"Aku lelah bersikap baik tapi selalu diinjak-injak, nggak pernah dihargai!" ucapku di ambang kesabaran, marah, kecewa, kesal, muak, berampur jadi satu membuat sabarku benar-benar habis.
"Aku muak, Mas, aku juga manusia, punya batas rasa, sekarang Mas pilih kami atau Ibu!" ucapku tanpa berpikir panjang.
Aku tidak berharap mas Pamuji memilih kami, aku hanya ... ingin lega dengan mengatakan apa yang selama ini ingin kukatakan pada ibu. Semua tingkah ibu yang rendah telah membakar sumbu emosiku dan membawaku ke pikiran yang pendek.
Aku langsung membalik badan dan ingin berlari sejauh mungkin dari mereka, pergi secepat mungkin dari tempat ini. Aku takut lepas kendali dan tangan-tangan ini bisa melayang tanpa ampun, memberikan hukuman untuk ibu.
"Sekar!"
Kurasakan tangan mas Pamuji menjegalku, memegang lenganku dengan erat, matanya menatap tidak percaya padaku. Benar, aku lelah. Lelah diperlakukan tidak adil, lelah mendengar hal-hal yang buruk, lelah menyaksikan kekonyolan sifat dan watak yang tak pantas ada pada seorang ibu.
Diam membuatku marah tapi melawan membuatku telihat sama tidak pantasnya dengan perilaku ibu.
"Aku nggak minta kamu milih aku, Mas! Seorang istri ada bekasnya sementara ibu nggak ada bekasnya," tuturku.
"Sabar, Sekar! Istighfar!"
"Tenang dulu, Mbak Sekar," ucap Rima ikut menenangkanku.
"Lihat ibumu, Mas! Lihat ibu kalian! Semua gerak geriknya dan tingkah lakunya menjadi tontonan orang sekampung, menjadi lelucon disetiap obrolan mereka, menjadi bulan-bulanan di setiap kerumunan. Apa karena ibu hebat? Bukan! Tapi karena perilaku ibu memalukan!" ucapku tanpa terkendali.
"Apa kalian sadar? Apa Ibu sendiri sadar betapa memalukannya ibu!" Sengaja kutekankan kalimatku.
"Kalo berita sakitnya ibu itu cuma akting sampai ke warga, apa yang akan terjadi sama ibu?"
"Diam kamu Sekar, kamu ... kamu ... wanita kurang ajar! Lihat istrimu Pamuji, sifat aslinya yang kayak penyihir udah keluar," ucap ibu dengan marah.
"Apa?! Kalo sifatku kayak penyihir, lalu sifat ibu apa? Apa perlu kubeberkan kesalahan-kesalahan ibu?" jawabku meladeni ibu.
"Centil ke Pak Samad, suka minta isiin pulsa, sengaja nongkrong di bengkel biar digodain anak muda, berlagak sok kaya dengan mentraktir temen-temen ibu, ah ... apa anak-anak ibu tahu kalo ibu pernah dijambak istrinya Pak Samad di warungnya Mbak Yuyun?"
"Sekar!" Sebuah tangan melayang hendak mendarat di pipiku, aku menyadarinya sehingga tangan itu meleset dari sasaran.
"Kenapa, Nur? Aku cuma ngomong seadanya, kita buka-bukaan aja kenapa harus marah?" ucapku pada Nurma.
"Cukup Sekar, kamu keterlaluan!" ucap Nurma.
"Aku nggak keterlaluan, Nur. Yang keterlaluan itu perbuatan ibu yang kusebutkan tadi, kamu nggak marah waktu ibu melakukannya tapi marah waktu kusebutkan daftar prilakunya satu persatu. Jangan salah kaprah, Nur!" Sementara Rima mulai menangis.
"Cukup Sekar, Cukup!" Kini mas Pamuji ikut menghentikanku.
"Memang iya perilaku ibu salah, nggak pantes, dan rendah. Tapi jangan karena itu kamu jadi marah dan melakukan hal yang sama rendahnya, bagaimana pun dia masih mertuamu, cukup benci sifatnya, bukan orangnya!" ucap mas Pamuji berusaha membuatku tenang.
"Tenang dulu, istighfar, ayo kita pulang!" ajak mas Pamuji.
"Ji ... jadi kamu milih wanita itu?" teriak ibu.
"Bagus kamu yah, anggap aja ibu udah mati, sekali kamu pergi dari rumah ibu demi wanita itu, jangan pernah dateng lagi!" lanjut ibu mengancam.
Namun mas Pamuji tetap mengejarku. Kami berjalan beriringan sampai ke rumah tanpa bicara sepatah kata pun.
"Kamu boleh marah, Mas, aku udah bentak ibu kamu," ucapku setelah kami masuk ke rumah.
"Iya aku marah!" jawab mas Pamuji.
"Aku marah karena kamu udah ngerendahin diri kamu, dan bersikap tidak kalah buruknya seperti ibu." Mas Pamuji memelukku, kulepaskan tangisku di dalam pelukannya.
