu, dia hanya tahu kalau ibu minta pasti ibu sedang butuh, tanpa tahu kebutuhan apa yang diinginkan ibu.

Hari ini setelah Bagas pulang sekolah aku mengajak mereka pergi ke rumah ibu. Tadi Nurma menelponku beberapa kali, dia memintaku datang karena banyak tetangga yang menjenguk ibu. Benar saja, ketika sampai di sana ada Bu Wandi dan Bu Lilis yang sedang berbincang dengan ibu di kamar.

Aku bisa menduga mereka yang datang sebagian besar bukan karena peduli, tapi karena penasaran. Setelah menengok ibu mereka akan dapat bahan gosip baru.

Aku juga tidak mengerti pada ibu, ketika ada yang menjenguknya dia akan bertingkah berlebihan dengan memasang wajah yang menderita. Lalu setelah tamu itu pergi dia akan kembali bersikap biasa.

Kebetulan kemarin mas Pamuji membelikanku kuota, saat sedang beristirahat kuscroll sebuah aplikasi berwana hijau. Ada yang menggelitik sampai membuatku ingin tertawa, apalagi kalau bukan setatus-setatus yang dibuat oleh ibu.

Ibu mengupdate statusnya hampir setiap 30 menit sekali, ada kata bijak yang berkaitan dengan keadaannya, ada foto saat dirinya diinfus, foto obat, dan juga foto berbagai pemberian dari tetangga-tetangga yang menjenguknya disertai ucapan terimakasih.

Pantas saja banyak yang datang, lewat statusnya di media sosial ibu memperlihatkan betapa memprihatinkan keadaannya sekarang. Ibu seharusnya bisa memilah mana yang baik untuk diposting maupun tidak, namun ibu justru sengaja mengumbar keadaan untuk mencari perhatian. Mertuaku benar-benar seperti abege.

Nurma merebahkan tubuhnya di kasur depan tivi, wajahnya kelihatan sangat lelah, aku hanya meliriknya, karena aku memang sengaja tidak banyak membantu kesibukan di rumah ini.

"Akhirnya ... bisa ngelurusin pinggang juga," ucapanya sambil menikmati kasur.

"Tadi pagi Mbak Sekar dateng jam berapa?" tanya Rima, yang menyusulku duduk di sofa.

"Habis subuh, aku ketok-ketok pintu depan nggak ada yang bangun," jawabku.

"Iya, habis ngantuk dan capek banget, dari semalem tamu udah mulai dateng," ucap Rima sambil memainkan hapenya juga.

"Iya, mana ibu nggak mau pake pempers, jadi bolak balik ke kamar mandi terus," keluh Nurma.

Aku ingat dengan orang di kamar mandi tadi pagi, ingin kutanyakan tapi sepertinya bukan sesuatu yang penting.

"Ntar malem gantian kamu, Sekar!" lanjut Nurma berlagak menyuruhku.

"Enak aja, kalianlah yang anaknya ibu!" tolakku.

"Kan kamu juga anak menantu," lanjut Nurma.

"Giliran nggak enak aja baru nyebut-nyebut menantu," ucapku lagi sedikit kesal.

"Ya kamu kan ngewakilin mas Pamuji," ucap Nurma tidak mau kalah.

"Mas Pamuji kan udah bayar biaya rumah sakitnya, jadi sisanya tugas kalian." Nurma akhirnya diam mendengar jawabanku, wajahnya terlihat kesal.

"Sudah-sudah." Rima melerai perdebatan kami.

"Lagian Mbak Sekar subuh-subuh udah nganterin sarapan buat kita, sama aja Mbak Nurma," lanjut Rima.

"Tuh Rima malah lebih pinter dari kamu," ucapku membuat Nurma semakin kesal.

"Aku pulang dulu, sebentar lagi mas Pamuji pulang," pamitku karena hari menjelang petang, kuajak Bagas dan Tika yang asik bermain pasir untuk pulang.

"Besok bikin sarapan lagi ya, Mbak," pesan Rima.

"Kalau sempet," jawabku seraya pergi.

Setelah sampai di ujung gang antara rumahku dan rumah ibu, tiba-tiba kami dicegat oleh ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan warung Mbak Yuyun. Kusuruh Bagas dan Tika untuk pulang terlebih dahulu sementara aku harus meladeni ibu-ibu yang penasaran ini.

"Kenapa manggil aku, Bu Midah?" tanyaku basa basi.

"Sini Mbak Sekar, kami lho penasaran, kata Mbak Yuyun mertuamu itu sakit karma, karena sering kecentilan sama suami orang, apa bener, Mbak Sekar?" tanya bu Midah yang sukses membuat dahiku mengkerut.

