2

"Ibu minta uang, Ji, mau arisan."

"Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab mas Pamuji.

"Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot.

"Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya mas Pamuji.

Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini.

Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku. Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku harus kembali menanggung malu dan meminta tenggang waktu pada guru Bagas.

Tanpa mengucap sepatah kata pun padaku, mas Pamuji keluar dan menyerahkan uang yang ibunya minta. Sayup-sayup terdengar ibu pamit dengan girang. Aku rindu cicilan, rindu sindiran ibu karena mas Pamuji tidak pernah bisa memberinya uang, setidaknya aku tidak lagi mengorbankan kebutuhan primer anak-anakku untuk kebutuhan tersier ibu mertuaku.

Mas Pamuji kembali ke kamar dengan wajah tertunduk, dia duduk dengan lesu tanpa berani menoleh ke arahku.

"Maaf, Sekar!" ucapnya lirih.

"Kita berpisah aja, Mas," pintaku lagi, mas Pamuji mendongak lemah mendengar kebulatan tekatku.

"Kamu bisa kerja Sekar tanpa perlu berpisah," ucap mas Pamuji menolak permintaanku.

"Mas ... kalau aku kerja sekarang bukannya kebutuhan Bagas dan Tika tercukupi, tapi ibumu yang akan semakin menjadi. Mentang-mentang aku kerja nanti akan makin banyak yang ibumu minta, aku yakin itu."

Mas Pamuji kembali menunduk dan membuang nafas dengan kasar.

"Apa yang kamu kasih ke ibu tadi adalah yang SPP Bagas, Mas?" Mas Pamuji diam tanpa berani menjawab.

"Dulu kami hidup serba kekurangan," ucap mas Pamuji, "demi membesarkan aku, Nurma, dan Rima ibu banyak menahan keinginannya, karena bapak hanyalah seorang buruh bangunan. Jadi sekarang ibu sedang menuntaskan semua keinginan yang dulu dia pendam, Sekar," kisah mas Pamuji.

"Dan lagi, perbedaan nasib ibu dengan bude Rum dan lek Tri yang beruntung mendapat suami yang berada dan hidup enak, membuat ibu merasa dunia nggak adil sama dia," lanjut mas Pamuji.

"Jadi, maklumi tingkah ibuku," pungkas mas Pamuji.

"Sampai kapan, Mas? Sampai ibumu puas? Kapan puasnya? Boleh aja bergaya seperti itu jika mampu, permasalahannya kamu mengorbankan kami untuk gaya hidup ibumu, miris, Mas, memalukan, di usianya seharusnya ibu banyak beribadah bukan sibuk mengejar kesenangan." Dadaku naik turun mengeluarkan semua unek-unek yang kupendam.

"Dan ... pembelaanmu untuk semua sikap ibu yang boros, membuatku semakin yakin, jalan satu-satunya agar anak-anak bisa bahagia adalah pisah."

Kutinggalkan mas Pamuji di kamar, dua tahun rasanya sudah cukup bagiku untuk bersabar, tapi sebagai seorang ibu aku tidak akan membiarkan anak-anakku terus-terusan hidup susah.

Aku masuk ke kamar anak-anak, mengambil sebuah kardus untuk mengemas baju-baju anakku. Bahkan baju-baju anakku adalah pemberian dari bude Rum, bekas cucunya yang sudah kekecilan. Kalau tidak, mungkin anak-anaku tidak punya baju yang pantas.

Air mataku menetes setiap menyentuh lembar demi lembar baju Bagas dan Tika, kasian sekali mereka. Baju, sepatu, mainan, dan masih banyak lagi barang yang mereka punya adalah bekas cucu bude Rum. Bude Rum memang baik, kehidupan beliau juga baik, anak-anaknya sukses dan hidup enak. Tapi akan salah, bila ibu mertuaku menggunakan kehidupan bude Rum sebagai tolak ukur kebahagianya, bukankah setiap orang memiliki nasib yang berbeda?