"Udah nggak papa, ada kalanya manusia lepas kendali, kamu udah paham watak ibu seperti itu, lain kali jangan diladenin, biarin aja, anggep angin lalu," ucap mas Pamuji sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Sekarang keadaan sedang sama-sama panas, jangan sampai kamu bikin keputusan yang akan kamu sesali."
"Mas ... bagaimana dengan ibu?"
"Suatu saat juga baik sendiri. Hem ... soal istri pak Samad apa benar, Kar?" tanya mas Pamuji penasaran.
Aku mengangguk membenarkan semua yang kukatakan tentang ibu.
"Hemmmm, sudahlah, lebih baik sekarang kita diam, fokus sama hidup kita sendiri."
Sejak kejadian itu aku dan mas Pamuji menjalani hari tanpa menyapa ibu. Bahkan kabar yang kudengar ibu memberi tahu orang-orang bahwa kakinya mulai sembuh dan mulai bisa berjalan. Dia masih saja merampungkan dramanya. Beberapa kali kulihat Nurma atau Rima datang berkunjung.
Nampaknya ibu menjual beberapa barang miliknya untuk membayar tagihan-tagihannya.
"Assalamualaikum, Sekar!" terdengar suara bude Rum datang.
"Waalaikumsalam," jawabku yang sedang menata pot-pot cabeku di halaman.
"Dari mana, Bude? Maaf tangan Sekar kotor," sapaku.
"Dari rumah ibumu," jawab bude.
"Mari duduk Bude, sebentar Sekar cuci tangan dulu."
Kubawakan secangkir teh dan biskuit untuk bude setelah mencuci tangan.
"Cabenya banyak, kamu pinter nanem-nanem ya, Kar," puji bude Rum melihat cabe-cabeku.
"Iya bude, lumayan enggak beli."
"Hem ... begini, Kar. Kata Susi kamu nggak pernah mau ngerawat dia selama dia sakit?" ucap bude.
"Ibu ngomong gitu ke Bude?" tanyaku.
"Iya."
"Nggak papalah, Sekar udah biasa difitnah," ucapku sambil tersenyum.
"Ada apa lagi, Sekar?" tanya bude.
"Nggak papa, Bude. Sekar capek aja ngadepin ibu, lagian mas Pamuji juga ngomong kalo Sekar nggak usah kesana lagi," jawabku.
"Bude juga nggak percaya seutuhnya sama Susi, makanya bude tanya ke kamu."
"Mas Pamuji juga capek Bude, sekarang biarin kami menjauh dulu, istirahat, saling introspeksi, barangkali ibu bisa sadar, dan masalah uang mas Pamuji nggak mau ngasih lagi, kalo ibu mau, mas Pamuji bisa beliin beras dan sembako lengkap, nanti Sekar tiap hari nganter makanan juga nggak papa, kalo uang mas Pamuji nggak mau ngasih lagi. Kalo Bude kesini mau nanyain jatah bulanan ibu, jawabannya begitu Bude," tuturku.
Sudah bisa kutebak ibu menggunakan bude untuk kembali memberinya uang bulanan.
"Maaf Bude, Sekar dan mas Pamuji nggak bermaksud durhaka, tapi kami juga butuh kewarasan, mental dan rumah tangga kami goncang terus gara-gara ibu, kami pengen istirahat sebentar, biar waktu nanti yang njawab mau gimana-gimananya," lanjutku meminta pengertian bude Rum.
"Iyah ... bude ngerti."
"Lagian ... ibu nggak sakit, Sekar nggak mau bantu ibu bohongin orang."
"Bude udah denger dari Nurma, tapi bude juga pura-pura nggak tahu, biarin aja mau sampe mana tingkah si Susi itu."
Suara klakson mobil menjeda pembicaraanku dengan bude Rum. Sebuah mobil putih dengan cat yang mengkilat memasuki halaman rumah kami.
"Tamu siapa, Sekar?" tanya bude Rum.
"Mas Pamuji Bude, bukan tamu."
"Oh pantesan pot cabenya kamu pinggir-pinggirin," ucap bude.
"Assalamaulaikum, Bude," sapa mas Pamuji menghampiri kami.
"Wah mobil baru, Ji."
"Mobil kantor, Bude, aku cuma make," jawab mas Pamuji.
"Alhamdulillah," seru bude turut bahagia.
"Mobil ayah udah datang," seru Bagas bersahutan dengan Tika, mereka yang sedang menonton tivi bergegas keluar begitu mendengar suara mobil.
Mereka berjingkrak kegirangan karena sebelumnya mas Pamuji sudah menjanjikan akan membawa mereka jalan-jalan.
"Boleh nih anterin bude pulang," gurau bude Rum.
Kami pun menjajal mobil inventaris dengan mengantar bude pulang dengan mengambil jalan memutar sehingga jarak yang ditempuh lumayan jauh.
Melihat anak-anakku tertawa gembira membuatku tidak berhenti mengucap syukur. Kehidupan kami berubah begitu drastis akhir-akhir ini, mungkin ini buah kesabaranku selama ini.
Aku yakin, sebentar lagi kabar mobil baru di rumah kami akan sampai di telinga ibu.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments