Setelah sampai di bawah pohon beringin,
kita bertiga bergegas menuju kali di dekat pohon tersebut.
'Ahh, ini benar-benar tempat yang pernah kulihat, dimana tengkuk Dining dihantam dengan sebongkah kayu oleh lelaki yang tidak aku kenal--sudahlah lebih baik aku bergegas'
ucapku dalam hati.
Kita semua langsung mandi, mengganti baju lalu dilanjut menunaikan shalat dzuhur berjamaah. Seusai shalat jamaah, kita sempatkan waktu untuk kembali mengisi tenaga dengan melahap nasi jagung yang kini tinggal setengah dari jumlah awal yang kita bawa.
"Sebentar ya, Tok, Sat--aku mau urus titipan Si Mbah dulu," ucapku disusul berdiri memungut kantong berwarna hitam dari dalam tas karung goni milikku.
"Itu apa, Dar?" tanya Anto dibarengi sebuah anggukan kepala Satya.
"Enggak tau, Tok. Si Mbah cuma pesan kalau aku disuruh tanam benda ini di bawah pohon beringin," jawabku sembari menenteng cangkul kecil yang kubawa dari rumah untuk menggali tanah.
Mereka berdua mengikuti langkah kakiku, hanya untuk menonton diriku menanam kantong hitam ini dibawah pohon beringin.
'Kurasa sudah cukup dalam,' gumamku ketika selesai menggali. Setelah merasa cukup, aku langsung menaruh kantong tersebut ke dalam lubang, kemudian aku timbun kembali setelahnya.
Belum sampai separuh lubang aku tutup dengan tanah. Tiba-tiba gemuruh dari langit mulai terdengar di siang hari yang cerah itu. Seketika hutan yang semula hanya redup, kini berubah menjadi gelap. Awan mendung hitam sudah melayang tepat di atas ubun-ubun kita bertiga.
Glediarrr! Cetiarrrr!
Kilatan petir dan guntur bersautan, diiringi hujan lebat dan angin kencang membuatku bergegas menutup lubang galianku itu.
Setelah selesai menimbun buntelan itu, kita bertiga berteduh tepat di bawah ranting pohon beringin tersebut. Beruntung karena ukuran ranting pohon sangat besar, baju kita semua jadi tetap kering dibuatnya.
"Bisa gitu ya, Dar? Lagi panas-panasnya tiba-tiba hujan lebat kaya gini" heran Anto.
"Ho.oh, Dar. Aneh banget, apa gara-gara buntelan itu ya, Dar?" timpal Satya.
"Apa mungkin--Sat? Tok? Gara-gara buntelan tiba-tiba hujan? Kalian berdua kadang-kadang pinter banget memang" tanyaku menahan tawa dan seketika bisa melihat muka masam dari wajah mereka berdua.
Beruntung, tidak butuh waktu lama hujan besar dan suara saut gemuruh sudah mereda, yang tersisa hanyalah air yang bertengger di atas dedaunan, dan terus menetes jatuh ke tumpukan daun mati di atas tanah.
"Ayo, Sat, Tok. Kita lanjut, mumpung masih siang," pintaku mengajak melanjutkan kembali perjalanan.
Kita kembali berjalan beriringan, menyusuri hutan dengan mengikuti arus sungai. Jalan setapak sudah tidak ada lagi, yang ada hanya semak belukar terbentang sepanjang tepi sungai. Hingga mengharuskan kita membuat jalan setapak sendiri menggunakan parang.
"Bener enggak si, Dar. Ini jalannya?" Tanya Anto
"Ya nggak tau juga Tok! Si Mbah kan cuma bilang, kita harus ngikutin kali," jawabku singkat .
"Iya si--Dar, tapi kalau dipikir pasti nggak ada orang yang pernah lewat sini. Soalnya sama sekali enggak ada jalan," timpal Satya.
"Yah ... mungkin Simbah cuma ngasih petunjuk jalan yang paling gampang untuk diingat. Soalnya ini hutan, dan kita tidak tau kemana arah rawa. Nanti juga kita pulang jadi gampang. Bisa lewat jalan yang kita buat, ditambah enggak mungkin nyasar, karena kita cuma harus ngikutin arah kali" sahutku panjang lebar, dan ucapanku berhasil membuat wajah mereka berdua tampak puas.
Tidak seperti yang kita bayangkan. Jarak dari pohon beringin menuju rawa ternyata tidaklah dekat. Mungkin sudah lebih dari tiga jam kita berjalan, tapi rawa itu belum juga terlihat.
Setelah semua setuju, kita putuskan untuk beristirahat dan kembali berjamaah shalat ashar di tepi kali. Di sela waktu istirahat, aku lihat Satya mengacak-acak tas dari sarung goni miliknya, sembari terus menggerutu mengucap kata, "Di mana 'sih?"
"Nyari apa kamu, Sat? Bingung banget kayaknya," tanyaku singkat.
