"Mbah.. Darto berangkat dulu, Si Mbah jaga kesehatan ya, Mbah. Jangan terlalu maksa juga kalau di sawah," ucapku di lajut mencium punggung tangan Mbah Turahmin.
"Iya Dar... kamu juga harus semangat belajarnya. Kalau sudah pulang dari sana ada juga yang pengen Simbah ajarkan di sini,"
"Njih mbah... Doakan semua urusan Darto lancar," jawabku seraya melangkah pergi beriringan dengan Kakung yang sudah menunggu sedari tadi.
"Tok! Jagain Si Mbah, ya!" ucapku dari kejauhan seraya melambaikan tangan.
"Siap Dar! oleh-oleh jangan lupa!" teriak Anto dari samping Si Mbah berdiri.
...***...
Hari ini Aku dan Kakung beranjak pergi meninggalkan Desa bahkan sedari subuh. Ketika matahari masih malu-malu menampakkan diri, kita berdua sudah bergegas meninggalkan rumah.
Hanya beberapa pakaian yang aku bawa, karena Kakung berkata kalau di sana nanti bisa cari lagi yang baru. Kata Kakung di sana sudah banyak toko berdiri, sudah bisa disebut kota maju. Bahkan menurut Kakung, kota terdekat dengan desa kami masih dibilang kota tertinggal, jika dibandingkan tempat Kakung.
"Dar... Kita bisa lewat jalan setapak yang biasa di lewatin orang lain, tapi butuh waktu 2 minggu untuk sampai ke rumah Kakung, kamu mau jalan 2 minggu, Dar?"
"Ha? Dua minggu, Kung?" aku benar-benar terkejut mendengar waktu yang di butuhkan untuk ke sana.
"Iya, Dar, Soalnya jalanya memutar. Tapi kalau kamu mau sedikit repot lewat jalan yang jauh dari keramaian dan juga curam, kita bisa ambil jalan pintas lewat hutan Dar. Kalau lewat hutan kita cuma butuh waktu 7 hari. Kamu bawa makanan, kan?" pertanyaan Kakung hanya ku jawab dengan anggukan.
"Cukup untuk berapa hari kira-kira? Kalau Kakung bawa cukup untuk empat hari jika di makan makan tiga kali sehari, jika di buat dua kali sehari, itu cukup untuk 6 hari," tanya kakung yang tengah mengira-ngira nasi jagung di dalam dua tumpuk rantang yang dia bawa.
"Darto juga bawa dua tumpuk rantang Kung,"
jawabku singkat.
"Nah begini saja Dar, kita jalan Sambil puasa. lumayan kan dapat pahala, dan mulai besok pagi, sampai tuju tahun ke depan kamu wajib puasa setiap hari Dar. selain hari yang di haramkan ya Dar, Kamu sanggup?"
"Apa kakung dan Simbah juga berpuasa dulu?"
tanyaku penasaran.
"Kakung puasa Dar, tapi cuma senin Kamis, dari dulu sampai sekarang masih jalan, Simbah Tumin juga dar dia senin kamis seperti Kakung"
"Kenapa Darto beda Kung,?"
tanyaku membuat Kakung sedikit berfikir.
"Karena kamu juga beda Dar, sudah kita bahas nanti sambil jalan, sekarang mari kita berangkat Dar, kita jadi lewat hutan kan?"
"Darto nurut sama Kakung,"
Setelah diskusi, Aku dan Kakung sepakat mengambil jalan pintas. Saat pertama keluar dari desa aku dihadapkan persimpangan kecil, dan kita memilih untuk berbelok ke kiri.
Semakin jauh dari persimpangan, mulai tidak terlihat lagi orang yang lalu lalang menuju kota. Rumah-rumah pun tidak tampak lagi. Yang ada hanya semak di bawah pohon sepanjang mata memandang.
Kita terus berjalan dengan langkah cepat. Sesekali kita harus melompat dari batu ke batu untuk menyeberangi sungai. menanjak, menukik, bahkan tanah berlumpur sudah kita gilas hari ini.
"Kung.. Apa Kakung enggak Capek?"
Aku membuka obrolan ketika usai shalat jamaah isya kita tunaikan.
"Kamu capek, Dar? Masak masih muda sudah gampang loyo"
"Bukan begitu kung, maksud Darto kalau Kakung lelah, biar Darto pijit kaki Kakung" jawabku sungut-sungut.
"Waduh, Iya nih, Dar. Kakung tiba-tiba capek."
