Cinta Tulus Mantan Office Girl
Di ujung timur sebuah desa, matahari pagi mulai menampakan wujudnya. Ratusan burung-burung dan ayam-ayam pun sudah mulai saling bersahut-sahutan merdu. Mereka berlomba menyapa cakrawala, sekaligus memanggil para penghuni desa kecil ini untuk bangun dari tidur lelapnya.
Sebagian dari para penduduk sudah ada yang turun ke sawah, untuk memulai aktifitas mereka seperti biasanya. Sementara sebagian kecil lagi, ada yang memikul dagangannya di bahu dan siap berkeliling mencari rezeki.
Semua tampak berjalan normal dan baik-baik saja, terkecuali di salah satu rumah berdinding bambu dan bata tanpa plester, yang letaknya agak menjorok ke dalam desa.
"Mbah! Mbah!" Seorang gadis berpakaian sederhana keluar dari rumah dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia berteriak-teriak memanggil sang nenek yang lagi-lagi hilang entah ke mana. Tanpa alas kaki, gadis itu berlari menuju tempat-tempat yang sekiranya biasa dikunjungi sang nenek.
Namun, hasilnya tetap sama, neneknya tidak berada di mana pun.
Tidak kehabisan akal, Sekar bergegas lari menuju satu-satunya Masjid yang berdiri kokoh di tengah-tengah Desa. Gadis itu meminta tolong pada seorang muadzin untuk mengumumkan kehilangan neneknya lewat pengeras suara Masjid. Ia berharap, dengan adanya pengumuman tersebut, siapa pun dapat mengantar sang nenek pulang, ketika berpapasan dengan Beliau.
Meski Sekar sudah membuatkan kalung dan gelang berisi identitas sang nenek, ia tetap saja merasa khawatir.
"Matur nuwun, Pakde," ucap Sekar setelah pengumuman tersebut tersiar ke seluruh Desa. Gadis itu berniat memulai pencariannya lagi.
“Sekar!" Sebuah suara memanggil gadis itu dari kejauhan.
Sekar menoleh, dan rona lega segera menghiasi wajah cantik gadis itu, ketika melihat Dino, tetangganya, berjalan sambil menggandeng sang nenek. Ia segera berlari menghampiri mereka.
“Ketemu Mbah, di mana, Mas?” tanya Sekar dengan napas terengah.
"Mbahmu lagi ngejar ayam Pak Sukri. Katanya itu kamu!" jawab Dino sembari tertawa terbahak-bahak.
Sekar spontan mencibir. "Ini aku loh, Mbah! Aku masih jadi manusia nih!" Ia mendekatkan wajahnya pada Mbah Bhanuwati. Namun, beliau tidak menanggapi protes cucunya.
Maklum saja, penyakit alzheimer yang diidap Mbah Bhanuwati membuat dirinya lupa akan orang-orang sekitar, tak terkecuali pada keluarganya sendiri.
"Ya sudah kalau begitu, makasih banyak ya, Mas," Sekar mengambil alih sang nenek.
"Smaa-sama, Sekar. Oh iya, kamu jadi berangkat ke Jakarta?" tanya Dino tiba-tiba.
"Iya, Mas. Kenapa emangnya?" Sekar balik bertanya.
Dino menatap Sekar dan Mbah Bhanuwati perihatin. "Ndak sayang karo Mbah sama Budemu?"
Sekar menghela napasnya. Ini adalah pertanyaan kesekian kali yang Dino ajukan tiap mereka bertemu. Kentara sekali, duda tanpa anak itu sebenarnya sedang mencoba menghalangi kepergian Sekar.
"Mau bagaimana lagi Mas, demi sesuap nasi." Jawab Sekar pasrah.
Di usianya yang ke-25, Sekar memang masih saja bekerja serabutan di sesa. Terkadang, ia terpaksa bekerja sampai keluar desa, meski hanya menjadi buruh cuci dengan bayaran sepuluh ribu rupiah sehari. Nominal yang tidak cukup untuk keperluan sehari-hari.
Sekar bahkan tak selalu diupah dengan uang, melainkan hasil panen, seperti dengan sekantung beras, beberapa singkong dan juga jagung. Ia bahkan pernah dibayar dengan setumpuk kardus bekas yang akhirnya dijual ke pengepul.
Sementara sang bude, Gayatri, membantu Sekar mencari pundi-pundi rupiah dengan berjualan nasi uduk di depan rumah mereka.
Namun, karena kondisi Mbah Bhanuwati yang akhir-akhir ini semakin parah, mau tidak mau salah satu di antara mereka harus mengalah agar bisa fokus menjaga beliau.
Dari situlah Sekar bertekad ingin mencari pekerjaan yang layak di Jakarta. Tidak perlu posisi yang tinggi, ia sadar diri, asal bisa mendapatkan gaji tetap setiap bulannya untuk keluarga, itu sudah lebih dari cukup.