Aku bergerak perlahan karena Tika sedang tidur siang, sementara Bagas sedang bermain di luar. Setelah selesai aku kembali ke kamar untuk mengemasi bajuku, baju yang tidak seberapa dan tentu saja sebagian adalah baju bekas pemberian bude Rum atau lek Tri.

Kardus, iya, hanya kardus, karena aku tidak punya tas besar. Aku bergerak cekatan, aku ingin segera pulang, menutup mata melihat hak-hak kami dinikmati ibu mertuaku.

"Sekar ... jangan gegabah, apa kamu benar-benar harus pergi secepat ini?" tanya suamiku.

"Aku sudah memikirkannya sejak lama, sejak mas lebih banyak memberiku janji dan kepedihan sementara ibu hidup mewah namun tidak berfaedah."

"Ganti bajumu, Mas! Antar aku dan anak-anak ke rumah mas Anjar, kita memulai baik-baik, dan karena penyebab kita berpisah bukan berasal dari diri kita pribadi, jadi aku harap hubungan kita tetap baik demi anak-anak."

Kedua orang tuaku telah meninggal sejak lama, aku hanya punya seorang kakak. Butuh waktu kurang lebih 5 jam perjalanan menggunakan bus untuk sampai ke rumah mas Anjar. Di sanalah aku berencana memulai kehidupan baru.

Hanya dengusan kesal mas Pamuji yang kudengar, aku tidak peduli, bila dia tidak bisa tegas maka aku yang akan tegas.

"Duduk dulu, Sekar! Obrolan kita belum selesai, masih ada jalan lain," ucapnya berusaha menghentikanku.

"Jalan yang kaya gimana, Mas? Ada sekolah Bagas yang harus dibayar, ada beras yang tinggal segelas yang harus dibeli, ada kebutuhan dapur untuk kita makan sehari-hari yang mulai habis, sementara gajian mas yang belum ada seminggu udah habis entah kemana."

"Aku lelah, Mas!" teriakku mulai kehilangan kesabaran.

"Sebentar lagi Bagas pulang, dan Tika juga bangun. Kalau mas nggak mau nganterin, aku terpaksa pergi sendiri," ucapku tidak peduli.

"Baiklah Sekar, aku ijinkan kamu pergi. Mungkin kamu butuh waktu menenangkan diri dan berpikir jer--"

"Aku butuh dinafkahi, Mas! Secara layak ... aku sangat memaklumi ketika dulu Mas memang nggak punya, tapi nggak untuk sekarang!" Kuucapkan kalimat ini tepat di depan wajah mas Pamuji.

Lelaki yang sudah kudampingi suka dukanya, cinta dan taat yang kujunjung tinggi perlahan luntur, karena kenyataan hidup bahwa anak-anakku tidak akan hidup layak hanya dengan cinta. Mata kami saling beradu, mataku yang penuh dengan amarah dan mata mas Pamuji yang putus asa. Percayalah, tidak mudah bagiku untuk sampai pada keputusan ini.

Terdengar suara anak sulungku pulang, tanganku reflek menyeka airmata dan mengontrol raut wajah agar terlihat baik-baik saja. Begitu juga dengan mas Pamuji, kami selalu menghindari bertengkar di depan anak-anak.

"Mama ... Bagas pulang, assalamualaikum," teriak bocah 7 tahun itu lantang, sebentar lagi dia akan masuk SD, berbagai biaya sudah kuprediksi menunggu di depan sana.

"Waalaikumsalam, Bagas habis main dimana?" sambutku.

"Habis main di rumah Raka. Mah, Raka punya mobil remot baru, namanya mobil monster, mobilnya bagus bisa jumping bisa jalan di air juga dan enggak rusak pas kena air, Bagas mau, Mah, mobil kaya gitu," celotehnya panjang.

"Ayah ... Bagas mau mobil-mobilan kaya Raka," pinta Bagas menghampiri ayahnya.