"Anu ... Dar, aku bawa benang sama pancing. Coba liat itu, ikannya besar-besar banget di kali," jawabnya sembari masih mencari barang di dalam karungnya.
Ketika Aku buang pandangan ke arah kali, terlihat banyak sekali ikan yang tengah bergerombol di dalam arus sungai. Ikan itu tampak begitu jelas, karena air sungai tersebut memang sangatlah jernih.
"Nah ... ketemu, Dar. Kita mancing sebentar di sini, ya?!" pinta Satya sembari melangkah pergi, menuju kerumunan pohon pisang yang tidak jauh dari posisinya berdiri.
Tidak butuh waktu lama, dia kembali dengan sekumpulan cacing di tangannya. Dia langsung memasang umpan dan melempar kail tersebut tanpa aba-aba. Setelah itu dia hanya terus memandangi arus sungai sembari menggenggam senar di tangannya.
"Wuih! Dapat besar! Malam ini kita makan enak!" teriak Satya yang tengah menenteng ikan gabus seukuran lengan yang berhasil dia jerat.
"Wah! Itu ikan gabus, Sat! Berarti kita sudah dekat sama rawa!" sergahku setelah melihat ikan tangkapan Satya.
Satya menusuk mulut ikan tersebut dengan batang rumput liar, dari mulut hingga menembus insang. Kemudian mengait kedua ujung rumput tersebut, agar bisa dikenakan sebagai pegangan. Dengan senyum lebar di wajah Satya, kita bergegas melanjutkan perjalanan.
Aku kurang setuju bermalam di tepi sungai, karena airnya bisa sewaktu-waktu meninggi. Namun meski begitu, jika kita memaksa masuk ke hutan, di sana juga tidak bisa dijadikan tempat istirahat, karena tempatnya benar-benar dipenuhi semak belukar. Jadi mau tidak mau kita harus sampai di rawa, dan berharap ada tempat lapang di sana.
Langit kuning sudah membentang di atas kepala, waktu sore sudah kembali menyapa di sela perjalanan kita. Aku sedikit merasa lega, ketika rawa yang sedari siang kita tuju sudah terlihat dari kejauhan.
Rasa syukur benar-benar tertanam tatkala kita bisa tiba sebelum matahari terbenam, ditambah banyak tempat lapang yang bisa kita gunakan sebagai tempat istirahat di dekat rawa.
Tanpa pikir panjang, kita bergegas membersihkan badan dan mengumpulkan sebanyak mungkin ranting kering, seakan semua itu sudah menjadi aktivitas utama kami setiap malam menjelang. Ketika semua persiapan sudah selesai dilakukan, kita kembali beristirahat di area rawa tersebut.
"Gimana? Kita mau lanjut? Apa--mau tunggu besok pagi?" ucapku didepan kobaran api yang sudah menyala.
"Aku nurut, Dar, yang penting kita makan dulu," sahut Satya yang tengah sibuk menusukan sebatang kayu kedalam mulut ikan yang sudah selesai dibersihkan jeroannya.
"Kamu mah makan terus yang diingat, tapi si bener juga, apalagi lauknya enak!" ledek Anto yang membuat suasana sedikit hangat.
Singkat cerita, ikan sebesar lengan tinggal menyisakan tulangnya, shalat magrib dan isya pun sudah selesai kami tunaikan. Bermaksud mencari pohon bambu seperti yang Si Mbah minta, kita beriringan menyisir pinggiran rawa. Benar saja, ada ranting pohon bambu dengan daun yang sudah menguning alias mati tertancap di samping rawa, dan di atasnya ada ikatan pita merah yang sudah lusuh, sama persis seperti penjabaran Si Mbah.
Tanpa aba-aba, langsung aku raih ranting tersebut. Tidak disangka hanya tersentuh saja ranting itu seketika terlepas dari tempat semula tertancap.
"Ini pasti sengaja di tancap pasti ya, Tok, Sat?" Tanyaku dengan tangan masih memegang anakan bambu berpita tersebut.
Pertanyaan dariku tidak mendapat jawaban dari mereka berdua, padahal mereka berada tepat di belakangku. Maka Aku arahkan cahaya kuning dari senter peninggalan bapakku ke arah mereka berdua, memastikan apa yang tengah mereka lakukan hingga tidak menjawab pertanyaan dariku.
Saat sorot lampu sampai ke wajah mereka, tampak Anto dan Satya yang sangat berkeringat. Wajah mereka pucat dengan ekspresi takut sembari menatap arah yang sama. Karena penasaran, tanpa pikir panjang aku langsung mengarahkan senter menuju arah pandangan mereka, disaat yang sama aku juga ikut tersentak, setelah melihat dengan jelas, sesuatu hal aneh yang kini tengah kita bertiga saksikan.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
By
loh belum di bacakan ayat kursi
2023-02-27
1
Kardi Kardi
dininggggg
2022-12-29
0
Adiwaluyo
pintar banget nih penulisnya
2022-11-19
0