"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.
Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu saat mas Pamuji masih sibuk mencicil utangnya, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada mas Pamuji dan bersikap sinis bila mas Pamuji tidak ada.
"Aku mau bicara sama ibu," ucap mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak mempengaruhi kontrol emosi mas Pamuji.
"Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah ... mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas!" ucap ibu arogan, kedua tangannya terlipat di depan dada.
Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya.
"Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan ibu, membayar 5 tahun sebelumnya, dimana aku nggak mampu ngasih ibu sepeserpun," bantah mas Pamuji membelaku.
"Sekar banyak berkorban biar aku bisa berbakti sama ibu, tapi kenapa ibu nggak bisa menghargai apa yang sudah Sekar lakukan?" lanjut mas Pamuji.
"Berbakti? Lalu kenapa dia ngadu dan melebih-lebihkan keadaan pada bude Rum?" ucap ibu mendebat mas Pamuji.
"Sekar udah bikin ibu malu, kalau memang dia kelaperan kan bisa ngomong langsung ke ibu, bukannya ngadu ke orang lain, apa itu namanya kalau bukan menjebak ibu, istrimu itu ingin orang menilai ibu jahat, Ji," lanjut ibu dan sukses membuat mataku membelalak tidak percaya, pandai sekali ibu mertuaku ini bermain kata.
"Harusnya kamu sadar, kamu berubah sejak nikah sama dia, dia pasti mempengaruhi kamu untuk pelit sama ibu, dia pasti sudah memprofokasi kamu biar ibu ini kelihatan jahat, iya kan?!" ucap ibu dengan nada suara yang tinggi.
"Cukup, Bu!" ucap mas Pamuji, dadanya terlihat naik turun menahan emosi.
"Bukan Sekar yang mengadu ke bude Rum, tapi bude Rum yang bertanya terlebih dahulu, dan bukan sama Sekar aja, tapi kami berdua yang ditanya oleh bude. Kami cuma menjawab apa adanya, apapun yang bude Rum katakan ke ibu itu murni sudut pandang beliau setelah mendengar jawaban-jawaban kami," ucap mas Pamuji menjawab tuduhan ibu.
"Dan Sekar nggak pernah memprofokasi apapun, justru Sekar lebih banyak mengalah dan memahami apa yang ibu minta, hanya saja semakin kesini ibu meminta lebih dari yang bisa aku berikan, aku bukannya pelit tapi kemampuan finansialku ada batasnya," lanjut mas Pamuji, sejenak hatiku menghangat, aku merasa terlindungi oleh pembelaan mas Pamuji.
"Dan satu lagi, ibu sudah sangat keterlaluan karena membuat beras dan telur yang kami punya berserakan sia-sia, mungkin bagi ibu bahan makanan tersebut nggak terlalu berharga tapi bagi kami beras tersebut sangat berarti untuk menyambung hidup, aku kecewa sama ibu," pungkas mas Pamuji penuh penekanan.
Ibu beralih menatapku penuh benci, kalau saja tidak ada mas Pamuji mungkin saja ibu sudah menerkamku. Aku hanya diam dan membiarkan mas Pamuji bicara, aku malas karena aku hafal mendebat ibu adalah hal yang sia-sia, bukannya meluruskan masalah tapi yang ada hati semakin jengkel dan marah.
"Kamu ...! Kamu sudah berani sama ibu, Ji. Wanita ini benar-benar berpengaruh buruk, karna dia kamu sudah durhaka sama ibu, apa kamu nggak ingat? Karena wanita inilah kamu pernah hidup di titik rendah, menanggung utang, dan hidup miskin, jangan sampai karena menuruti wanita ini lagi, kamu kembali hidup susah dan menderita," ucap ibu kembali mengeluarkan jurus andalannya dengan nada yang membuatku gemas.
"Lalu apa ibu lebih senang melihat aku berdosa karena mengabaikan tanggung jawabku sebagai seorang suami dan ayah? Bagas dan Tika butuh biaya untuk masa depan mereka, Bu. Dan itu tanggung jawabku. Demi memenuhi standar berbakti yang ibu terapkan, haruskah aku jadi ayah yang menelantarkan anak-anaknya? Apa itu yang ibu inginkan?" Mas Pamuji mencoba mendebat ibu.
"Aku malu, Bu. Kenapa ibu bersikap seperti ini? Kenapa ibu tega sama Bagas dan Tika, mereka cucu ibu, darah kita sama," pungkas mas Pamuji, nada bicaranya mulai sedikit menurun menandakan kesungguhan pada kalimatnya.
Ibu tidak menjawab dan cenderung salah tingkah. Detik berikutnya ibu menangis, aku dan mas Pamuji saling pandang, selanjutnya ibu meraung-raung meningkatkan volume suaranya. Dalam hati terbesit keraguan, apa ibu mertuaku sudah pandai berakting juga?
"Pergi kalian, kamu memang tega sama ibu, Ji, sana bawa istrimu pulang!" usir ibu.
Mas Pamuji langsung meraih tanganku.
"Baik, kami pamit, Bu, assalamualaikum!"
Mas Pamuji menarik tanganku mengikutinya, meninggalkan ibu yang menangis begitu saja. Sikap mas Pamuji membuatku terkejut, keputusanku untuk pisah perlahan memudar, mas Pamuji telah membuktikan dirinya mampu melindungiku dan anak-anak.
Ibu tidak menjawab salam kami dia terus menangis, entahlah aku ragu pada tangisannya. Mungkin saja mas Pamuji merasakan hal yang sama, makanya dia memilih pergi dan tidak terjebak pada drama yang ibu mainkan lagi.
"Maaf ya, Mas. Dan ... makasih juga," ucapku pada mas Pamuji.
"Sudah tugasku, Kar," jawab mas Pamuji singkat.
"Apa Mas baik-baik aja, bersikap seperti itu pada ibu?"
"Aku hanya memberi teguran, semoga ibu mengerti, besok-besok juga ibu lupa dan kita bisa bersikap seperti biasa lagi, dan semoga sifat ibu sedikit berubah."
Aku tersenyum mendengar penuturan mas Pamuji, sepertinya mas Pamuji benar-benar tidak ingin berpisah dariku dan anak-anak. Berdebat dengan ibu tentu memberikan luka sendiri bagi Mas Pamuji, bukan hal yang pantas tapi memang harus dilakukan, bukan hal yang dibenarkan, hanya terjepit keadaan.
Bukankah membiarkan ibu dalam kesalahan juga membuat mas Pamuji berdosa?
"Oh iya, Kar. Aku dapat pinjaman 1 juta dari Kang Heri, kamu pakai dulu uang itu untuk hidup kita sampai gajian nanti."
"Terimakasih, Mas," ucapku gembira, setelah tragedi beras tumpah tadi, hatiku masih sedih.
"Nih, uangnya."
Mas Pamuji menyerahkan segulung uang dari saku celananya, lembaran berwarna merah kuterima dengan suka cita.
"Alhamdulillah, terimakasih, Mas."
"Sama-sama, aku akan tetap membagi sedikit rezeki kita untuk ibu, tapi setelah kupastikan kamu dan anak-anak cukup. Ibuku janda, nggak mungkin kalau aku nggak ngasih sepeserpun, aku harap kamu nggak keberatan, Sekar," ucap mas Pamuji memberiku pengertian.
"Aku nggak keberatan selama pembagiannya masuk akal, dan bukan untuk memenuhi gaya hidup ibumu yang tinggi," jawabku.
Ditemani mas Pamuji aku mampir ke warung mbak Yuyun untuk membeli sembako. Sekarung beras dengan berat 10kg, minyak, gula, telur, dan kebutuhan lainnya.
"Wah, Mbak Sekar belanjanya banyak, tumben," ucap mbak Yuyun sambil menghitung belanjaanku.
"Iya Mbak, biar nggak bolak balik," jawabku.
"Semua jadi 245 ribu, Mbak Sekar." Kuserahkan 3 lembar uang pada mbak Yuyun, dan mbak Yuyun pun segera memberikan kembaliannya.
"Ini kembaliannya Mbak Sekar, makasih udah belanja di warungku lho, Mbak. Alhamdulillah bisa buat muter dagangan lagi besok, terimakasih Mbak, semoga Mbak Sekar sekeluarga diberi kesehatan dan dilancarkan rezekinya, Aamiin," ucap mbak Yuyun.
"Aamiin," jawabku membarenginya, hatiku benar-benar mengamini semua doa mbak Yuyun.
Kutatap barang belanjaanku yang dibawa oleh mas Pamuji, kubayangkan wajah Bagas dan Tika yang bahagia karena besok masing-masing dari mereka akan kuberi sebutir telur.
Ada rasa mengganjal yang kurasakan, setelah ini apa ibu akan membaik atau justru semakin bersikap buruk padaku?
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Umi Salamah
bakti seorg anak laki memang pada ibunya tpi klu sampe membuat hidup istri n anak2'y dlm kekurangan apa dia gk dzolim sma klrga'y?
2022-11-21
0
Gahara Rara
sedih aku :(
2022-01-07
0