"Ibu mau makan dan minum obat tapi ada syaratnya," ucap ibu, dan perasaanku mulai tidak enak.
"Apa, Bu?" tanya mas Pamuji dengan sabar.
"Ibu mau kamu ceraiin Sekar!" ucap ibu.
Aku dan mas Pamuji terdiam seketika, kami saling pandang, sementara Nurma tersenyum sinis ke arahku.
"Ibu jangan aneh-aneh," ucap mas Pamuji.
"Ibu serius, semua terserah kamu mau pilih ibu atau wanita itu!" ucap ibu lagi dengan tegas.
Mas Pamuji mengerutkan keningnya, aku pun sama, kelakuan ibu semakin tidak masuk akal.
"Ibu ini yang melahirkan kamu, sudah seharusnya kamu berbakti dan nurut sama ibu, tapi wanita itu orang lain. Gara-gara dia kamu udah nggak takut lagi jadi anak durhaka, kamu terus ngelawan sama ibu, keputusan ibu udah bulat, kalau kamu masih mau sama dia, nggak usah peduli lagi sama ibu," ucap ibu penuh ancaman klasik.
"Ibu memang ngelahirin aku, tapi Sekar juga udah ngelahirin anak-anakku, aku milih kalian berdua, aku akan adil, Bu. Selama ini aku sudah banyak dzolim ke Sekar dan anak-anak, aku mohon Ibu ngerti," ucap mas Pamuji.
"Jadi setelah ini kamu mau dzolim sama ibu?!"
"Bu ... tolong jangan kaya anak kecil, kalau aku kaya apapun yang Ibu minta pasti aku kasih, makanya doain aku kaya, biar Ibu bisa dapetin semua yang Ibu mau, bukan dengan misahin aku sama Sekar," balas mas Pamuji.
"Buat apa ibu doain anak durhaka, lebih baik ibu sakit, nggak usah makan, nggak usah minum obat. Bukannya ini yang kamu dan Sekar mau?"
"Kalian mau ibu berhenti arisan, senam, jalan-jalan, iya kan? Dan doa kalian terkabul, ibu udah sakit dan nggak bisa ngapa-ngapain," ucap ibu.
Katanya, orang semakin tua sifatnya akan kembali kekanak-kanakan. Tapi ibu mertuaku belumlah setua itu. Ibu benar-benar memanfaatkan situasi.
"Astagfirulloh, Bu! Bukan begitu maksud kami," timpalku gemas.
"Benar, mungkin ini cara Alloh ngasih petunjuk biar Ibu berubah," ucap mas Pamuji.
"Oh jadi itu bahasa halus Mas Pamuji, buat ngomong kalo Ibu kena karma?" ucap Nurma semakin memperkeruh suasana.
"Nurma!" bentak mas Pamuji.
"Kalian itu kenapa, sih, sebenci itu pada Sekar?" tanya mas Pamuji dengan nada tinggi.
"Sekar salah apa sama kalian?" Kami bertiga terperangah melihat kemarahan mas Pamuji.
"Kalau uang yang Ibu mau, nanti aku kasih! Aku akan kerja sampingan, biar kebutuhan Ibu tercukupi semua," lanjut mas Pamuji, sorot matanya tajam, tidak ada yang berani menyela emosinya.
"Aku akan kerja siang dan malam demi Ibu, biar Ibu senang, biar Ibu bisa arisan dan jalan-jalan! Biar Ibu puas!" ucap mas Pamuji setengah berteriak.
"Aku jadi ingat almarhum bapak, yang kerja siang dan malam demi tuntutan-tuntutan Ibu!" Ibu mulai gelisah dan berusaha memyembunyikan dirinya dari tatapan marah mas Pamuji.
"Mungkin dulu aku masih remaja, belum tahu rasanya jadi tulang punggung yang bebannya jauh lebih besar ketimbang kekuatannya, tapi sekarang aku paham, tuntutan-tuntutan Ibu yang bikin bapak kerja tanpa kenal waktu, tuntutan Ibu yang bikin bapak sakit, dan tuntutan Ibu juga yang akhirnya bikin bapak ... meninggal!" tutur mas Pamuji penuh emosi.
"Ditambah kelakuan Ibu yang amoral, menambah beban pikiran bapak saat itu, sekarang aku tahu betapa kejamnya Ibu sama bapak!" Ibu benar-benar ketakutan, dia menyembunyikan tangannya yang gemetar.
Ada amarah yang meledak dari dalam diri mas Pamuji, beban-beban yang mungkin dia pendam seorang diri sejak dulu, kini meluap dengan bebas. Tumpah begitu saja di depan ibu dan Nurma.
Aku pun terkejut karena baru kali ini mas Pamuji semarah ini. Hal yang berkaitan dengan bapaknya pun terlontar, mas Pamuji tidak pernah bercerita apapun padaku, bukti bahwa hatinya memendam rapat luka yang dia dapat sepeninggal bapaknya.
