"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.
"Ibu pengen ketemu, katanya mau minta maaf, mintanya sekarang tapi aku bilang besok aja jadi sekalian pulang," cerita mas Pamuji singkat.
Minta maaf? Mudah-mudahan ibu sadar.
"Ibu udah boleh pulang?" tanyaku.
"Udah," jawab mas Pamuji singkat.
"Oh ... sukurlah kalo begitu."
"Biaya rumah sakitnya gimana, Mas? Apa SPP Bagas nggak usah dibayar dulu?" tanyaku lagi.
"Kamu nggak usah khawatir Sekar, mulai sekarang aku nggak akan mengorbankan kehidupan kalian lagi, sementara kita bayar dulu pakai uang kemarin ya, tapi SPP Bagas kamu bayar dulu, nanti biar kuitansinya aku masukin ke perusahaan biar di rembesin," jawab mas Pamuji.
"Jadi maksudnya nanti uangnya diganti gitu?"
"Iya," jawab mas Pamuji.
"Kenapa dulu waktu Bagas sakit enggak begitu sistemnya?"
"Ini kebijakan baru, Sekar. Hasil dari rapat serikat pekerja sama managemen setahun lalu."
"Alhamdulillah, seenggaknya kita punya jaminan kesehatan."
"Iya, tapi semoga kita sehat-sehat terus."
Aku senang mendengarnya. Mungkin ini jawaban-jawaban dari semua doa-doaku. Mas Pamuji semakin memperhatikan kami, tanpa melupakan kebutuhan primer ibunya. Rezeki terasa lapang, bahkan di tengah cobaan kami tidak kekurangan uang.
Perubahan yang sangat drastis, mengingat kemarin-kemarin untuk beli minyak saja aku kesusahan. Tega sekali ibu berfoya-foya dengan uang mas Pamuji sementara kami hidup dibawah garis kelayakan. Andai ibu tidak hedon, pasti tabungan kami sudah banyak.
Ah, sudahlah. Suatu saat nanti Alloh akan mengganti berkali-kali lipat.
Keesokan harinya mas Pamuji memintaku beres-beres di rumah ibu, untuk menyambut kepulangannya nanti malam. Meski ibu sudah banyak menyakitiku tapi rasanya luka-luka itu mulai sembuh ketika kudengar kalimat-kalimat mas Pamuji kemarin.
Suara lantang mas Pamuji yang diliputi rasa marah justru terdengar sangat romantis. Drama yang ibu buat dengan meminta mas Pamuji menceraikanku justru berbalik menjadi senjata yang menusuk dirinya sendiri. Sekaligus memberiku kekuatan untuk terus menghadapi ibu mertua amazing seperti dia.
Betapa terkejutnya ketika kulihat isi kamar ibu, kamar seorang nenek dengan 4 cucu, rapih dan lucu seperti kamar seorang gadis remaja. Dinding dengan wallpaper pink, lemari yang penuh dengan baju kekinian. Tas, sandal, dan sepatu dengan berbagai model dan warna, terpajang rapi di sebuah lemari kaca, meja rias dengan beragam aksesoris juga alat make up. Ada catokan, hairdryer, dan perintilan-perintilan lainnya.
Ingin menangis rasanya melihat semua ini, aku hidup kekurangan untuk memenuhi kebutuhan seorang nenek yang menolak tua. Apakah mas Pamuji tahu? Kalau aku memang baru pertama kali masuk ke kamar ibu.
Setelah selesai dengan rumah ibu aku mengajak Bagas dan Tika pergi ke pasar. Pemandangan yang tadi kulihat di rumah ibu membuatku harus memberikan keadilan pada Bagas dan Tika. Kuajak mereka ke toko mainan di pasar.
"Mamah, Bagas mau yang ini, yang kaya punya Raka," pinta Bagas sambil menunjuk sebuah kardus yang cukup apik dengan sebuah mobil remot di dalamnya.
Tiga ratus ribu?
Harga yang sangat mahal untuk kami, setara dengan tiga bulan SPP Bagas, namun melihat mata Bagas yang berbinar-binar saat melihat mainan itu membuatku tidak tega. Bibirnya terus tersenyum penuh damba. Apa mas Pamuji akan marah bila kubelikan mainan semahal ini?
Terlintas kembali betapa apiknya barang-barang di kamar ibu mertuaku. Ini cukup adil untuk Bagas setelah selama ini mas Pamuji secara sadar atau pun tidak sadar sudah memanjakan ibu.
"Iya, Nak. Tapi nanti kalau udah mama beliin Bagas janji ya, belajar yang rajin, dan ngaji yang tekun," ucapku pada akhirnya.
Bagas melompat kegirangan dan memeluk kardus mobil mainannya dengan erat. Sementara Tika memilih satu set boneka barbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Tidak lupa kubelikan mereka buku-buku dan pencil warna. Aku juga mengambil sebuah bedak dan sebuah lipstik, sebagai wanita aku pun ingin memiliki benda-benda seperti ini.
Semoga dengan membahagiakan anak rezeki mas Pamuji akan mengalir semakin deras. Aamiin.
Malam hari telah tiba, Tika sudah tidur dan Bagas masih asik dengan mobil remotnya. Kutinggal mereka berdua untuk menyambut kepulangan ibu. Tak lupa kusapukan bedak dan kuhiasi bibirku dengan lipstik.
