3

"Maafkan aku, Sekar!" ucap mas Pamuji sesenggukan.

"Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu atau pun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"

'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.

Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan.

"Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."

Kulepas pelukan mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?

"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya.

"Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku.

"Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi.

"Mas bebas menemui mereka nantinya, kita akan bersikap seolah semua baik-baik aja," jawabku mantap.

"Sekar ...," rintihnya memelas padaku.

"Ini juga berat untukku, Mas. Aku berusaha bersikap baik dengan nggak menggaduhkan masalah ini, aku bisa saja marah-marah dan menuntut semua di depan ibu, tapi apa itu akan membuat ibu berubah? Aku rasa enggak, aku pendam dan terus memendam semua, Mas! Berusaha mencari jalan terbaik dan sedamai mungkin."

"Kenapa kamu begitu yakin akan bisa membahagiakan mereka Sekar? Kamu mau kerja apa?" tanya mas Pamuji.

"Apa saja, Mas. Aku yakin karena Alloh akan memindah rezeki Bagas dan Tika yang semula datang lewat tangan Mas ke tanganku," jawabku dengan yakin.

Sebenarnya aku mendapatkan tawaran pekerjaan dari Puji di sebuah pabrik garmen di dekat rumah mas Anjar. Puji adalah sahabatku dari kecil, aku telah banyak berkeluh kesah padanya sehingga dia membantuku mencari pekerjaan untuk menyelesaikan masalahku.

Mas Pamuji diam tanpa bisa mendebat argumenku. Dia terlihat berpikir untuk bisa menahanku disini.

"Jadi, Mas mau nganterin kami atau enggak? Hari semakin sore nanti kita kehabisan bus."

Dengusan nafas mas Pamuji terdengar berat, kemudian dia berdiri dan meraih pintu lemari.

"Aku antar," ucapnya singkat.

"Mas ...," panggilku pada mas Pamuji dan berhasil membuatnya berhenti membuka setengah pintu lemari.

"Talak aku sebelum aku pergi."

"Sekar!" bentak mas Pamuji dan membuatku sedikit terkejut.

"Pikirkan lagi, aku memang membebaskan kamu pergi sekarang, tapi tidak untuk buru-buru ke arah sana!" Bila tadi mas Pamuji terlihat sedih, sekarang dia terlihat marah.

"Dua tahun bukan waktu yang buru-buru, setiap hari aku semakin tercekik dengan gaya hidup ibumu yang tinggi, Mas harus segera menalakku agar putus ikatan kita di depan Alloh," ucapku sedih.

"Aku ingin mengambil rezekiku sendiri dan juga rezeki anak-anak dari tanganmu, Mas! Jika ikatan kita putus Alloh akan kembalikan jalan rezeki itu ke tanganku. Aku ingin hidup layak dengan anak-anak, aku mohon, Mas, andai Mas bisa pahami betapa menderitanya aku selama ini," lanjutku berusaha meyakinkan mas Pamuji.

"Rezeki, maut, jodoh itu sudah diatur, Sekar!" ucap mas Pamuji.

"Memang, Mas. Mungkin juga jodoh kita cuma sampai sini."

Mas Pamuji kembali mendengus kasar, dia berbalik dan meneruskan aktifitasnya.

"Tunggu aku di luar!" perintah mas Pamuji tanpa memperdulikan permintaanku.

Aku pun segera keluar karena suara Bagas dan Tika mulai gaduh, mereka tidak sabar untuk pergi. Kesempatan untuk naik bus dan berjalan-jalan adalah hal yang langka bagi mereka, tentu saja mereka kegirangan saat kubilang akan pergi ke rumah pakdenya.

Kami menunggu di teras, dengan sebuah tas kecil dan dua kardus berisi pakaian kami. Sementara hanya ini yang bisa kubawa. Bagas dan Tika berceloteh riang sambil menunggu ayahnya.

Cukup lama sampai akhirnya mas Pamuji keluar, Bagas dan Tika menghambur ke arahnya dan menarik tangannya untuk bergegas. Mereka hanya tahu kita akan naik bus, tanpa mereka tahu bahwa inilah titik dimana hidup mereka akan berubah.

Di saat kami sudah siap untuk pergi tiba-tiba bude Rum datang, mungkin beliau hanya lewat namun melihat kami bersiap pergi beliau menghampiri kami.

"Mau kemana, Kar?" tanya bude Rum.