"Kenapa ibu-ibu ini nggak nengokin sendiri aja, jadi tahu kondisi ibu gimana," ucapku sedikit mempermainkan mereka.

"Kami mau nengok ... cuma males, ibumu kalo ada orang sakit aja nggak pernah nengok," jawab Bu Lamah.

"Eh, Mbak Sekar, aku kasih tahu ya, kenapa anak-anaknya bu Susi itu kawinnya sama orang jauh semua," ucap bu Midah mencoba memancingku.

"Karena orang deket sini pada nggak mau besanan sama orang kaya bu Susi, bisa sial 7 turunan, kalau orang jauh kan nggak tahu sifatnya bu Susi jadi mereka mikirnya Susi orang yang baik," ucap bu Lamah melanjutkan kalimat bu Midah.

"Iya, kayak Mbak Sekar ini kan juga orang jauh," lanjut bu Midah.

"Ibu-ibu ini bisa aja, udah Bu, maafin ibu mertuaku kalo dia punya salah, doain aja biar ibu tobat nggak ngelakuin hal-hal yang ibu-ibu bilang tadi, doain juga biar mertuaku cepet sehat, nggak nengokin juga nggak papa yang penting doanya," ucapku berusaha tidak terpancing, andai mereka tahu bahwa aku pun ingin berkata kasar.

"Mbak Sekar, nggak perlu didoain kami mah yakin bu Susi bakalan sembuh, dia sakit aja kita nggak yakin, makanya ini nanya cuma pengen mastiin," ucap bu Midah.

"Lagian Mbak Sekar, dimana-mana orang jahat itu umurnya panjang," timpa bu Lamah.

"Astagfirullohaladzim," ucapku berlagak simpati, padahal hatiku mengiyakan ucapan mereka, hampir semua yang mereka katakan itu fakta. Apa aku durhaka? Entahlah.

"Jangan begitu Buibu, doain yang baik-baik aja," ucapku berusaha terlihat tidak memihak mereka.

"Udah buibu jangan ngomongin mertuaku terus, nggak takut apa kalau dosa ibu mertuaku pindah ke ibu-ibu semua. Dah, aku pamit dulu, assalamualaikum."

"Eh, Mbak Sekar, sebentar," cegah bu Lamah.

"Apa lagi Bu Lamah?" tanyaku sedikit malas.

"Dengerin nasehat saya nih, Mbak Sekar. Katanya kalo orang tuanya tukang selingkuh ada kemungkinan anaknya juga punya bakat selingkuh, hati-hati awasi terus si Pamuji jangan sampe kelolosan," tutur bu Lamah.

"Hah? Masa sih? Mas Pamuji baik kok selama ini," bantahku.

"Ya belum aja kali, pokoknya harus diawasin, wong bibitnya aja kaya gitu," ucap bu Midah sambil menunjuk ke arah rumah ibu mertuaku pada kata terakhirnya.

"Jangan bikin rusuh buibu," ucap mbak Yuyun yang baru datang.

"Mas Pamuji mah baik, dia mirip almarhum bapaknya," lanjut mbak Yuyun.

"Oh iya juga sih, yang nerusin bakat centil mah anak-anak ceweknya," timpa bu Midah.

Kutinggalkan mereka yang masih asik berkasak-kusuk, aku malas karena pembahasan mereka akan meleber kemana-mana. Dulu ibu sering menjelek-jelekan aku pada tetangga, tapi entah kenapa lama kelamaan para tetangga ini justru menjauhi ibu dan tanpa canggung mereka berbalik membicarakan ibu padaku.

Miris rasanya mendengar setiap orang membicarakan ibu, walaupun sebelum kejadian ini mereka pun terbiasa menggunjing penampilan ibu, namun setelah ibu sakit mereka makin gencar dan omongan yang kudengar semakin liar.

Tidak ada asap tanpa api, bagaimana pun perilaku ibu sendiri yang memancing orang-orang untuk membicarakannya, bahkan beberapa dari mereka terang-terangan membenci ibu. Entah karena berselisih paham, saling saing membeli barang yang tidak perlu, atau juga karena uang. Andai ibu mertuaku ini lebih bijak menjalani kehidupannya.

Tepat setelah aku selesai memandikan Bagas dan Tika, mas Pamuji pulang. Dia menghampiriku dengan setengah berlari, wajahnya tampak senang.

"Sekar ..., " panggilnya.

"Iya, mas, kenapa?" tanyaku sambil melihat sebuah map yang di tenteng mas Pamuji dengan bahagia.

"Aku dipromosiin naik jabatan," ucap mas Pamuji.

"Alhamdulillah," seruku seketika.

"Iya, dan di jabatan ini aku diberi inventaris mobil," lanjut mas Pamuji.

"Hah? Mobil?"

.

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!