"Emangnya udah ada panggilan dari beberapa lamaran yang kamu buat?" Dino tampak ragu. Ia tampak khawatir karena Sekar hanya memiliki ijazah SMP.
"Belum aku lihat lagi, Mas. Nanti siangan aku baru ke warnet!" jawab Sekar. "Ya sudah, aku pulang dulu, yo?"
"Iyo!" Dino menatap Sekar hingga gadis itu hilang di balik tikungan.
"Sekar, andai kamu mau kupinang, setidaknya hidupmu tidak akan sesusah ini," gumam pria itu lirih.
...***...
Sekar memberikan uang lima ribuan kusam pada seorang remaja penjaga warnet. Gadis itu memilih salah satu bilik yang paling dekat dengan kipas angin, sebelum kemudian menyalakan komputernya.
Gadis itu dengan seksama memeriksa jawaban dari puluhan email lamaran kerja yang beberapa hari lalu ia kirim.
Sekar terus menggulir tombol mouse pada komputernya, guna memperhatikan setiap email yang masuk. Mata gadis itu kemudian berhenti pada satu-satunya email balasan dari Umbara Corporation, salah satu perusahaan terbaik di bidang teknologi, yang berpusat di Jakarta.
...*...
...UMBARA CORPORATION...
...Jalan Batu Naga Air, No. 36. Telp (021) 73xxxxx...
...Jakarta....
Jakarta, xx Oktober 20xx
Nomor: 192/UC/010/20xx
Perihal: Panggilan Wawancara
Lampiran:
Yth. Sdri. Sekar Ayu Parmaditha.
di Tempat
Menanggapi surat lamaran kerja Saudari, maka dengan ini kami mengharap kedatangan Saudari pada:
Hari, Tanggal: Kamis, xx Oktober 20xx.
Waktu: Pukul 08.00 s.d selesai.
Keperluan: Wawancara kerja.
Tempat: Gedung C Umbara Corporation, lantai 13.
Pada kesempatan tersebut, kami mengharap Saudari melengkapi:
Ijazah asli;
Transkrip Nilai asli;
Berpakaian rapi dan formal.
Demikian surat panggilan ini dibuat. Atas perhatian Saudari, saya ucapkan terima kasih.
Manager Personalia,
Nadia Fazrul, SE
Setelah membaca email balasan tersebut, Sekar memekik kegirangan. Gadis itu segera berlari meninggalkan warnet menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Sekar menerjang Bude Gayatri yang tengah sibuk mencuci singkong di dapur, sembari berteriak-teriak histeris.
"Ono opo toh, Nduk?" tanya Bude Gayatri yang terkejut mendapat perlakuan heboh dari Sekar.
"Aku dapat panggilan kerja, Bude!" sahut Sekar disertai tawa riang.
"Alhamdulillah, ya Allah! Jadi kamu benar-benar akan berangkat ke Jakarta?" Gayatri turut bahagia, meski hatinya sedikit khawatir.
"Iya, Bude. Ini demi masa depan kita yang lebih baik!" katanya menggebu-gebu. "Aku ingin Bude dan Mbah tinggal di rumah yang layak dan makan makanan bergizi!" Sekar menggenggam erat tangan sang bude.
"Yang harusnya makan makanan bergizi itu kamu. Mbah sama Bude wis tuwek, ndak perlu makanan bergizi." Bude Gayatri tersenyum lembut.
"Ihh, Bude!" Sekar merengut. "Pokoknya aku harus mencari uang yang banyak untuk kita! Ya sudah, aku siap-siap dulu ya, Bude!" Sekar beranjak dari dapur menuju kamarnya dengan langkah riang.
"Jangan berisik, Nduk, Mbahmu baru saja tidur." Gayatri memperingati sang keponakan tercinta, sambil menggelengkan kepalanya.
"Ups!" Gadis itu mengatupkan mulutnya seketika. Ia berjinjit masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar sang nenek.
Gayatri tersenyum tipis. Sembari sibuk memasukan singkong ke panci untuk direbus, wanita tua itu diam-diam menangis.
Rumah pasti akan sepi jika Sekar tidak ada, sebab yang selama ini mencerahkan suasana adalah gadis itu. Gadis manis yatim piatu yang harus kehilangan orang tuanya di usia 15 tahun karena wabah penyakit.
...***...
"Nduk, Bude masuk, ya?" Gayatri berdiri di ambang pintu kamar Sekar, ketika gadis itu tengah mematut diri di cermin usang miliknya yang telah retak.
"Iya, Bude!" balas Sekar riang.
"Duduk sini," titah Gayatri yang kini duduk di kasur milik Sekar tanpa dipan. Beliau kemudian membuka sebuah kotak biskuit yang sudah penyok di hadapan Sekar, lalu mengeluarkan lima buah gelang emas, beserta dua buah kalung, dan sepasang cincin kawin dati dalam sana.
Wanita itu meletakkan perhiasan-perhiasan tersebut di tangan Sekar.
"Ini opo toh, Bude?" tanya Sekar kebingungan.
