Gaji Mas Pamuji

Aku ingat seminggu setelah menikah mas Pamuji memboyongku ke rumahnya, rumah ibu mertuaku. Saat itu Nurma terus saja mencari masalah hingga kami sering bertengkar, dan dulu ibu mertuaku masih baik, atau mungkin tepatnya masih pura-pura baik. Karena pada akhirnya aku memergoki mereka sedang menggunjingku.

Mas Pamuji yang kasian padaku akhirnya nekat mengambil pinjaman ke bank untuk membeli rumah. Kebetulan ada rumah yang sedang di jual tidak jauh dari rumah ibu. Keputusan mas Pamuji waktu itu ditentang oleh ibunya mengingat selama ini mas Pamuji yang menanggung kebutuhan rumah ini. Ibu terus menggunjingku karena masalah rumah, namun sepertinya beliau belum berani berterus terang mengucapkan kalimat-kalimat sadisnya di depanku.

Awal-awal kami memiliki cicilan bank ibu masih menuntut jatahnya, lama kelamaan mas Pamuji berterus terang kalau dia tidak bisa lagi memberi pada ibu. Sejak saat itu ibu yang selalu bersikap manis pada mas Pamuji mulai berkata kasar dan mengucap kata durhaka dengan mudahnya. Setelah cicilan kami selesai dan mas Pamuji mulai memberi ibu jatah lagi, ibu kembali bersikap baik dan manis.

Sebetulnya ibu memiliki warisan sawah dan pekarangan yang bila diolah pasti menghasilkan, tapi ibu tidak berminat pada bidang itu. Sehingga satu persatu tanah itu dijual untuk memenuhi kebutuhan, maksudku gaya hidup ibu. Uang hasil penjualannya pun selalu habis dalam waktu singkat.

Warisan terakhir yang dimiliki ibu adalah dua bangunan ruko kecil yang aku pikir sewanya sangat cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan ibu karena dia hanya seorang diri sekarang. Namun entahlah uang-uang itu habis entah kemana sampai jatah dari mas Pamuji selama ini dibilang kurang.

"Biarin aja mereka, Sekar," ucap mas Pamuji setelah kuceritakan kedatangan Nurma tadi siang.

"Kita harus terbiasa lagi sama sikap mereka yang kaya gitu, nggak usah dipikirin, kayak baru pertama kali aja digituin sama mereka," lanjut mas Pamuji sambil menyesap tehnya.

"Iya sih."

"Yang penting kebutuhan Bagas dan Tika terpenuhi, kita nggak kekurangan, dan ada lebihan sedikit buat ibu. Sukur-sukur kita bisa nabung, Kar. Aku harus tegas demi anak-anak, tebelin aja kuping kita, lama-lama mereka juga capek. Nggak usah dibahas apalagi dibalas, biarin aja, Kar," lanjut mas Pamuji.

Kuperhatikan raut wajah mas Pamuji, dia seperti tidak suka ketika kuceritakan tentang saudarinya. Aku menyadari, seburuk apapun kelakuan Nurma dan ibu, mereka tetaplah keluarga, dan mas Pamuji sangat menyayangi mereka. Dan aku sangat mengagumi sifat mas Pamuji yang penyayang, keluarganya saja yang banyak tingkah dan keterlaluan.

Andai kita bisa akur, pasti akan lebih baik. Disini aku menyadari, mas Pamuji memang memihakku dengan lebih mementingkan kebutuhanku dan anak-anak, serta mempertimbangkan saran-saranku dibanding saran saudari atau ibunya. Tapi aku tidak boleh gegabah dengan terus membicarakan kejelekan mereka karena hal itu membuat mas Pamuji semakin sedih. Keadaan yang memaksa mas Pamuji harus memilih diantara kami saja, sudah cukup membuat suamiku sedih.

"Iya, Mas. Makasih ya udah bertanggung jawab sama kami," ucapku tulus pada mas Pamuji.

Keinginanku untuk memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anak akan segera terwujud, bahkan tanpa harus berpisah dengan mas Pamuji. Nikmat mana lagi yang kudustakan.

"Udah kewajibanku, Sekar. Makasih juga udah sabar ngertiin aku sama keluargaku selama ini, pasti nggak gampang, tapi kamu paksa diri kamu buat bertahan."

Keluarga kecil kami menghangat, tidak ada lagi drama kehabisan beras sampai beras setengah gelas harus kumasak menjadi bubur agar menjadi banyak dan cukup untuk kami semua. Dan kami sudah mulai bisa makan dengan sayur dan lauk secara bersamaan.

Aku sangat bersyukur, kudoakan suamiku agar rezekinya dilancarkan dan berkah untuk kita semua. Begitu pun anak-anak yang mendoakan ayahnya.

Tiba saat awal bulan, hari yang kutunggu untuk tahu berapa nominal yang akan diberikan oleh mas Pamuji. Aku tidak sabar untuk segera melunasi tunggakan SPP Bagas.

Saat mas Pamuji pulang Bagas dan Tika menyambutnya dengan riang, keduanya berebutan ingin bercerita apa saja yang mereka alami hari ini. Kusuguhkan teh manis hangat sebagai pelepas dahaga, barangkali mas Pamuji kehausan karena harus meladeni celoteh kedua anaknya.

"Sekar, kamu dimana?" panggil mas Pamuji ketika aku sedang memasak di dapur kami yang sederhana.

