Setelah membawa kembali gerobak bakso milik Pak Sapto. Masing-masing orang yang membantu diberi upah satu porsi bakso di rumahnya. Mereka tampak begitu tergoda setelah mangkok bakso berhasil sampai di hadapan mereka.
Jangankan bakso, mie instan saja sudah tergolong makanan yang sangat istimewa. karena makanan utama kami setiap hari adalah nasi jagung, kadang jika jagung panen buruk, kita hanya memakan singkong yang tumbuk dan diolah menjadi Leye.
Dalam seminggu, Pak Sapto hanya berjualan bakso di akhir pekan. Kadang hanya hari sabtu, atau minggunya saja, tapi tidak jarang juga dia berjualan selama dua hari berturut-turut. Dia berjualan tergantung bahan yang dia dapat dari kota, karena jarak yang harus ditempuh kurang lebih memakan waktu tiga jam perjalanan, jika menggunakan sepeda kumbang tua miliknya. Jadi dia hanya seminggu sekali saja untuk pergi membeli daging di sana.
Tidak sampai lima menit, tumpukan mangkok seng sudah tersusun rapi, lengkap dengan sendok kotor di atasnya. Setelah kenyang, satu persatu orang di ruangan tersebut pamit undur diri, hingga hanya tersisa aku, Si Mbah dan Pak Sapto si pemilik rumah saja di dalam ruangan ini.
"Kamu beneran lihat yang tadi kan, Dar?" tanya Si Mbah membuka pembicaraan ketika Pak Sapto tengah sibuk mengambil tumpukan mangkok kotor di depan kami.
"Lihat apa, Ki?" Timpal Pak Sapto, dia memanggil Si Mbah dengan sebutan Ki Turah, karena Si Mbah lebih dikenal dengan panggilan tersebut di Dusun ini.
"Bukan apa-apa Sap, kamu cuci dulu saja itu mangkok, sukur-sukur bawakan mangkok bersih sama baksonya lagi kalo ada" jawab Si Mbah sembari tertawa pelan.
"Saya juga mau Ki, dikasih bakso dua mangkok. Apalagi gratis!" gerutu Pak Sapto dengan bibir sengaja dibuat menceng, meledek Si Mbah sembari pergi membawa mangkok kotor ke ruang sebelahnya.
Setelah Pak Sapto masuk, sembari meracik rokok lintingan andalan, Si Mbah menatap serius menagih jawaban atas pertanyaan tadi.
"Apa seperti itu Mbah? Yang disebut mahluk halus?" Tanyaku menjawab semua pertanyaan Si Mbah.
"Iyo, Dar. Mungkin mulai sekarang hidupmu bakal berubah. Si Mbah cuma mau ngasih wejangan, apapun yang kamu lalui, kamu lihat maupun rasakan, semua itu sudah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Jadi jangan pernah menyerah, kamu spesial, Dar. Seperti Si Mbah- Si Mbah Buyut dan Si Mbah yang sedang duduk di depanmu ini!" Ucap Si Mbah dengan mata sendu miliknya, dan hanya Aku jawab dengan anggukan kepala.
Aku sudah tau, jika Si Mbah bukan orang biasa, karena bukan hanya sekali dua kali orang datang ke rumah, hanya untuk sekedar meminta saran dari Si Mbah. Ditambah jika ada kejadian ganjil seperti santet, kesurupan dan lain-lain, Si Mbah adalah orang pertama yang selalu diminta pertolongannya.
"Pokoknya, jangan pernah takut sama hal yang jelas lebih rendah dari derajat kita Dar, takutlah dengan Yang Maha Kuasa, sang pencipta alam semesta beserta isinya. Jangan pernah putus mulutmu berdoa, mintalah pertolongan dari beliau," sambung Si Mbah.
"Njih Mbah, Insya Allah, Darto bakal mengingat wejangan Si Mbah, dan bakal Darto sampaikan juga wejangan Si Mbah kepada anak cucu Darto, kalau umur Darto panjang Mbah!" ucapku yang sontak membuat Si Mbah meraih kepalaku dengan sebelah lengan, dan mengelus kasar rambutku dengan lengan satunya.
"Ini baru Cucu Si Mbah!" ucap Si Mbah masih mengelus kepalaku. Ekspresi bangga benar-benar terpampang jelas dari wajah keriput miliknya.
***
Hari serasa cepat berlalu, tak terasa sudah terdengar suara Simbah mengumandangkan Adzan Isya didalam langgar dekat rumah kami. bergegas aku menuju langgar untuk menunaikan kewajiban yang harus di jalani semua umat muslim.
"Jangan lupa besok Dar!" ucap Anto di depan langgar, sembari jelalatan mencari alas kakinya di dalam tumpukan sandal.
"Iya Tok, besok samperin aja ya?! Biar sekalian berangkat bareng!" pintaku sekaligus menjawab pertanyaan Anto.
"Oke Dar!" jawabnya semangat.
Aku kembali pulang setelah selesai sholat. Ditemani Si Mbah, aku berjalan membelah persawahan menuju rumah kita yang berdiri kokoh di tengah sawah.
Dengan teliti kita berdua memilah jalan yang kita lewati. Menyibak jalanan sawah, dengan bantuan cahaya kuning dari lampu senter berbahan alumunium milik peninggalan mendiang bapak.
