"Slurppp.... glup" teh pahit hangat berhasil melewati tenggorokan kering milikku.
"Gimana Dar? Sudah mendingan kan?" tanya Si Mbah dengan wajah sedikit khawatir.
"Apa Bu Lastri tau ya Mbah? Soal Dining yang kita pindahkan kuburannya?"
"Sepertinya enggak Dar, soalnya yang punya rawa aja nggak tau kalau kita yang pindah"
"Lalu kenapa semalam suntuk dia ganggu aku, Mbah?"
"Yah siapa tau Dar, Si Mbah juga enggak bisa ngambil kesimpulan. Tapi, mungkin karena kamu bisa lihat dia, jadinya dia kegirangan lihat muka kamu ketakutan"
Percakapan kami terhenti. Suara jam bandul berbunyi tiga kali, menandakan bahwa saat ini sudah memasuki waktu pukul tiga dini hari.
Terjaga sepanjang malam benar-benar membuat mataku perih kali ini. Masih tidak habis pikir, arung, baju, hingga dipan kayu di kamarku dibuat basah akan keringatku.
'Apa benar yang aku lihat itu nyata?' masih terus menggema kata itu di dalam pikirku. Seakan dipaksa untuk mempercayai sesuatu yang dulu tidak masuk akal dalam logikaku.
Tanpa pikir panjang, aku berniat setidaknya terlelap sampai waktu subuh yang akan datang sebentar lagi. Walaupun hanya satu jam lebih, Setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Mataku terus melihat genting rumah yang berbaris di atas kepalaku, namun pandanganku menerawang jauh membayangkan kejadian janggal yang meneror diriku semalam suntuk.
"BUG.!" kudengar suara benda besar jatuh tepat di samping tubuhku. Dipan kayu milikku bahkan sampai berderit menahan berat benda itu.
'Ah kenapa ini?' gumam dalam hati ketika hanya bola mataku yang bisa bergerak. Tangan, kaki, kepala, mulut, dan semua selain mata seakan terkunci.
Dengan terpaksa, meski nyaliku sudah menciut, Aku gerakan bola mataku menuju arah suara itu. Saat sampai pandanganku ke sana, jantungku terpacu seakan siap meloncat dari tubuhku.
Aku hanya bisa pasrah karena terus terkunci, mataku tak bisa Aku alihkan pandanganya dari sosok itu. Kini, Lastri tengah tidur berdampingan memunggungi tubuhku. Kain kafan miliknya bersentuhan dengan tangan telanjang milikku. Jelas sekali kurasakan basah merayap di permukaan kulitku, dan kini bau anyir mulai menyapa kedua lubang hidungku.
"Hua! Allahuakbar!" batinku menjerit, namun suara tak kunjung keluar dari mulutku tatkala pocong Lastri menoleh memutar wajahnya, hingga kepalanya terbalik menghadap belakang.
Dalam hati, Aku terus melafalkan ayat suci. Meski begitu, dia tak kunjung pergi. Keringat terus mengucur di seluruh badanku, menahan rasa takut yang memenuhi dadaku.
Tiba-tiba, sosok hitu hilang dari pandanganku. Mataku pun berangsur pulih. Kembali bisa melirik meski sekujur badanku masih tetap terkunci.
'Ah sial' umpat dalam hati. Baru saja aku rubah pandanganku lurus ke arah depan, sosok itu benar-benar tersenyum di atas wajahku. Kepala Lastri benar-benar menggantung, bergelayut lentur, seakan bisa jatuh kapan saja.
"Hiii.. hiii. hii," kepala yang menggantung itu tertawa. Disela suara tawa, suara bising lain berangsur datang menyapa telinga. Sekarang aku seperti mendengar belasan Lastri, saling bersaut tawa, dengan suara khas miliknya.
Dalam panik, tiba-tiba aku teringat perkataan simbah yang pernah dia ucap dulu "Kalau kamu ketindih pas tidur, Lipat jempol kakimu."
Seperti kesemutan, ada perasaan aneh menjalar dari ujung kepala. Merambat hingga ke ujung kaki, setelah jempol kaki berhasil aku lipat kebawah. Akhirnya badanku berangsur normal, dan bisa digerakkan kembali.
Rasa lega seketika bersarang, ketika sosok pocong merah yang sedari tadi menggangguku akhirnya pergi. Sejenak aku termenung, dengan tangan yang terus mengusap wajahku yang penuh keringat. Setelah kurasa cukup bertenaga, Aku putuskan mengambil air wudhu di belakang rumah, dilanjut melakukan shalat sunah sebelum dilanjut shalat subuh.
