"Kurangi aktifitas, sering-sering dikompres menggunakan air dingin dan jangan lupa untuk mengangkat bagian lutut lebih tinggi dari tubuh saat berbaring." Kata dokter William, dokter Spesialis Bedah Ortopedi dan Traumatologi.
"Baik, dok," Sekar mencatat baik-baik semua pesan dokter di memory otaknya.
"Benar tidak apa-apa, dok?" Arion bertanya pada sang dokter ketiga kalinya. Nampaknya, ia tak puas dengan jawaban dokter William.
Dokter William tersenyum simpul. "Tidak apa-apa. Ini hanya memar ringan, paling lama 3-5 hari akan sembuh. Tetapi perlu diwaspadai apabila ada gejala, seperti ukuran lebam semakin membesar, nyeri bertambah, kaki sulit digerakan, kesemutan atau mati rasa pada beberapa bagian di sekitar kaki dan bengkok. Jika ditemukan salah satu gejala saja, kalian harus segera datang kemari,"
Arion mengangguk. Kini ia merasa benar-benar lega mendengar kondisi Sekar ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan.
...*...
"Kan sudah kubilang, aku tidak apa-apa. Mas aja ngeyel!" sahut Sekar ketika mereka sampai di parkiran Rumah Sakit.
"Untuk jaga-jaga saja." Jawab Arion kalem. Pria itu mengacak rambut Sekar lalu menuntun gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya.
Ia mengajak Sekar makan siang terlebih dahulu di restoran cepat saji sebelum melanjutkan perjalanan.
"Habis ini kita mau ke mana, Mas?" tanya Sekar, begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.
"Rumah Ibu angkatku." Jawab Arion.
Sekar mengernyitkan dahinya. "Untuk apa? Katanya jalan-jalan, kok malah ke sana? Aku tidak mau Mas. Lebih baik antar aku pulang saja." Tolak Sekar. Untuk apa Arion mengajaknya ke sana? Setahu dirinya, tidak ada permbicaraan apapun mengenai hal itu, jadi wajar rasanya kalau Sekar langsung menolak mentah-mentah. Toh, hubungan mereka tidaklah sedekat itu, sampai-sampai Arion harus membawanya ke kediaman sang Ibu angkat.
"Kau tidak boleh sendirian di rumah. Harus ada orang yang mengurusmu. Jadi lebih baik kau menginap saja di rumah Beliau selama beberapa hari ini." Terang Arion.
"Aku tidak mau! Apa jadinya kalau Ibumu tahu, aku datang ke rumahmu tiba-tiba? Kenal saja belum." Sekar melipat kedua tangannya sembari menatap Arion kesal. Gadis itu tengah mencoba mengintimidasinya.
"Aku sudah menelepon Beliau tadi saat kita makan."
Mendengar perkataan Arion yang seolah tanpa beban, Sekar membuka mulutnya lebar-lebar. Pantas saja ia lama sekali saat ijin akan menelepon seseorang.
"Kan, Mas selalu seenaknya sendiri," Sekar bersungut-sungut.
"Kamu yang selalu membantah apa kataku. Tak bisakah memudahkan semuanya dengan menjawab 'ya' tanpa harus berpikir?"
"Iiissh!" Sekar membuang muka. Berdebat dengan seorang pria cerdas memang sangat melelahkan. Alih-alih menang, kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri. Lihat saja, semua perkataanmu diputar balikan dengan sangat mudah olehnya!
...***...
Satu jam kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana berlantai satu. Pekarangan rumah berpagar kayu itu nampak sangat asri karena ditumbuhi dengan berbagai macam aneka tanaman.
Arion mengajak Sekar masuk ke dalamnya.
Wangi khas rumah pedesaan langsung menyeruak, menerpa hidung mereka. Mengingatkan Sekar pada kampung halamannya.
"Ternyata masih ada rumah seperti ini di Kota," gumam Sekar.
"Assalamualaikum," sapa Arion pada penghuni rumah.
"Waalaikumsalam." sebuah jawaban terdengar dari dalam. Dari suaranya, Sekar bisa menebak jika orang tersebut mungkin sepantaran dengannya.
Benar saja, seorang gadis yang mungkin hanya beberapa tahun lebih muda Swkar keluar dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Ibu mana, Din?" tanya Arion begitu melihat Dini.
"Sudah berangkat kerja, Pa–Mas," jawab Dini canggung. Matanya kemudian beralih pada seorang gadis cantik berpenampilan sederhana namun wajahnya sangat ayu.
"Mbak Sekar, ya?"
"Iya." Jawab Sekar sembari menganggukan kepalanya.
"Boleh juga nih, selera Bapak." batin Dini.
"Ayo, Mbak, Mas, masuk dulu," ajak Dini. Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu.
Arion meminta ijin sekali lagi pada Dini untuk memperbolehkan Sekar menginap di sana beberapa hari. Ia juga meminta tolong Dini untuk mengambil pakaian Sekar di tempat kost-nya.
Sekar awalnya menolak karena merasa tidak enak. Mereka baru saja bertemu tetapi Sekar sudah banyak menyusahkan mereka.
"Tidak apa-apa, aku malah senang kok, Mbak. Di rumah hanya berdua dengan Ibu, jadi rasanya sepi sekali." Terang Dini dengan wajah sumringah.
Setelah berbincang-bincang sejenak, Arion pun pamit untuk kembali ke Kantor.
"Nanti malam aku akan ke sini lagi," ujarnya pada Sekar. Sekar mengangguk semangat. Ia memang berharap Arion dapat lebih lama bersamanya untuk menghilanglan kecanggungan pada Dini dan Ibunya.
Setelah mengantar Arion sampai depan rumah, Dini menunjukan sebuah kamar kosong pada Sekar.