"Jangan takut, Dar!" ucap Si Mbah tiba-tiba, dia memperpelan langkahnya agar kita jalan beriringan.
"Astagfirullah!" Teriakku lepas, ketika ku lihat sosok hitam bertubuh tinggi, tengah berdiri di samping jalan, tepat di depan kebon pisang milik simbah.
Mahluk itu penuh bulu, juga lebih tinggi dari pohon pisang. Dia sedang fokus melihat ke arah kami, dengan dua bola mata merah menyala yang dia miliki.
"A ap apa itu Mbah?" Tanyaku dengan mulut yang entah aku juga bingung kenapa bisa tiba-tiba susah mengucap dan juga tiba-tiba gagap.
"Bukan apa-apa, ingat saja wejangan Si Mbah tadi!" Jawab Si Mbah sedikit membuatku tenang, ketika mengingat kata-katanya yang menyebut derajat manusia lebih tinggi, meskipun tangan dan kakiku tidak bisa berhenti bergetar.
Sesampainya di rumah, Si Mbah menyalakan satu-satunya lampu sentir yang kita miliki. Seperti biasa, kegiatan kami berdua hanya meracik dan membuat rokok. Kita sedikit berbincang malam itu, sebelum akhirnya aku membawa masuk sentir untuk menerangi kamarku, dan meninggalkan Si Mbah tidur tanpa penerangan di dalam kamarnya.
"Hu hu hu," samar terdengar suara lirih wanita menangis, suaranya begitu pilu. Layak seorang yang tengah menangisi kepergian keluarganya, dari balik tembok kamarku.
Aku rekatkan telinga kiri ke tembok kayu sebelahku. Suara itu seakan terus mendekat, dari yang semula pelan kini berangsur mengeras, hingga kini suara itu seperti berasal dari depan telingaku.
'La ilaha illallah,' terus ku ulang kalimat tersebut di dalam hati tanpa henti Aku jauhkan kuping kiriku dari tembok kamarku, hingga akhirnya suara tangis sudah tidak begitu keras terdengar. Terdengar menjauh dan terus menjauh hingga suaranya begitu kecil, selirih suara bisikan.
Aku kembali membaringkan tubuhku di atas dipan. Kemudian melilit badanku dengan sarung sembari terus berpikir keras tentang suara tangisan yang baru saja aku dengarkan.
Saat lamunanku sudah hampir berhasil membuatku terlelap, diriku kembali dikejutkan suara tangis dari balik tembok kamarku. Aku spontan menutup kedua telinga dengan tanganku, dan berharap agar suara tangis itu lekas menghilang.
Kali ini cukup lama, dia tidak kunjung pergi. Suasana justru semakin gaduh, ketika yang semula hanya ada suara tangis, kini diiringi suara benturan benda dari balik tembok kayu. Suara itu tak lain adalah dentuman dari kepala yang sengaja dibenturkan berkali-kali. Dan sialnya, itu terdengar cukup keras meski kedua telingaku sudah tertutup rapat oleh kedua tanganku.
Seketika tangan dan kakiku bergetar, sembari terus mencoba meyakini wejangan Si Mbah. Tapi ini tetap hari pertama aku mengalami kejadian aneh dalam hidupku, dan itu benar-benar satu pengalaman yang menakutkan.
Tanpa diduga, tiba-tiba suasana kembali hening, suara tangis berganti dengan nyanyian jangkrik, kodok dan hewan lain yang saling bersautan dari balik tembok. Sedikit rasa lega langsung bersarang di dalam hati, juga badan yang semula bergetar pun mulai berangsur membaik.
Merasa sudah aman, kedua mataku langsung terasa berat karena terus terjaga. Dan ketika pandanganku mulai terasa buram, angin kencang berhasil menerobos masuk melalui celah dinding kayu kamarku, hingga lampu sentir hampir mati dibuatnya.
"Hu hu hu hu!" Suara tangis dari balik tembok itu kembali. Parahnya sekarang suara terdengar dari telinga kananku. Itu menandakan dia sudah berada di dalam kamarku.
Aku tutup kembali telingaku, dan langsung meringkuk menghadap tembok untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu aku mencoba memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Meski tak butuh waktu lama aku langsung membuang pandanganku kembali ke arah tembok.
Dalam posisi meringkuk, aku memaksa mataku untuk selalu terpejam, setelah jelas kulihat diantara cahaya remang kekuningan lampu sentir, tengah berdiri satu mahluk.
Sosok pocong dengan wajah hitam, hancur, bahkan berbau busuk, dengan belatung yang bergelayut dan jatuh dari dalam rongga mata miliknya.
Sosok itu tengah berdiri tepat di samping kepalaku. Dia menangis dengan kepalanya yang terus bergerak. Entah itu mengangguk, menoleh ataupun mendongak. Dia terus bergelayut selayaknya kejang, dengan kain kafan lusuh dan basah yang membalut tubuhnya secara sempurna.
.
.
.
.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Ricka Monika
kalo di Medan namanya beguganjang,kalo di Jawa gendoruwo
2024-10-07
0
Meili Rahma
astaga untung siang
2023-12-29
0
jamal-wife
takut kebawa mimpi🥺
2023-04-01
2