"Kenapa aku memilih Sekar? Jawabannya sederhana, karena sifat-sifat Sekar enggak kaya Ibu, aku nggak mau hidupnya berakhir memilukan kaya bapak!" Aku terkejut mendengar pengakuan mas Pamuji, alasan dia menjadikanku pasangan hidupnya.
"Dari semua yang udah Ibu lakukan, aku masih berusaha menghormati Ibu, aku simpan pendapat burukku tentang Ibu rapat-rapat, meski aku sangat kecewa dengan contoh buruk yang Ibu beri pada Nurma dan juga Rima, kekecewaan itu yang membuat aku sangat mencintai Sekar, wanita yang tidak pernah menuntutku berlebihan, dia kekurangan pun tetap bersikap sabar dan tetap bisa menghormatiku sebagai kepala keluarga."
"Jujur saja, sebagai laki-laki aku pun takut bila pasanganku memiliki sifat seperti kalian."
Aku terharu dengan pengakuan mas Pamuji tentangku di depan ibu dan juga Nurma, pengakuan yang baru pernah kudengar. Selama ini sikapnya datar, jauh dari kata romantis, namun apa yang kudengar kali ini membuatku jatuh cinta berkali-kali padanya.
Seklias nampak jelas sebuah luka yang telah ditorehkan oleh ibu dan saudari-saudari mas Pamuji, bahkan luka itu menjelma menjadi sebuah trauma. Tapi mas Pamuji telah memiliki managemen emosi yang baik sehingga tidak ada yang mengira isi hatinya yang sebenarnya. Dan, bukankah marahnya orang sabar itu lebih menyeramkan? Persis situasi saat ini.
Ibu terdiam, aku paham akan susah membuat ibu berpindah sudut pandang. Hidupnya yang terlanjur bergengsi tinggi memberikan kesenangan dan kepuasan batin bagi dirinya. Kepuasan yang menjadi candu sehingga ibu tidak mudah berganti gaya hidup.
"Apa ibu masih pengen aku cerai sama Sekar? Hanya untuk alasan sepele? Untuk gaya hidup Ibu? Apa Sekar harus jadi korban selanjutnya setelah Bapak?!" tanya mas Pamuji begitu menusuk.
"Atau Ibu lebih suka aku memiliki istri yang bersifat seperti kalian? Biar bisa satu frekuensi? Biar bisa foya-foya bareng-bareng? Biar bisa beramai-ramai menjadikanku sapi perah?" tanya mas Pamuji dengan bahasa yang mulai sadis.
"Mas!" ucapku menghentikan mas Pamuji, aku takut ada perkataan yang akhirnya mas Pamuji sesali.
Mas Pamuji menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan, berusaha kembali meraih kesadarannya setelah dikuasai amarah. Kuraih tangannya yang mengepal, kuusap lembut berusaha memberinya dukungan.
"Sekarang terserah Ibu," ucap mas Pamuji lagi dengan nada yang sudah terkendali.
"Mau makan ya silahkan enggak ya terserah."
Mas Pamuji beralih memegang tanganku dan menariknya keluar dari ruangan kenanga itu. Ibu dan Nurma hanya diam melihat kepergian kami. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut mas Pamuji seperti pukulan telak bagi Ibu. Apa dia bisa berubah?
"Ayo pulang, Sekar!"
Akhirnya kami pulang tanpa menunggu kedatangan Rima. Dengan menaiki bus kota, kami pergi meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan mas Pamuji hanya diam.
Aku pikir selama ini aku telah bodoh, bertahan dalam kemiskinan, membiarkan anak-anakku kekurangan, dan diam dengan perlakuan jahat ipar dan mertua. Tapi ternyata di mata suamiku aku adalah wanita yang hebat, kesabaranku tidak sia-sia karena suamiku menilainya dengan sangat tinggi. Dia membelaku mati-matian di depan ibu dan Nurma.
Dan aku terharu karena ternyata aku adalah obat dari luka hati dan trauma mas Pamuji. Seberharga itu ternyata diriku di mata mas Pamuji. Aku jatuh cinta lagi, kupeluk lengan mas Pamuji sepanjang perjalanan bus ini, kusandarkan kepalaku di pundaknya.
Ya Alloh panjangkan umur suamiku, jaga kesehatannya, berikan dia kebahagiaan, luaskan rizkinya, dan jaga rumah tangga kami tetap hangat sampai tua dan selama-lamanya. Aamiin.
"Sekar, kamu tidur?" tanya mas Pamuji.
"Enggak, Mas."
"Maafin mereka ya," ucap mas Pamuji.
"Iya, Mas. Makasih udah belain aku tadi."
"Aku cuma ngmong apa adanya," ucap mas Pamuji.
"Boleh aku tanya, Mas?"
"Apa?"
"Tentang Bapak, tentang perlakuan ibu yang amoral, apa aku boleh tahu?"
.
.
.
.
.
.
.
. Selama ini banyak yang terbawa emosi dan merasa menjadi sosok Sekar, kali ini ada yang bisa ngerasain ikut jadi mas Pamuji?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Uthie
Duhhhh... terharu dan bikin baper banget ini bacanya
2022-08-25
0