Di rumah ibu sudah ada pakde dan bude Rum, lik Tri, dan Rima serta suaminya. Kuhampiri mereka dan bergabung dengan obrolannya. Mungkin sebentar lagi mobil pak Dayat yang menjemput ibu akan sampai.
"Mba Sekar, lisptiknya baru ya?" tanya Rima berbisik padaku.
"Eh, iya, kenapa? Kok bisa tahu ini baru?" tanyaku salah tingkah, Rima agak berbeda dengan Nurma, meski gaya hidup mereka relatif sama tapi Rima lebih sopan dan bernasib lebih beruntung karena suaminya kerja di perusahaan besar.
"Keliatan norak tahu, Mbak," bisiknya lagi.
"Heh?" Aku pun semakin salah tingkah, reflek kuambil tissue dan menghapusnya.
"Nih, pake punyaku, dijamin bagus," ucap Rima lagi seraya mengambil sesuatu dari tasnya.
"Sini aku pakein."
Aku menurut saja dengan aba-aba Rima, dia mengoleskan lipstik itu dengan kuas kecil. Berbeda dengan lisptik punyaku yang biasa. Rima memberiku sebuah cermin kecil, dan kulihat bibirku memang cantik dengan warna yang serasi, kurasa warna bibirku tadi memang mencolok.
"Bagus, Rim," pujiku.
"Beli, Mbak. Aku jual, nih."
"Hah? B-berapa?" Ternyata promosi, hatiku melengos kecewa.
"150 ribu, ini namanya lipcream," jawabnya membuatku terperangah.
Pantas saja bagus, sementara lipstik yang tadi siang aku beli hanya 15 ribu.
"Hem, enggak, Rim. Mahal, kan mas Pamuji harus bayar rumah sakit ibu," tolakku menyindir.
Aku dan mas Pamuji sepakat untuk tidak memberitahu Rima atau pun Nurma mengenai biaya rumah sakit ibu yang bisa dirembes ke perusahaan. Kami hanya ingin tahu seberapa besar mereka mau memberi bantuan untuk biaya pengobatan ibu. Ternyata mereka berdua tidak memberi sepeserpun dengan berbagai alasan. Ya, sudahlah.
Tidak lama kemudian mobil Pak Dayat telah sampai, mas Pamuji turun kemudian menggendong ibu, sementara Nurma sibuk dengan tas-tas ibu. Kata mas Pamuji kaki kanan ibu masih mati rasa.
"Ayo, Kar. Kita pulang, aku capek," ajak mas Pamuji setelah memastikan ibu sudah nyaman di kamarnya.
"Tapi--"
"Sudahlah, ada Nurma sama Rima," lanjut !mas Pamuji.
Setelah berpamitan aku pun mengikuti ajakan mas Pamuji untuk pulang.
"Kamu pake lipstik, Sekar?" tanya mas Pamuji saat jalan pulang.
"Oh, ini. Namanya lipcream kata Rima, ini pake punya Rima," jawabku.
"Kenapa, Mas? Bagus?" tanyaku.
"Jangan terlalu deket sama mereka, jangan ngikutin gaya mereka juga, Sekar." Aku pikir mas Pamuji akan memujiku.
"Iya, Mas."
Sampai di rumah Bagas ketiduran di depan tivi dengan memegang remot mainannya.
"Lho, mainan siapa ini? Apa Bagas bawa pulang mainan Raka lagi?" tanya mas Pamuji.
"Itu punya Bagas, Mas. Maaf, aku beliin Bagas sama Tika mainan tanpa ijin dulu," jawabku merasa bersalah, apalagi harga mainan itu tidak murah.
Mas Pamuji meraih dan melihat-lihat mobil-mobilan milik Bagas, dan matanya juga menyapu rumah boneka milik Tika yang tergeletak di sudut ruangan. Jantungku berdegup kencang, soal lipstik aja mas Pamuji marah, apalagi mainan-mainan mahal ini. Aku khilaf karena melihat kamar ibu, dan aku menyesal sekarang.
"Kasian mereka, baru kali ini bisa beli mainan bagus," ucap mas Pamuji, aku terkejut, aku pikir dia akan marah.
"Mas nggak marah? I-ini mahal," ucapku.
"Sesekali nggak papa, Sekar."
Mas Pamuji menggendong Bagas masuk ke kamarnya. Andai waktu itu bude tidak menghentikanku, mungkin keluarga kecilku benar-benar sudah berakhir. Dan anak-anakku akan menjadi korban dari orang tuanya.
Pagi-pagi sekali sebelum Bagas dan Tika bangun, aku pergi ke rumah ibu mengantar pecel sayur untuk mereka semua sarapan. Kebetulan sayur di halaman sedang banyak. Kuketuk-ketuk pintu depan namun sepertinya Nurma dan Rima belum bangun. Aku ingat pintu belakang ibu jarang terkunci.
Dengan hati-hati aku menuju pintu belakang, dan kubuka perlahan daun pintunya. Terdengar suara air di kamar mandi, mungkin Rima atau Nurma. Aku bergegas merapihkan sayur dan sambalnya di meja makan.
Kurasakan langkah seseorang di belakangku, namun aneh dia tidak menyapaku. Suara kamar mandi sudah berhenti. Kuberjalan ke ruang depan untuk menitipkan pesan perihal pecel yang kubawa. Namun Rima dan Nurma masih pulas tertidur di depan tivi.
"Hah? Jadi yang tadi, siapa?"
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments