"Payah ini Man, udah hampir Maghrib, tapi bikin satu lubang saja susah banget!" ucap Pono singkat, kemudian meletakkan dua cangkul di atas tanah. Mereka berdua adalah penjaga sekaligus penggali kubur di kuburan candi wulan.
"Aneh ya Pon, sudah 8 tempat kita gali, tapi mentok batu besar terus kalo ukuranya sudah sedalam lutut," ucap Sukman, dengan tangan memegang ujung bawah baju yang sudah basah kuyup, kemudian menyeka wajahnya menggunakan baju tersebut.
"Iya Man! Ditambah jenazahnya juga belum sampai kesini, padahal tadi sudah dimandikan dari jam dua siang," jawab Pono keheranan dengan tangan memeras baju basah yang sudah ia lepas dari badannya.
"Udah lah! Kita coba sekali lagi di ujung sana, kalau masih ketemu batu lagi, kita tunggu bantuan yang antar mayat," ajak Pono sembari mengacungkan jari telunjuk.
Kumandang adzan magrib mulai terdengar lirih dari arah desa sebelah, sepaket hujan deras lengkap dengan angin tiba-tiba datang Seakan menyambut keberhasilan Pono dan Sukman menggali liang yang ke sembilan.
Tampak dari bawah tangga pemakaman, rombongan penduduk tengah menyangga keranda yang berbalut kain hijau, ada juga yang memegang payung hijau bertuliskan barisan huruf hijaiyah di sampingnya.
"Dar! Sat! Pelan-pelan saja!" teriak Anto yang tengah memegang bagian belakang keranda, mereka kini tengah menaiki tangga menuju area pemakaman.
Saat ini Aku, Satya, dan Anto dibantu enam orang lain masih terus terhuyung, langkah kami luntang-lantung, meski sembilan orang yang mengangkat keranda berisi jenazah Lastri. Semua orang heran melihat perjuangan keras kami, bahkan warga sampai bergantian hanya untuk mengangkat keranda. Namun keheranan itu tidak berlaku untukku dan Si Mbah yang tau penyebab pasti mengapa jenazah Lastri begitu berat. Kita berdua melihat sosok hitam legam itu masih terus menempel di atas keranda. Itulah sebabnya aku tidak berani mengangkat bagian belakang, karena pasti akan terus bertatapan dengan mahluk yang terus menggantung tersebut.
Setelah hampir setengah jam terlewat hanya untuk membawa keranda menaiki tangga. Alih-alih takut tertinggal waktu magrib, kami semua berbondong melakukan shalat berjamaah di dalam pendopo di tengah pemakaman yang biasa di kenakan untuk tempat menaruh keranda. lalu melanjutkan kembali sesi pemakaman meskipun hujan tidak kunjung mereda.
"Astagfirullah!" ucap semua orang ketika Si Mbah membuka tutup keranda. Terlihat jenazah Lastri yang sudah dikafani tiga lapis kain kafan, namun tetap berubah warna menjadi merah sepenuhnya karena darah.
Awal mula jenazah Lastri sampai di Desa dengan cara digendong oleh Suroto. Baju yang dikenakan Lastri benar-benar basah kuyup dan terus meneteskan cairan merah. Suroto menjelaskan bahwa Lastri sudah meninggal selama dua hari. Namun tak ada yang percaya, karena kondisi Lastri masih terus mengeluarkan darah yang begitu segar dari luka gigitan yang merobek lehernya. Leher yang mengelupas separuh bagian depannya, Menyisakan separuh bagian belakangnya saja. Bisa di bilang leher Lastri hampir putus sempurna.
Ketika dimandikan. Membutuhkan waktu hampir satu jam untuk membersihkan darah yang terus keluar dari luka di lehernya.
Karena darah tak kunjung berhenti, setelah berdiskusi diputuskan tetap melanjutkan mengkafani jenazah tersebut meski darahnya masih terus mengucur.
Meskipun kendala kembali di temukan ketika usai dishalati, tak pikir lama rombongan mengganti kain kafan yang sudah menjadi merah di badan Lastri dengan kain yang baru. Kegiatan itu berlangsung bahkan sampai tiga kali. Hingga akhirnya kain kafan yang tersisa hanya ada tiga lapis , akhirnya semuanya sepakat untuk dililitkan sekaligus, dengan harapan darah yang keluar dari lehernya tidak meresap terlalu cepat, karena lapisan kain kafan yang membalutnya cukup tebal.