Mas Pamuji terlihat sedih mendengar permintaan Bagas, anak laki-laki yang saat kelahirannya dulu, dia sambut dengan bahagia.

"Sudah jangan ganggu ayah, ayo Bagas mandi kita akan ke rumah pakde Anjar." Segera kuambil alih Bagas yang akan merengek pada mas Pamuji.

"Tapi sekali aja, Mah, Bagas pengen punya mobil monster kaya Raka, nanti Bagas jaga baik-baik, Mah, Bagas nggak akan rusakin, Bagas janji," rengeknya padaku, kudengarkan semua permintaanya dengan pilu sambil tanganku cekatan membuka bajunya dan menyuruhnya mandi.

"Iya, Gas, doakan mama punya rejeki yang baanyaak biar bisa beliin Bagas mobil remot kaya Raka, yah," jawabku mencoba menenangkan Bagas.

"Ya Alloh ... beri ayah Bagas rejeki ya Alloh, eh salah, beri mama Bagas rejeki ya Alloh, Aamiin," ucapnya sambil tangan menengadah ke atas.

"Aamiin ...," ucapku membarengi Bagas.

"Kenapa rejeki mama bukan rejeki ayah? Biasanya Mama nyuruh Bagas doain ayah," tanya Bagas dengan lugu.

"Karena mama juga mau kerja kaya ayah, biar Bagas punya mainan dan biar Bagas bisa makan chiken yang Bagas pengen, jadi Bagas harus banyak-banyak doain mama sekarang."

Bocah itu akhirnya mandi, Bagas memang sedang dalam fase banyak bertanya. Aku bergerak ke kamar untuk membangunkan Tika, sementara mas Pamuji masih terdiam di tempatnya. Mungkin dia tersinggung dengan percakapanku tadi dengan Bagas, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan saja kami kekurangan apalagi untuk membeli mainan.

Dengan sedikit repot kami bertiga telah rapih. Kemudian kuhampiri mas Pamuji di kamar untuk bertanya kesanggupannya untuk mengantar. Mas Pamuji tengah duduk termenung di sisi ranjang, perlahan kudekati, keputusanku telah bulat, diantar ataupun tidak aku akan tetap membawa anak-anak pergi. Terlebih bayangan bahwa aku akan bisa membahagiakan anak-anak membuatku semakin ingin lepas dari mas Pamuji dan ibunya.

"Mas ... kami udah siap, Mas mau nganterin atau enggak?" tanyaku.

Mas Pamuji tidak menjawab, perlahan kulihat pundaknya bergerak naik turun. Mas Pamuji menangis. Dengan kalut kudekati suamiku itu, kupegang pundaknya untuk memberinya kekuatan. Detik berikutnya Mas Pamuji memelukku erat dan semakin leluasa melepas tangisnya.

Tiga kali kusaksikan mas Pamuji menangis, pertama saat kelahiran Bagas, kedua saat kelahiran Tika, dan ketiga adalah saat ini. Kubiarkan mas Pamuji melepas kesedihannya. Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. Seperti memakan buah simalakama, hatiku sakit tidak tergambarkan.

Benarkah keputusanku?

Terpopuler

Comments

Reiva Momi

Reiva Momi

posisi yang sulit , tapi walau pun bertahan pada akhir nya tetap akan mengalah.. aku dukung keputusan Sekar

2022-11-22

1

Puji Harti

Puji Harti

permasalahan yg banyak terjadi di dunia nyata sih ini.... ibarat kata mertua manja berpikir segala keinginan hrs ada tidak berpikir gmn cara anak mencari.. kadang kl berpikir waras sih ya emang anak laki hak ibunya sampe kpn pun tp kl terlalu berlebihan ya gak baik..

2022-01-07

2

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

bergaya hidup seperti orang kaya dengan cara merongrong kehidupan anaknya yg sdh berkeluarga. Dan di sini mas Pramuji tidak bisa menolak semua keinginan ibunya akhirnya anak dan istrinya lah yg menjadi korban

2021-11-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!