"Bagas sama Tika mau ke rumah pakde Anjar, Mbahde Rum," jawab Bagas.

"Kata mama kita akan nginep lama makanya mama bawa baju banyak," terang Bagas melihat bude Rum keheranan dengan bawaan kami.

"Oh iya, ada acara apa?" Bude melirikku dan mas Pamuji.

"Mama mau kerja biar bisa beliin Bagas mobil remot," jawab Bagas lagi, anakku terlalu jujur dan polos.

"Ada apa, Sekar?" tanya bude curiga.

"Kenapa, Ji?" Kini giliran mas Pamuji.

"Kenapa Sekar harus kerja, bukannya gajimu sekarang lumayan, Ji?"

"Maaf Bude, ada hal yang nggak bisa aku jelaskan," ucapku pada bude Rum.

"Bagas sama Tika beli es cream dulu ya," ucap bude Rum sambil mengulurkan selembar uang berwarna ungu pada Bagas.

Bagas kegirangan, dia mengajak Tika untuk ke warung. Bude Rum sepertinya curiga, aku hanya tidak ingin ada yang ikut campur, bagaimanapun juga kelakuan ibu mertuaku adalah hal yang tidak pantas dan cukup memalukan.

"Ayo ngobrol di dalam, barangkali kamu mau cerita sama bude, Sekar!" ajak bude Rum mendahului langkah kami kembali ke rumah.

Aku dan mas Pamuji saling pandang sambil mengikuti langkah bude. Sebagai menantu aku masih berbaik hati untuk tidak mengumbar dan cenderung menutupi kejelekan mertuaku. Bukan karena ibu tapi karena menghormati dan menjaga perasaan mas Pamuji, bila memang harus berpisah aku berharap bisa pisah secara baik-baik.

Mas Pamuji kembali mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu. Bude langsung duduk dengan nyaman, aku duduk di samping kanan dan mas Pamuji duduk di samping kiri.

"Kalian kenapa?" tanya bude Rum.

Aku dan mas Pamuji saling diam, orang luar hanya tahu ibu sekarang sudah hidup lebih baik tanpa tahu apa yang harus kami alami demi memberikan semua permintaan ibu. Mungkin ini saatnya, bude Rum harus tahu karena bude bukanlah orang lain bagi kami, ibu mertuaku pun adalah adiknya.

"Jadi nggak ada yang mau jawab?" tanya bude Rum lagi.

"Sekar mau pisah dari mas Pamuji, Sekar nggak sanggup lagi melihat semua kelakuan ibu mas Pamuji," ucapku lirih.

"Astaghfirullohaladzim, masalahnya apa?"

"Bagas dan Tika semakin sudah mulai besar, mulai butuh biaya yang enggak sedikit, tapi hampir semua gaji mas Pamuji habis oleh ibu, jangankan untuk kebutuhan yang lain atau bahkan tabungan anak-anak, untuk makan aja kami sulit," tuturku.

"Maaf bude, Sekar bukan sedang menjelek-jelekan ibu, atau nggak ikhlas karena ibu menghabiskan semua gaji mas Pamujo, tapi kami juga butuh, Bude."

"Bude paham, Kar. Ibumu itu memang dari dulu seperti itu, demi dianggap mampu sering kali membeli barang secara kredit, pas tagihannya datang ya dia kelabakan, pasti datangnya ke bude. Bude bukannya perhitungan, tapi ... ibumu memang harus ditegur."

"Sekarang dia menyusahkan anak dan menantunya, padahal bude bukan sekali dua kali menasehatinya, menolongnya dari rentenir," ucap bude berkisah.

Aku terkejut mendengar kenyataan lain tentang ibu mertuaku.

"Apa kamu diam saja, Ji, nggak negur kelakuan ibumu?"

"Mas Pamuji takut dianggap anak durhaka lagi Bude, dulu saat kami terbelit hutang ibu sering mencela dan tidak segan-segan berucap bahwa kami durhaka," jawabku menyela.

Mas Pamuji hanya diam dan mengiyakan ucapanku.

"Berbakti memang nggak harus diukur dari harta, berilah ibumu semampunya saja, kasian Sekar dan anak-anakmu. Masalah ibumu menganggap kamu kurang berbakti pasrahkan aja sama Alloh, doakan dia agar hatinya melunak, agar dia berubah dan berhenti bergaul dengan orang-orang yang memaksanya harus terlihat kaya."

"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan.

Apakah rumah tanggaku bisa selamat?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!