Satya sudah dikebumikan dengan lancar siang ini. Tamu yang berbondong datang pun sudah mulai sepi. Yang tersisa hanya isak tangis keluarganya di sana.
"Mari pulang Mbah, Darto pengen tanya sesuatu sama Si Mbah," ucapku kepada Si Mbah Turahmin yang masih merokok di ruang tamu kediaman Satya.
"Ayo Dar, kita pamit dulu sama orang tuanya Satya," jawabnya kemudian kita bergegas berpamitan dan berjalan pulang setelahnya.
"Ini Mbah diminum," ucapku sembari menyodorkan gelas besar berisi teh pahit setelah sampai di rumah kami.
"Ada apa Dar? Dari tadi kamu banyak ngelamun di rumah Satya, kamu masih belum ikhlas?" tanya Si Mbah membuka pembicaraan.
"Darto bingung Mbah, Darto ketemu sama temen Si Mbah, dan Darto juga ingat semua kenangan Darto sama Bapak. Bahkan ada kenangan sama temen Si Mbah yang tiba-tiba datang," jawabku dilanjut memulai ritual melinting rokok andalan.
"Apa maksud kamu Dar? teman Si Mbah yang mana?" Wajahnya terheran, namun tetap menyalakan separuh batang lintingan sisa di tangannya.
"Teman Si Mbah yang pakai baju putih semua, pas kita mengubur Dining."
Mendengar jawabanku, Si Mah seketika tersentak. Dia terkejut hingga batuk, karena tersedak asap lintingan yang begitu menyengat di tenggorokannya.
"Uhuk! Uhuk! Kam huk! Li uhuk! Huk! Uhh hah!"
jawabnya terbatuk kemudian berhenti bicara untuk mengambil nafas.
"Ini diminum dulu, Mbah," Aku menyodorkan teh yang tadi ku bawa mendekat ke wajahnya.
"Kamu lihat Dimana Dar? Apa Kakung bilang sesuatu sama kamu?" Sergah Si Mbah setelah batuk hilang secepat reaksi obat di iklan.
"Anu Mbah, maksudnya Kakung?" jawabku kembali duduk setelah meletakan teh miliknya.
"Iya, Dia itu Simbah Kakung (Kakek laki-laki) alias Bapaknya Ibumu. Dulu dia sering kesini tiap tahun buat jenguk Ibumu. Bahkan setelah ibumu meninggal, dia tetap sering kesini buat ketemu cucunya yang punya nama Darto."
"Ha.?!" Wajahku melongo kebingungan.
"Iya Dar, waktu kecil kamu sering digendong sama Beliau, bahkan saking sukanya sama Beliau kamu enggak mau diturunin dari gendongan, kalau kamu belum merem. Si Mbah seneng kalau kamu mulai ingat kenangan kecilmu. Meskipun Simbah berharap ada beberapa bagian yang tetap kamu lup..." perkataan Simbah berhenti ketika terdengar suara ketukan dari balik pintu yang menyapa di tengah perbincangan kami.
"Masuk, enggak di kunci!"
"Assalamu'alaikum! Darto, Tumin!" Ucap tamu itu setelah membuka pintu dan melihat kami tengah duduk bersama.
"Halah, sejak kapan namaku jadi Tumin, Mat.. Mat!" jawab Simbah kepada laki-laki itu. Namanya Ahmad Sawaji, biasa di panggil Pak Kyai atau Gus Amat. Pemilik Pondok Pesantren yang jauh sekali dari desa ini.
Seperti yang Si Mbah Turahmin jabarkan. Gus Mat adalah ayah dari Ibuku, sedangkan Si Mbah dan Kakung sudah berteman dari dulu. Mereka bertemu ketika Si Mbah yang masih kecil dan dikirim ke pondok pesantren milik bapaknya Kakung alias Kakek buyutku. Mereka berdua langsung akrab setelah bertemu, mungkin karena saat itu yang seumuran dengan Si Mbah memang Hanya kakung.
Saking akrabnya, bahkan mereka membuat rencana konyol agar bisa menjadi sebuah keluarga dengan cara menjodohkan anak mereka jika mereka sudah menikah, dan punya anak tentunya. Ajaibnya Ki Turah alias Simbah dapat jodoh dan mempunyai putra semata wayangnya setahun lebih awal. Dibanding Gus Amat alias Kakung yang mendapat istri dan putri di tahun berikutnya. Hasilnya, mereka benar-benar menikahkan anaknya. Dari perjodohan mereka, lahirlah diriku yang tengah bercerita panjang ini.
***
Teh baru di dalam gelas seng kembali aku sajikan. Kini kita duduk bertiga saling berhadapan, di dalam ruang tamu.
"Dar, Kamu ikut Kakung, ya?" tanya kakung kepadaku, seketika membuat muka Si Mbah begitu lesu.
"Kamu beneran mau bawa Darto Mat? Dia satu-satu harta yang Aku punya Mat," keluh Simbah.