"Enggak jadi deh Kung, Darto udah terlanjur loyo"
"Emang cucu sama Si Mbahnya enggak jauh beda, sama juga kaya bapakmu Dar. Meski berbakat bikin orang dongkol, tapi hati kalian baik sekali," ucap Kakung dengan pandangan menerawang ke atas.
"Memang Bapak bagaimana Kung?" tanyaku sembari memijit pelan kaki Kakung di samping api yang sudah kita nyalakan sehabis magrib tadi.
"Bapakmu usilnya minta ampun Dar, dulu waktu umurnya delapan tahun, dia sama teman-temanya main petak umpet, sama ibumu juga. Cuma bapakmu Dar yang bisa bikin geger satu pesantren" jawabnya masih dengan pandangan menerawang jauh ke atas langit.
"Bikin geger gimana Kung?"
"Masak main petak umpet ngumpetnya sampai tiga hari nggak ketemu. Nah, pas dia pulang, dia enggak sadar kalau dia bawa sesuatu yang berbahaya, dia memakai kalung dari alam sebelah. Dia bilangnya nyasar pas ngumpet, terus ketemu kakek-kakek yang tiba-tiba ngajak dia keliling. Katanya sebelum Bapakmu diantar pulang, kakek itu ngasih kalung gantungan batu hijau yang bikin satu pesantren tiba-tiba kesurupan bareng," ucap Kakung sembari tersenyum mengingat masa lalu.
"Apa kalungnya seperti ini Kung?" tanyaku seraya melepas tangan dari pijatan dan meraih kalung yang ku kenakan dari balik baju.
Mata kakung seketika terbelalak ketika melihat kalung yang aku kenakan itu. "Kamu dapat dari mana Dar?"
"Ini pemberian Dining Kung, hadiah ulang tahun Darto dulu. Dia titip ke teman Darto yang kemarin baru meninggal, dan semalam darto baru nerima kalung ini dari Satya. Dia ngasih di dalam mimpi, tapi anehnya pas Darto bangun kalungnya beneran ada di tanganku, Kung,"
"Kamu sudah bisa ke alam mereka Dar?" tanya Simbah Kakung keheranan.
"Maksud Kakung?" aku kebingungan.
"Sebelumnya, waktu temanmu meninggal, pas Kakung jemput kamu di alam itu. Apa kamu pernah mampir ke tempat gelap? yang saking gelapnya kamu sampai nggak bisa liat apa-apa, bahkan lihat tangan sendiri pun enggak bisa. Juga saking sepinya kamu sampai nggak bisa dengar apa-apa bahkan sekeras apapun kamu teriak tetap enggak bisa dengar suara sendiri." tanya simbah tergesa-gesa memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya.
"Sampun Kung, Sudah berapa kali Darto tiba-tiba sampai sana,"
"Howalah, berarti Kakung sudah enggak perlu capek-capek lagi ngajarin kamu,"
"Ngajarin apa Kung?"
"Nanti kamu juga tau sendiri, Besok pagi kamu harus laporan, apa yang penunggu kalung itu ucap ke kamu ya Dar. malam ini pasti dia nemuin kamu!" perintah simbah dengan wajah serius.
"Apa mungkin Kung? kalau ini kalung yang sama, seperti kalung yang Bapak bawa dulu?" tanyaku heran
"Iya dar.. dulu sudah Kakung suruh buang kalung itu karena bikin repot. Tapi karena itu batu bagus dan juga jarang orang punya, banyak yang minta, Dar. Bukannya di buang, Bapakmu malah ngasih ke teman sekampungnya yang mamanya Dadang,"
"Pak Dadang? bukanya itu orang tua Dining ya Kung?''
"Iya Dar, kasihan ya si Dadang, sama Anaknya, semoga mereka tenang di sana, kamu juga Dar. Si Mbah Kakung enggak tau itu takdir atau bagaimana, tapi kalung itu kembali ke pemilik semula. Bagaimanapun kamu itu darah daging Bapakmu, mungkin dia suka sama Bapakmu dulu,"
Mendengar jawaban Si Mbah sungguh membuatku penasaran. Apakah benar kalung pemberian Dining itu kalung dari Bapakku? Jika benar, apakah kalung ini benar-benar ada penghuninya?
Bersambung,-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
muh fahri
kita aja jalan 200m udah capek nah dia jaln 7 hari auto bengkak tu kaki
2023-08-01
1
yatimah
kok kyak yg dikasih dining
2023-05-24
0
By
balik lagi
2023-02-27
2