"Ya Rabb, berilah hambamu yang lemah dan bodoh ini ketabahan, dan lindungilah hambamu dari bencana, kemiskinan, dan juga godaan setan.. Amin," doa aku tutup dengan kedua telapak tangan mengusap wajahku.
"Ki! Ki Turah.!" Teriak Pak Urip didepan pintu rumah.
"Masuk Pak! Enggak di kunci!"
"Ki! hah.! hah.! Cepetan Ki.!" Pak Urip terengah-engah, setelah berlari dari rumah miliknya yang lumayan jauh dari sini.
"Ambil nafas dulu Rip, baru ngomong," jawab Si Mbah singkat sembari menatap heran kepada lawan bicaranya.
"Cepetan Ki! Mari ke rumah saya! Anak saya kesurupan hah hah hah!"
Mendengar itu, Aku, Si Mbah, Dan Pak Urip langsung berlari menuju kediaman miliknya.
Sebelum sampai di rumahnya, kulihat dari kejauhan istri Pak Urip sudah menunggu di depan pintu rumah milik mereka.
"Itu ki! Di dalam kamar!" teriak Pak Urip sembari mengacungkan jari menuju sebuah pintu yang hanya tertutup tirai, bergambar bangau berbaris berwarna coklat.
"Cepetan Ki!" Istri pak Urip mendorong punggung Si Mbah, meminta Si Mbah untuk bergegas.
Menanggapi itu, Si Mbah bergegas masuk secara tergesa, suasana hening sempat melanda, sebelum akhirnya Si Mbah mengucap sebuah kata. "Astaghfirullah! Inalillahi wa inalillahi roji'un."
Setelah mengucap kata tersebut, Si Mbah langsung terisak. Dan tidak lama setelah suara tangis Si Mbah terdengar, seketika itu juga suara tangis dari pasangan suami istri itu pecah.
Menurut penjelasan pasangan suami istri yang sedang menangis itu. Anaknya tiba-tiba kejang, matanya terus melotot ke arah langit-langit. Ditambah tangannya terus mencakar leher sendiri hingga berdarah. Sesekali dia berucap tapi suaranya tidak jelas, suaranya bergetar, seperti orang disembelih.
Ketika Ayahnya pergi memanggil Ki Turah, anaknya bangun dari tidurnya. Dia duduk di atas dipan, sembari menatap tajam mata ibunya. Melihat anaknya terus mencakar leher yang sudah lecet parah, si Ibu langsung panik. Badan sang ibu seketika bergetar ketika melihat anaknya memecah botol beling dari kaca yang di gunakan untuk wadah minyak tanah kamarnya. Di tengah kepanikan terdengar suara suaminya bersama suara Si Mbah dari kejauhan. Ibu langsung berlari menuju pintu depan. Namun naaz, ketika ibunya berlari keluar hendak meminta suami dan Si Mbah untuk bergegas, anak itu sudah mencongkel jakun di leher miliknya sendiri, menggunakan pecahan kaca yang dia genggam sedari tadi.
Kini jenazah itu sudah terkulai kaku, dengan leher berlubang di atas dipan kamarnya. Ditemani isak tangis dan pelukan dari Bapak dan Ibu yang dia cinta, dia pergi untuk selama lamanya.
"Satya!" teriak Ibu Sundiyah menggelegar menembus pagi yang sunyi. Membuat seluruh tetangga bergegas menghampiri, untuk memastikan apa yang terjadi.
Bersambung,-
sekedar mau ngasih tau pengalamanku ni. pengalaman dengan adegan menekuk/melipat jempol kaki.
kalian bisa gerakan jempol kaki kalian tanpa menyentuhnya pakai tangan, kan?
kalau pas ketindih, gerakin aja jempol kalian, dorong kebawah sampai mentok. hingga hampir berbetuk siku.
dijamin langsung bangun.
itu cara yang di ajarkan Almarhum Nenek ke Emak. dan jelas aku di ajari Emak 😅
itu beneran cara lepas dari posisi ketindih.
sudah terbukti di othor sendiri, maklum langganan ketindih, dan cara itu selalu berhasil 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Karina
ilmu baru,soalnya klw lagi ketindih seketika bernafas aja susah...
2024-08-19
0
Meili Rahma
rasanya gimana?
2023-12-29
0
sakura girls
iy..aku jga gtu..awal memang berat susah..tp klu smbil membaca doa dalam hati lsung bisa
2023-11-26
0