Mereka terpaksa melakukan itu karena kasihan melihat jenazah yang terlalu lama dikebumikan. Mereka sepakat akan tetap membawa jenazah itu, bagaimanapun keadaanya nanti. Kini jenazah Lastri sudah berada tepat di samping liang yang akan dia singgahi.
"Lastri.. Lastri! sebenernya Dosa apa yang kamu punya?" teriak tetangganya memelas merasa kasihan. Setelah melihat liang yang tengah dia sorot menggunakan lampu senter di tangannya.
"Astaghfirullah, bagaimana ini, Ki?" ucap salah satu warga bertanya kepada Si Mbah karena bingung melihat genangan air setinggi setengah lutut sudah terkumpul di dalam liang lahat.
"Pono? Sukman? Kalian siap gali lagi?" tanya Si Mbah singkat.
"Ini sudah liang ke sembilan yang kita gali Ki! Delapan kali kami pindah tempat isinya batu semua" ucap Pono di barengi anggukan kepala Sukman.
Karena dirasa air belum terlalu tinggi, Sukman mengusulkan untuk menguruk genangan air dengan tanah bekas galian di samping liang tersebut. Perlahan Sukman dan Pono mengisi liang tersebut dengan tanah, genangan air yang semula tinggi kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanya tanah becek yang mengendap di dasar liang.
Melihat itu, warga bergegas menurunkan jenazah ke dalam liang. Mereka beradu cepat dengan air yang terus mengucur masuk ke dalam. Ketika selesai bambu ditata di atas jenazah, kembali air mengucur dengan deras dari sudut liang. Melihat itu, semua orang berlomba memasukan tanah dengan kedua telapak tangan mereka. Mereka meraih tanah di bawah kaki mereka, tanpa alat bantuan sama sekali. Saat itu semua orang berusaha agar Jenazah Lastri tidak tenggelam di dalam cairan hitam, bagaimana tidak hitam? Air keruh kecoklatan di dalam liang bercampur sempurna dengan darah yang terus mengucur dari leher Lastri, jadi seketika warnanya berubah menjadi hitam.
Sungguh saat itu tampak sekumpulan warga yang melupakan rasa lelah. Mereka terus menguruk bersama-sama dengan begitu tergesa, hingga terdengar riuh suara sekumpulan orang mengucap kata yang sama.
"Alhamdulillah!" semua orang mengucap kata sama. Ungkapan rasa bersyukur terburai, karena jenazah Lastri akhirnya bisa di kebumikan dengan susah payah.
Satu persatu warga meninggalkan makan Lastri dengan baju basah penuh lumpur yang masih mereka kenakan. Hingga semuanya pergi meninggalkan Aku, Anto, Satya serta Si Mbah di dalam kuburan. Tampak juga di samping makam lastri masih ada dua penggali yang tengah membersihkan cangkul mereka. Mereka sibuk menyingkirkan tanah yang menempel pada cangkul, menggunakan sebuah kayu dan air yang mereka raih bawah kaki mereka.
"Hii!" pono berteriak kencang, sembari sedikit melompat.
Tanpa aba-aba tiba-tiba Pono angkat kaki dan berlari sekencang yang dia bisa. Dia terus berteriak, bahkan masih terdengar suara teriakkan panjang miliknya, mesti dirinya sudah hilang dari pandangan.
Menyusul teriakan Pono, Sukman juga terlihat terkejut dengan sesuatu yang tidak jelas dari pandangan kami. Dia ikut berlari pontang-panting menyusul Pono, dengan berteriak mengucap sebuah kata, "DARAH LASTRI SAMPAI KE ATAS.!!!"
Deru jantung seketika terpacu begitu cepat setelah mendengar kalimat yang Sukman teriakkan. Saking kerasnya, bahkan serasa aku bisa mendengar detak jantung Satya dan Anto di depanku. Tidak cukup itu saja, jantungku kembali berdegup lebih hebat, seperti berdetak di depan gendang telingaku sendiri, ketika keranda kosong yang hendak kita kembalikan ke Gazebo, tiba-tiba berisi sosok pocong berwarna merah, dengan kepala menggantung lemas hampir terjatuh. Dia menoleh ke arahku, tersenyum menyeringai dengan darah yang terus mengucur sembari berkata, "Kembalikan Anakku! Kembalikan leherku! Hi hii hi hi hi,"
Bersambung,-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Meili Rahma
untung ngak baca malam malam
2023-12-29
0
By
haduh report lagi nih
2023-02-27
1
Kardi Kardi
subhanallahhhhh
2022-12-29
0