Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi. Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.
Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.
Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski bude dan pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.
Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.
Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga bude Rum, ibu mertuaku, dan lek Tri dulunya termasuk keluarga berada. Bude dan lek Tri bahkan sekolah sampai tinggi, tentulah mereka bukan keluarga sembarangan mengingat di jaman itu angka pendidikan masih rendah.
Aku pernah mendengar cerita bahwa ibu mertuaku memang bandel dan nakal sedari dulu, baliau sering membangkang pada orang tuanya dan menolak untuk meneruskan pendidikan seperti kedua saudarinya. Aku tidak mengenal mbah mertuaku karena saat aku menikah dengan mas Pamuji mereka sudah meninggal.
"Sekar, naik apa kemari?" sapa bude Rum melihatku dan Tika masuk ke halaman.
"Jalan kaki bude, sekalian olahraga," jawabku.
"Mbah de, ini kue buat mbah de," ucap Tika seraya mengulurkan plastik yang kami bawa, embun di dalamnya menandakan kue tersebut masih hangat.
Tika bersalaman dan mencium tangan bude, bude Rum membalas dengan menciumi pipinya dengan gemas. Tika lari ke ruang tv dan bergabung dengan cucu bude Rum.
"Bude ... sekar mau tanya," ucapku mengutarakan maksud kedatangan kami.
"Tanya apa, Sekar?"
"Mmm, bude bilang apa aja ke ibu?"
"Bude cuma menasehatinya, memangnya kenapa? Apa Susi cerita kalo bude datang?" tanya bude seperti terkejut.
"Bukan cerita bude, lebih tepatnya marah-marah," jawabku.
"Marah-marah?! Astaghfirullohaladzim ... keterlaluan Susi itu, bude ngomong ngalor ngidul ngasih nasehat nggak didenger rupanya," ucap bude Rum.
"Ibu marah sambil melemparkan barang-barang miliknya di rumah kami, katanya jangan sampai karena ibu ingin memiliki barang itu, kami sampai kelaparan," kisahku.
"Ibu menuduhku ingin menguasai mas Pamuji, ibu berteriak dan mengeluarkan doa dan kata-kata yang jelek pada kami, bude," lanjutku mengadu.
"Sekar harus gimana, Bude? Bagaimanapun beliau tetaplah ibu mas Pamuji dan doa-doa beliau pasti didengar malaikat? Apa Sekar sudah salah Bude?" pungasku.
"Tenang dulu," ucap bude sambil membuang nafasnya dengan berat.
"Kamu benar, Sekar. Baik buruknya adik bude satu itu, dia tetaplah ibu mertuamu. Sabar, sambil terus doakan ibu mertuamu agar hatinya terbuka dan mendapat hidayah," ucap bude Rum, raut wajah dan nada suaranya menunjukan penyesalan dan keprihatinan.
"Kamu nggak salah, kamu cuma meminta hak kamu dan anak-anakmu, sudah seharusnya kamu mendapatnya. Justru akan salah kalau kamu terus diam dan membiarkan Pamuji membiayai kehidupan ibunya dan mengorbankan hak-hak anak istrinya."
Hatiku sedikit tenang mendengar jawaban-jawaban bude Rum.
"Sebenarnya Susi beruntung, Pamuji memiliki istri seperti kamu, yang sabar, bisa prihatin dan nggak banyak nuntut. Kalau bukan kamu mungkin Pamuji udah lama jadi duda."
"Kamu yang nggak beruntung mempunyai mertua dengan watak seperti Susi, tapi ... bagaimana pun kamu harus tetap menghormatinya, kalau dia marah mending kamu pergi nggak usah diladenin, kalau dia minta sesuatu yang kalian nggak mampu ya sudah sampaikan baik-baik, kalau responnya tetap buruk biarkan, doakan saja, nggak usah maksa untuk ngasih, masuk kuping kiri keluar kuping kanan aja, Sekar," lanjut bude Rum, aku hanya diam dan sesekali mengangguk mendengar nasehat-nasehatnya.
Dari setiap perkataan bude Rum, tampak jelas bahwa dia pun lelah dengan sikap adiknya, tapi bude tetap menyayangi ibu mertuaku itu, karena seburuk apapun sifat seseorang, tali darah tidak akan bisa putus.
"Terimakasih, Bude, sudah memberi gambaran bagaimana Sekar harus bersikap."