"Ini semua perhiasan peninggalan ibumu. Sepasang cincin itu adalah cincin pernikahan ibu dan bapakmu. Juallah sebagai modalmu hidup di Jakarta. Kamu ndak mungkin pergi tanpa bekal, Nduk," terang Bude Gayatri.
Sekar yang terkejut, kontan menolak. "Jangan, Bude! Kalau dijual, nanti peninggalan ibu sama bapak nggak ada lagi!" sergahnya sembari mengembalikan benda-benda berkilau itu ke dalam kotak.
Namun, Gayatri menahan tangan Sekar. "Ini memang pesan dari beliau sewaktu sakit, Nduk. Jangan membantah apa kata orang tua. Hidup di Jakarta keras. Kamu akan menggelandang kalau ndak punya bekal sama sekali." Wanita berusia enam puluhan itu itu menatap Sekar lekat-lekat. "Perhiasan-perhiasan ini nilainya mungkin kecil, tapi Bude rasa akan cukup untuk bayar sewa kamar dan makanmu sehari-hari, sampai waktu gajian."
Sekar termangu memandangi perhiasan-perhiasan yang kini berada di tangannya. Airmata mulai menetes membasahi pipi gadis itu. Dengan cepat, Sekar menubruk Gayatri dan memeluk beliau erat. "Doakan Sekar ya, Bude?"
"Pasti, Nduk. Sehat-sehat di sana, ya? Ingat, kamu harus menjaga diri dengan baik. Walau kita miskin, kita lahir dari keluarga baik-baik!" Nasihat tegas Gayatri yang langsung dicamkan dengan baik oleh Sekar.
...***...
Sekar lagi-lagi memeluk budenya erat, seolah tidak rela meninggalkan kedua orang tercintanya di sini. Terlebih, usia mereka sudah cukup tua. Namun, Sekar tidak punya pilihan lain, ia harus bisa merubah nasibnya, agar bisa hidup layak bersama sang nenek dan budenya.
"Sudah, cepat pergi! Nanti ketinggalan bus, Nduk!" Gayatri berusaha melepaskan pelukan Sekar, meski terasa berat.
"Sebentar lagi, Bude," jawab Sekar lirih.
"Nanti sampai di sana, aku akan mengabari Bude lewat Mas Dino, ya?" kata gadis itu kemudian.
"Iyo, Nduk."
Setelah puas berpelukan dengan Gayatri, Sekar beralih memeluk neneknya. "Sekar berangkat ya, Mbah? Doakan Sekar ya, Mbah?" Meski sang nenek tidak akan mengerti apa yang ia bicarakan, Sekar tetap meminta restu beliau.
Gadis itu menyalami keduanya sebelum berangkat bersama Dino. Pria itu secara sukarela menawarkan tumpangan untuk Sekar sampai ke Terminal.
...***...
"Makasih yo, Mas," ucap Sekar ketika turun dari motor.
"Sama-sama." Dino merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan hitam tebal. "Ini untukmu, Sekar," ujar Dino.
"Apa ini, Mas?" Sekar berniat membuka bungkusan itu. Ia pikir, bungkusan itu adalah camilan untuk bekalnya di jalan.
Dino buru-buru menahannya. "Jangan di sini, bahaya! Kamu tahu ada banyak preman-preman berkeliaran 'kan? Buka saja ketika sudah sampai di tempatmu," kata Dino, yang malah membuat Sekar semakin penasaran.
Saat ia hendak menanyakan hal lebih lanjut, Dino memutus perkataannya.
"Uangmu juga sudah kami simpan dengan aman, belum?" tanya pria berusia 37 tahun itu.
Sekar mengangguk. Siang tadi,.gadis itu menjual perhiasan orang tuanya ditemani Dino. Ia hanya menjual Gelang dan Kalungnya saja, sementara sepasang cincin pernikahan kedua orang tuanya disimpan sebagai kenang-kenangan.
"Makasih yo, Mas. Aku titip Bude sama Mbah." Sekar mengambil tangan Dino dan membawanya ke kening.
"Pasti! Ya sudah, hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah sampai," pesan pria itu.
"Iyo." Sekar bergegas masuk ke dalam Bus.
Gadis itu duduk dengan nyaman di samping kaca jendela. Matanya menatap sekeliling, memandangi para penumpang yang juga akan berangkat bersama ta ke Jakarta. Dari barang-barang yang mereka bawa, mereka sepertinya juga hendak merantau di ibu kota tersebut.
Sepuluh menit kemudian bun pun berangkat. Sekar melambaikan tangannya pada Dino yang masih setia menunggu di luar sana.
"Hati-hati!" teriak Dino.
Sekar mengangguk semangat. Gadis itu mengambil napasnya dalam-dalam, berharap Jakarta bisa merubah nasibnya dan keluarga kecilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Rice Btamban
tetap semangat
2022-10-20
0
Rice Btamban
lanjutkan
2022-10-20
0
Rina Zulkifli
Ketagihan baca karya kaka othor 👍💐
2022-08-27
1