"Lagi masak, Mas!" teriakku merespon panggilannya.

Mas Pamuji mendatangiku dengan membawa sebuah amplop di tangannya.

"Ini Sekar, uang gajiku," ucap mas Pamuji seraya mengulurkan amplop kepadaku.

"Berapa, Mas?" tanyaku penasaran.

"Hitung aja," jawabnya pendek.

"Wah! Sebanyak ini? Terimakasih, Mas."

Aku pernah memegang uang sebanyak ini ketika dulu aku masih bekerja. Dan baru kupegang lagi sekarang setelah 8 tahun berlalu. Lucu sekali.

"Iya, jangan lupa bayar SPP Bagas dan kalau bisa ditabung barang sedikit," lanjut mas Pamuji.

"iya, Mas. Apa hutang kita kemarin udah Mas bayar?"

"Udah. Mas dapet salam tempel juga dari beberapa supplier, lumayan Sekar."

"Alhamdulillah," gumamku.

"Mungkin rezeki ini datang karena kamu dan anak-anak seneng, Sekar, jadi Alloh tambah rezeki mas." Aku tersenyum mendengar ucapannya, memang benar akhir-akhir ini aku begitu bahagia dan doa-doa meluncur begitu saja untuk mas Pamuji, begitu juga anak-anak yang dengan polosnya mendoakan ayahnya disela-sela senyum.

Kini aku percaya pada perkataan bude Rum, bahwa doaku bisa menjadi keberuntungan untuk mas Pamuji, bisa juga melindunginya dari doa-doa dan perkataan buruk ibu. Aku semakin bersemangat dan berpikir positif.

"Lalu ibu?" tanyaku.

"Ibu kuberi sejuta," jawab mas Pamuji, jatah ibu turun banyak.

"Hem, bagaimana kalau ditambah beras, gula, minyak, dan kebutuhan dapur lainnya?" usulku.

"Nggak usah sejuta aja cukup," tolak mas Pamuji.

"Begini, Mas. Dengan uang itu ibu pasti lebih mementingkan arisan dan kegiatan sok sosialita lainnya, untuk kebutuhan makan pasti ibu lupa, nanti ujung-ujungnya minta lagi, karena alasannya untuk makan pasti Mas nggak akan tega kalau nggak ngasih," terangku memprediksi sifat dan kebiasaan ibu.

"Nggak papa sembakonya nanti beli dari jatahku, kita hanya harus membiasakan ibu dengan sekali saja memberinya uang, agar ibu bisa membaginya dan menyusun skala prioritasnya sendiri. Selama ini kan ibu nggak peduli tanggal berapa aja setiap uangnya habis pasti minta dan selalu Mas kasih, jadi ibu seenaknya tanpa tahu keadaan kita."

"Iya juga," gumam mas Pamuji.

"Yang penting ibu nggak kelaperan, kalau uang yang kita kasih, pasti larinya entah kemana, hal-hal yang kurang bermanfaat, kalau sembako ya pasti buat makan ibu," lanjutku.

"Tapi kamu nggak papa jatahnya dipotong lagi?" tanya mas Pamuji ragu.

"Nggak papa, Mas."

"Makasih, Sekar. Padahal ibu dan adikku udah jahat sama kamu, tapi kamu masih peduli sama mereka, dan memikirkan kebaikan mereka," ucap mas Pamuji terharu.

"Mas yang bilang, kita nggak boleh bales jahat sama mereka."

Mas Pamuji reflek memelukku. Beban hati mas Pamuji pastilah berat, aku tidak bisa meringankannya, aku hanya bisa berusaha untuk tidak menjadi salah satu beban hatinya. Aku sangat bahagia karena mas Pamuji membuktikan janjinya untuk tegas dan adil dalam membagi gajinya.

"Mas Pamuji! Mas Pamuji ... Mas ...!" teriak seseorang dari luar sana.

"Nurma?"

Kami berdua langsung berlari ke depan menemui Nurma yang berteriak seperti kesetanan.

"Ada apa, Nur?" tanya mas Pamuji, wajah Nurma terlihat panik.

"Ibu ... ibu, Mas. Ibu ... ping--san di kamar mandi," ucap Nurma ngos-ngosan, nampaknya dia berlari kemari.

"Astaga."

"Cepet bawa ibu ke rumah sakit, Mas!" lanjut Nurma.

Mas Pamuji segera berlari di susul Nurma. Kuhampiri Bagas untuk menyuruhnya menjaga Tika, kemudian menyusul mereka.

Sampai di rumah ibu, sudah ada Pak Dayat dengan mobilnya. Mas Pamuji menggendong ibu hendak masuk ke mobil diikuti Nurma di belakangnya. Aku pun mendekat, namun baru beberapa langkah Nurma mendorongku.

"Kamu nggak usah ikut, puas kamu Sekar udah bikin ibu sakit?!" hardiknya.

.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Umi Salamah

Umi Salamah

Nurma, lo tuh adik ipar tpi gk ada hormat2'y manggil yg lbh tua pdhl kamu jg seorg istri gmn klu yg Sekar alami terjdi dlm rmhtangga Lo😤

2022-11-21

0

Uthie

Uthie

Konflik rumah tangga yg biasa terjadi... banyak menguras emosi .. namun pembelajaran 👍

2022-08-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!