"Iya, Sekar. Jangan sungkan, menantunya Susi ya menantuku juga, jangan dipendem sendiri dan tahu-tahu mau pisah aja kaya kemarin, jangan kaya gitu, nggak boleh gegabah, kasian anak-anak butuh bapaknya."
Nasehat bude Rum telah menamparku, kemarin batin dan pikiranku benar-benar buntu hingga memandang perceraian sebagai jalan keluar. Aku lupa anak bukan hanya butuh biaya tapi dia butuh kasih sayang dan didikan dari kedua orang tuanya. Untungnya ada bude yang menuntunku untuk lebih bersabar serta menunjukan mas Pamuji bagaimana seharusnya dia bersikap adil.
"Iya Bude, terimakasih."
"Tapi Bude ... masih ada satu hal yang mengganjal di hati Sekar," ungkapku.
"Apa Sekar?"
"Mmm, tentang doa-doa buruk ibu, Sekar harus bagaimana? Apa Alloh akan tetap mendengarnya?" tanyaku pada bude Rum.
"Wallohu'alam Sekar, bude juga nggak tahu, tapi yang pasti Alloh nggak akan salah menilai hati orang, karena yang Susi lakukan adalah hal yang kurang baik akan salah kalau Pamuji mendukung dan membiayainya."
"Bude pernah ngaji, bila seorang perempuan masuk neraka dia akan menyeret 4 laki-laki bersamanya, yaitu ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, dan anak laki-lakinya."
"Bude juga pengen Susi berubah dan hidup lebih baik, kasian almarhum bapak kami dan juga almarhum bapak mertuamu," ucap bude.
"Kalau saudara laki-laki kami nggak punya, jadi harapan satu-satunya cuma Pamuji, bude harap Pamuji bisa menasehati ibunya, menyuruhnya beribadah dan berhenti bergaya seperti anak muda begini, bergaya muda memang nggak dosa, tapi kurang pantes aja."
Aku terdiam mendengar penuturan bude Rum, ilmu baru yang membuatku ingin lebih memperbaiki diri. Ada almarhum bapakku, mas Anjar, mas Pamuji, dan Bagas yang akan ikut menanggung dosa-dosaku.
"Sekar ... kamu itu seorang istri, dan doa seorang istri untuk suami itu begitu mustajab, tidak kalah hebatnya dari doa seorang ibu," ucap bude Rum lagi.
"Kamu harus tahu bahwa doamu juga bisa membawa Pamuji ke arah yang lebih baik, doamu juga mampu melindungi Pamuji dari hal-hal buruk dari luar sana. Kamu boleh khawatir pada doa dan kata-kata buruk ibu mertuamu tapi jangan remehkan doa-doamu sendiri."
Aku kehabisan kata mendengar kalimat-kalimat terakhir bude Rum, bude telah membangkitkan kesadaranku untuk berpikir positif, aku terlalu larut dalam ketakutan sampai lupa betapa berharganya diriku.
"Bude ... terimakasih, udah ngebuka pikiran Sekar," ucapku dengan bibir yang gemetar, sifat keibuan bude Rum membuatku nyaman dan kebijaksanaannya membuatku kagum.
"Sama-sama Sekar, masalah akan terlihat besar kalau kita memandang itu memang besar, tapi masalah akan terlihat kecil bila kita memandangnya kecil dan mampu menyederhanakan semua hal yang dianggap rumit," lanjut bude Rum.
Kurekam semua nasehat-nasehat hebat bude Rum. Kuingat kalimat perkalimat beliau yang akan menuntunku untuk lebih bijak menghadapi masalah.
Bicara dengan bude membuat waktu berjalan tanpa terasa, aku pun berpamitan karena Bagas akan segera pulang. Tiba-tiba sebuah getaran di ponselku membuat langkah kami berhenti.
"Nurma?" Sebuah nama terpampang di layar ponselku yang retak di beberapa bagian, kusentuh icon angkat dan kudekatkan benda itu di telingaku.
"Hallo Nur, assalamu--."
1
"Dimana kamu, Sekar? Aku harus membuat perhitungan sama kamu!"
.
.
.
. Mohon dukungannya kawan-kawan, kalo kalian suka sama cerita ini jangan lupa untuk subcribe, like, dan komen biar aku makin semangat nerusin cerita Sekar dan Pamuji.
Terimakasih 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
tetap semangat kk... aku selalu setia 🥰🥰
2021-11-09
0