ALAM SEBELAH
CRIK CRIK CRIK
Suara korek api alumunium berbahan bakar minyak tanah, tengah coba dinyalakan Si Mbah Turahmin melalui jari-jemarinya.
"Dar, ambilkan lampu sentir di sebelah kamu sini. Ini habis pasti minyaknya," titah Mbah Turahmin sembari terus mencoba menyalakan korek api di tangannya.
Bergegas kusodorkan lampu yang berbahan bakar minyak tanah di sebelahku--satu-satunya penerangan ruangan ini, menuju tangan Mbah Turahmin.
"Niki, Mbah?!" (Ini Mbah) ucapku seraya melepas lampu sentir yang lalu berpindah ke genggaman Mbah Turahmin.
Selang berapa detik, terlihat kepulan asap di iringi bau kemenyan yang cukup menyengat keluar dari bibir Mbah Turahmin.
Asap yang bersumber dari rokok buatan tangan sendiri. Rokok tersebut berbahan tembakau, kelembak, kemenyan dan juga cengkeh yang dibungkus kertas sigaret, lalu digulung manual menggunakan tangan.
Sesekali Mbah Turahmin memejamkan mata menikmati asap menari di dalam saluran pernapasan, sebelum lekas membuang asap tersebut dengan meniupnya.
"Dar, kamu sudah dengar belum, tentang Pak Sapto?" tanya Mbah Turahmin dengan asap yang terus mengepul dari mulutnya.
"Lho, ada apa, Mbah? Aku belum dengar apa-apa." Sontak aku menoleh ke arah mbah Turahmin, ketika kedua tanganku tengah meracik bumbu dan tembakau untuk dijadikan rokok.
"Itu lho, Dar ... sampai sekarang gerobak sama bakso-baksonya belum diambil dari kuburan Candi Wulan," ungkap Mbah Turahmin dengan raut wajah serius.
"Lho, kok bisa? Siapa yang angkat gerobak Pak Sapto sampai atas? Bukannya satu-satunya jalan ke kuburan itu harus lewat tangga, ya, Mbah?" tanyaku penasaran.
"Nah itu anehnya, Dar. Tadi sore aku sempat ke rumah Pak Sapto buat menjenguk, soalnya aku dapat kabar setelah kejadian itu dia langsung jatuh sakit. Pas aku tanya ke Pak Sapto, dia cuma bilang kalau pas kejadian dia sudah ngantuk berat, tapi baksonya belum laku sama sekali, alias masih utuh," cerita Mbah Turahmin terhenti, karena rokok yang dia pegang mati. Kini dia tengah menyalakan kembali rokok di tangannya menggunakan lampu sentir di dekat kami. Wajar saja, karena rokok kami memakai kemenyan. Jadi memang sudah biasa kalau sebentar saja didiamkan langsung mati.
"Terus, Mbah?" tanyaku penasaran.
"Nah, pas lewat di dekat kuburan candi wulan, katanya ada ramai-ramai, Dar. Berharap baksonya laku, dia dorong gerobaknya ke arah keramaian itu. Nah, pas sudah sampai di keramaian, banyak yang nyamperin, Dar. Pembelinya sampai ngantri. Pak sapto benar-benar kewalahan, karena mangkok yang dia bawa cuma tuju, jadi cuma bisa melayani tujuh orang. Meski begitu, yang lain masih sudi ngantri giliran mangkok," tutur Si Mbah sedikit tertawa.
"Apanya yang lucu, Mbah? Terus gimana lanjutannya?" tanyaku semakin penasaran.
"Nah, karena saking ramainya, Pak Sapto sampai tidak fokus. Yang dia perhatikan cuma sisa bakso di kuali saja. Dia bilang, pas mau siapin bakso ke-14, semua orang mendadak hilang, Dar. Dia toleh kanan, toleh kiri, tapi sepi. Yang bisa dia lihat cuma batu nisan yang lagi baris rapi," tutur Si Mbah lagi sembari tertawa, menganggap hal yang dilontarkannya terkesan lucu.
"Terus, Mbah?!" Wajahku semakin heran melihat Si Mbah tertawa. Karena menurutku, itu tak lucu sama sekali.
"Terus Pak Sapto puter balik, Dar. Buru-buru dia dorong gerobaknya. Pas sampai di bibir tangga menurun, dia bingung, karena jalan yang tadi dia lewati sudah tidak ada lagi. Akhirnya dia lari pontang-panting sampai rumah. Gerobak sama baksonya dia tinggal di atas kuburan!" Si Mbah masih terbahak.
"Yang aneh lagi, Dar ... semua orang yang beli serentak bayar pakai uang lima ratus perak gambar orang utan. Mereka enggak minta kembalian, tapi pas sampai di rumah, tiga belas lembar uangnya jadi daun nangka semua. Hahaha!" lanjut Si Mbah, semakin terbahak-bahak.
"Masak iya sih, Mbah? Nggak bohong, 'kan?" Aku sedikit merasa tak percaya.
"Ya, emang tidak masuk akal sih, kalau dipikir. Masa iya, setan ngantri bakso? Hahaha!" jawab Si Mbah yang berhasil membuatku ikut terbahak.
"Besok siang katanya tetangga Pak Sapto mau bantu turunin gerobak. Kamu ikut ya, Dar?"
"Njih, Mbah. Siap!" jawabku singkat sembari meyakinkan bahwa cerita itu nyata, karena percaya tidak percaya, gerobak pak Sapto benar-benar berada di atas kuburan.