"Jadi kamu lebih milih hartamu hilang Min? Daripada dipinjam sebentar untuk dipoles agar jadi lebih bagus?" tanya Kakung kepada Simbah yang sontak membuat wajah Simbah tertunduk.
"Tapi Mat, kita dulu sudah sepakat kalo Darto bakal dikirim ke sana pas sudah usia 20 tahun," nego Si Mbah.
"Ini sudah tidak aman lagi, Min! Kita tidak punya waktu banyak. Kita sudah kehilangan banyak sekali, dan aku enggak mau kalau sampai kehilangan Darto juga!" ketus Kakung menghiraukan keluhan Simbah.
"Ya sudah kita tanya saja sama orangnya langsung Mat, sekalian kita jelaskan semuanya saja dari sekarang," jawab Si Mbah, kemudian menoleh menatap tajam ke arahku.
"Gimana, Dar?" tanya mereka serentak bersamaan.
"Ikut kemana?" tanyaku heran.
"Begini Dar. Sudah turun temurun keluarga kita belajar di pesantren sana. Nanti kamu juga di ajari membaca tulisan abjad juga di sana. Dulu Simbah ke sana waktu umur 8 tahun Dar, tapi karena kamu beda, sampai sekarang Si Mbah masih minta pengertian Kakungmu itu," Simbah menjelaskan
"Lalu apanya yang tidak aman?" kembali aku bertanya tentang situasi yang selalu mereka perdebatkan.
"Temanmu dibunuh lewat hasutan, Dar. Pocong merah selalu muncul setiap ada yang mengingkari perjanjian dengan pemilik rawa lumpur. Yang terakhir kaki, kami bahkan harus kehilangan bapakmu Dar. Dulu kita bertiga mencoba memusnahkan pocong merah yang sama seperti pocong yang kamu lihat," Ucap Kakung dengan nada sendu. Setelah kata itu terucap, pandangan Simbah dan Kakung sontak terbanting ke arah tanah, menjelaskan seberapa besar penyesalan mereka, atas apa yang sudah terjadi di hari lampau.
"Maafkan Si Mbah, Dar. Simbah enggak pernah cerita sama kamu bukan karena Simbah tidak peduli, tapi justru Si Mbah lebih senang jika kamu tidak tau. Simbah juga pengennya kamu itu jadi orang sewajarnya seperti teman-temanmu yang normal. Si Mbah sudah kehilangan anak Si Mbah, dan simbah enggak mau kehilangan kamu, Dar," tangan Simbah terus mengelus ubun-ubun di kepalaku.
"Mbah... apa yang terjadi sama Bapak?"
"Bapakmu meninggal karena pemilik rawa lumpur Dar. Ketika kita berhasil membunuh pocong merah, si pemilik rawa datang. Bapakmu kena cairan hitam yang terus keluar dari mulutnya saat kita telentang lemas karena pertarungan sengit sebelumnya. Sehari setelahnya timbul bercak kehitaman sekujur tubuh bapakmu, dilanjut gudik, kudis, kurap, dan segala jenis penyakit kulit datang, sampai tubuh bapakmu penuh nanah hingga meninggal setelah seminggu mengidap wabah itu. Orang-orang mengira dia terkena cacar Dar,"
ucapan Si Mbah kali ini tidak membuatku sedih, mungkin karena aku belum jelas mengingat masa itu, dan juga waktu itu aku masih kecil. Perasaanku hanya merasakan kehilangan yang wajar.
"Dar, Kamu itu spesial, Dar. Kamu punya kelebihan yang tidak kita miliki. Ibumu sampai rela mengorbankan Jiwanya hanya untuk keselamatan kamu Dar. Jadi kamu mau tidak mau harus ikut Kakung, karena kamu punya takdirmu sendiri dar. Daripada menyesali yang sudah pergi, lebih baik menimba ilmu sebanyak mungkin, agar bisa melindungi yang masih ada" ucap Kakung sedikit memaksa.
"Yasudah Kung saya mau, asal Simbah ikut!" jawabku singkat
"Tidak bisa Dar, Tumin punya tugas sendiri. Dia harus di desa ini, Kakung sudah buat pagar mengelilingi desa. Pocong merah sementara tidak bisa mencari tumbal lagi, dan tiga teman Kakung juga tengah menahan BUTO IRENG pemilik rawa itu, biar dia tidak datang membantu pocong itu di sini. Si Mbah kamu harus terus merawat benteng itu hingga kamu kembali. Hanya kamu Dar, Satu-Satunya harapan yang kita punya untuk membasmi iblis-iblis biadab itu!"
"Njih Kung! Kalau memang itu takdir Darto, Darto siap" ucapku lantang, dengan tatapan penuh keyakinan.
Bersambung,-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Meili Rahma
enaknya sambil nyemil nih ah aku pengen beli sebentar
2023-12-29
1
Kardi Kardi
never give up darrrrrr
2022-12-29
1
akp
wah Darto nanti bakal jadi kyai apa dukun ya😂
2022-10-15
1