Kamar yang wangi dan rapi, namun memang jelas terlihat bahwa kamar tersebut sudah lama kosong. Banyak barang-barang tua yang diatur sedemikian rupa dan diletakan di pojok ruangan.
"Maaf ya, Mbak, kalau kamarnya masih berantakan. Ini dulu kamar Ibu sama Bapak, tetapi semenjak Bapak meninggal, Ibu enggan menempatinya dan memilih tidur bersamaku. Ya, walaupun terkadang, Ibu masih suka tidur di sini." Kata Dini.
"Tidak apa-apa, Dini. Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih, ya?"
"Sama-sama, Mbak." Dini membantu Sekar meletakan tas olah raga yang ia bawa.
"Kalau begitu, aku pamit kerja dulu ya, Mbak? Nanti siang Ibu akan pulang, Beliau kerja hanya setengah hari."
Sekar mengangguk. Dini pun keluar dari kamar dan pergi meninggalkannya. Gadis itu menolak diantar sampai depan rumah dan menyuruh Sekar untuk beristirahat saja.
Merasa bosan karena sendirian, Sekar berinisiatif menyapu dan mengepel lantai sembari melihat-lihat rumah lebih dalam.
Rumah tersebut terbilang cukup luas meski hanya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi. Ruangan luas yang berada di tengah-tengah rumah dijadikan ruang televisi dan ruang tamu, tanpa sekat. Rumah tersebut cukup banyak mendapat sinar matahari karena memiliki jendela tanpa kaca.
Lantai rumahnya yang hanya menggunakan semen, mengingatkan Sekar pada rumahnya sendiri.
Sekar jadi merindukan Mbah dan Budenya. Gadis itu pun memutuskan menelepon keduanya.
...***...
Arion masuk ke dalam rumah utama dengan wajah dingin. Sapaan beberapa maid sama sekali tidak diindahkan pria itu. Wajahnya nampak tidak bersahabat kali ini.
Kakinya melangkah menuju lantai dua, tempat dimana wanita itu biasa menghabiskan waktunya.
Tanpa permisi, Arion membuka pintu sebuah ruangan dengan kasar. Ruangan tersebut adalah ruangan tempat Erlina meletakan barang-barang berharganya, seperti tas, sepatu dan beberapa perhiasan serta aksesoris mewah.
Erlina hampir saja berteriak memaki pada seseorang yang telah lancang masuk ke dalam ruangan pribadinya.
"A–arion, Mama kira siapa," ujar Erlina gugup.
"Jadi, kalau bukan aku, kau berhak memaki siapapun?" tanya Arion dingin.
"Bu–bukan begitu." Kilah Erlina. "Kau tidak berangkat ke Kantor, Nak? Sudah makan belum? Mama siapkan, ya?" sambung Erlina. Wanita itu berusaha menghindari Arion.
Arion berjalan mendekat, menghampiri Erlina.
"Aku sudah mendengar kelakuanmu di Kantor," ucap Arion. Erlina menelan salivanya.
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak datang ke Kantor. Aku memberimu ijin untuk menikmati rumah ini dan seisinya, aku juga sudah menempatkan anak dan calon menantumu di Kantor Umbara. Jadi, kau seharusnya cukup duduk manis dan jangan bertingkah!" desis Arion.
Erlina tertawa kecil. "Memang, apa salahnya mengunjungi Kantor suamiku sendiri? Ingat Arion, aku adalah istri sah Ayahmu, jadi aku berhak melakukan apapun sesuka hatiku, termasuk datang mengunjungi Kantor."
Arion tersenyum simpul. "Kau hanya berhak diam dan hidup dengan damai di sini. Jangan berani-berani mengganggu ketentraman Karyawanku, apa lagi sampai menyiksanya seperti kemarin."
"Karyawan yang mana? Kulihat, kau menaruh perhatian pada salah seorang OG sampai mau repot-repot menggendongnya ke Klinik," kata Erlina sinis. Ia berusaha tidak terintimidasi tatapan mata Arion, yang seolah-olah akan menerkamnya.
Mendengar penuturan Erlina, Arion memicingkan matanya. "Aku selalu menaruh perhatian pada seluruh karyawanku. Jadi, jangan coba macam-macam atau aku akan membakar semua koleksimu ini," ujarnya.
Erlina terperanjat. Wanita itu bergeming sampai Arion berbalik pergi meninggalkannya.
Saat Arion persis berada di ambang pintu, Erlina berkata, "Sekar nama gadis itu. Iya, kan?"
Arion berbalik dan memandang Erlina tajam sebelum akhirnya keluar dari ruangan sepenuhnya.
Arion tahu betul, Erlina telah menemukan kelemahannya. Sepertinya, ia harus lebih ketat mengawasi wanita itu, sekaligus melindungi Sekar kini.
Erlina sebenarnya adalah wanita yang cerdas, itulah salah satu alasan mengapa Dewandaru ingin menikahinya. Pria itu berpikir, Erlina dapat menggantikannya suatu saat kemudian. Namun ketika beberapa kali ia ikut bekerja di Kantor, berbagai macam masalah datang menghampiri. Perangai asli wanita itu tak sebaik otak cerdasnya.
Erlina adalah wanita yang kedua yang dicintai Dewandaru, namun dibenci sebagian besar keluarga Umbara. Wanita itu bahkan tak pernah mendapat restu Kakek Neneknya hingga saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Rice Btamban
lanjutkan Thor
2022-10-25
0
Dhianra Rara
aku memprediksi kalau Bapaknya si Arion di RACUN sama Erlina
2022-03-27
0
Lisa Z
ih jangan deh.. kalo mau ketemu sama nek lampir
2022-03-23
0