***
Namaku Darto, laki-laki lima belas tahun yang tidak bersekolah. Aku tinggal di gubuk kayu hanya dengan mbah Turahmin, selaku kakekku--bapak dari Ayahku.
Dia satu-satunya keluarga yang kupunya di kampung ini. Kata Si Mbah, ibuku meninggal tepat setelah melahirkan diriku. Dan juga dia bilang kalau aku terlahir dengan posisi sungsang-- keluar kaki terlebih dahulu.
Ayahku meninggal ketika usiaku menginjak empat tahun, karena terserang penyakit cacar. Akhirnya Mbah Turahmin yang menggantikan peran ayah-- merawat dan membesarkanku sendirian hingga detik ini.
Sebelum merawat diriku, Si Mbah juga hidup sendiri di rumahnya, istrinya sudah berpulang setelah melahirkan ayahku, sedangkan ayah dan ibuku menetap di rumah lain yang mereka bangun sendiri.
Menggunung rasa syukurku karena Si Mbah Turahmin yang membesarkanku. Sosok orang tua nyata--pribadi penuh kehangatan, kelembutan, kasih sayang, juga sifat humorisnya yang selalu membuatku menarik bibir lebar-lebar, membentuk tawa dengan suara menggema. Menikmati kebahagiaan dengan cara sederhana.
Dengan sedikit bantuan tenagaku, kita berdua mendapatkan pasokan makan dan uang dengan bertani setiap harinya. Kita habiskan sebagian besar waktu untuk menanam singkong, ubi, talas dan sesekali menanam kacang panjang di ladang yang cukup luas di belakang rumah kami.
Penduduk daerah kami juga sama, hampir merata seluruhnya berprofesi sebagai petani. Namun ada beberapa yang pergi mengadu nasib di rantau, dengan jumlah yang hanya bisa dihitung dengan jari.
***
"Mbah, ayo kita bantu turunin gerobak Pak Sapto," ajakku seraya membuka pintu hendak keluar dari rumah.
"Ayo, Dar!" sahut Si Mbah yang sudah tampak siap di belakangku.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana, karena kuburan Candi Wulan memang tidak jauh. Letaknya berada di pinggiran desa kecil yang kita singgahi.
Sesampainya di sana, tampak dua laki-laki tua dan dua pemuda yang sangat aku kenal tengah menaiki tangga, mereka terus mendekat menuju gerobak Pak Sapto yang sudah terlihat dari bawah tangga.
"Dar, besok bantu panen buncis punya bapak ya Dar. Sama Satya juga," kata Anto teman sebayaku meminta pertolongan.
"Siap, Juragan! Asal upah sepadan!" kicau recehku dengan cepat, menyanggupi permintaannya.
"Ya sudah, besok langsung ke sawahku, ya. Jangan kesiangan!" tandas Anto mengingatkan.
"Siap, Juragan!" Jawabku kemudian kembali melangkah.
Kita melanjutkan menaiki tangga kuburan Candi Wulan yang sudah terpampang di depan mata. Sekitar seratus anak tangga yang harus kita daki untuk bisa mencapai puncak. Hal itu membuatku semakin berpikir keras, bagaimana Pak Sapto tidak merasakan apa pun ketika menaiki tangga ini. Padahal dia mendorong gerobak yang masih penuh dengan baksonya. Entahlah! Memang akal tidak akan pernah berfungsi, jika sudah menyangkut tentang hal yang berbau gaib.
Sesampainya di atas, tampak gerobak Pak Sapto sudah sedikit tertutup daun kering, yang berasal dari pohon beringin besar di sampingnya.
Bersama kita menurunkan gerobak tersebut menuruni tangga perlahan. Dua anak muda di bawah, dua orang tua di belakang dan dua sisanya menjaga dari samping jika sewaktu-waktu menggelinding. Dan syukurlah usaha kami berhasil.
Ketika sampai di bawah tangga, kualihkan kembali pandangan ke ujung atas tangga. Sekejap aku membayangkan satu orang mendorong gerobak sendirian sampai atas. Langsung kusimpulkan; Hal itu termasuk kategori mustahil.
Usai istirahat di bawah tangga, kulihat kembali ujung tangga di atas sebelum bergegas meninggalkan kuburan.
"Sudah, Dar! Jangan dilihat terus," ujar Si Mbah tiba-tiba, sembari terus memperhatikan diriku.
"Njeh, Mbah!" jawabku singkat sembari berdiri, lalu menyusun langkah menuju pulang bersama rombongan.
"Kamu liat 'kan, Dar?" tanya Si Mbah sembari terus berjalan.
"Iya, Mbah. Saya lihat," jawabku--tahu persis mengarah kemana pertanyaan Si Mbah tersebut.
"Sudah! Jangan diingat-ingat terus!" hardik Si Mbah.
Saat itu, aku melihat sekumpulan orang dengan baju putih di ujung tangga. Mereka hanya diam, menatap ke arah yang sama dengan tatapan merendah. Wajah mereka hancur, membusuk, juga tidak lengkap. Sungguh pemandangan yang jauh dari kata sedap untuk dipandang.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Ira_87
menegangkan 😱
2024-05-01
0
Introvert
hadir bang
2024-04-13
1
MARY DICE
simbah udah sering liat yang lebih serem makanya dianggap lucu
2024-03-28
0