Langit sudah tampak menguning, matahari pun mulai tenggelam di ufuk barat. Tiga laki-laki muda menyunggi tumbu berisi buncis yang baru dipanen. Mereka berjalan beriringan membelah area persawahan yang tampak membentang sejauh mata memandang.
Tidak ada raut ceria lagi dari mereka. Pikiran mereka sama, ingin segera sampai di rumah dan bertanya panjang lebar pada Si Mbah.
"Itu yang satu tumbu di bagi dua ya, Dar, buat kamu sama Satya. Besok sisa panen dua tumbu di gubuk biar aku dan Bapak yang ambil," ucap Anto kemudian bergegas pulang bersama Satya meninggalkan diriku di depan rumah.
"Oke Tok, makasih banyak ya. Nanti biar Aku pisah dulu bagian Satya," jawabku sembari menurunkan tumbu di depan teras rumah.
"Eh, Sat! Jangan lupa bawa tempat! Buat bawa pulang buncis kamu nanti!" teriakku pada Satya yang sudah lumayan jauh, dia hanya menjawab dengan meninggikan acungan jempol di atas kepala miliknya.
Setelah selesai mandi dan menunaikan sholat ashar, aku bagi upah tenaga kami yang berupa buncis tersebut menjadi dua bagian. Ketika aku tengah sibuk memisah upah tersebut, samar terlihat dari kejauhan Anto dan Satya tengah berjalan beriringan menuju kesini.
Sesampainya mereka di depan teras, aku isi wadah milik Satya dengan buncis yang sudah Aku siapkan. Sudah wajar bagi penduduk sini untuk membagikan hasil panen untuk orang yang membantu. Alih-alih upah.
"Mana Si Mbah, Dar?" tanya Anto
"Sebentar biar aku panggil," jawabku singkat dan bergegas melangkah ke arah kamar Si Mbah.
"Mbah ... permisi, Mbah. Si Mbah bisa ke depan sebentar, Mbah?" tanyaku sembari mengetuk pelan pintu kamarnya.
"Nanti saja, Dar. Si Mbah lagi siap-siap mau ke langgar, kalian juga harus ke langgar!" sahut Si Mbah dari dalam kamar.
Tak ingat waktu, ternyata hari memang sudah berangsur gelap di luar, dan akhirnya kita pun harus kembali menunda pertanyaan, karena kita harus bergegas menuju langgar. Seusai shalat magrib, dari pada bolak balik ke rumah, biasa kami melanjutkan membaca ayat suci di dalam langgar, dan baru beranjak pulang setelah selesai menunaikan shalat Isya.
"Sudah enggak takut kan, Dar?" tanya Si Mbah singkat, yang hanya aku jawab dengan sebuah anggukan pelan.
Masih aku lihat sosok hitam tinggi yang kemarin berdiri di depan gerombolan pohon pisang. Tapi ... mungkin karena ramai. Kali ini hanya jantungku saja yang berdegup kencang, tidak sampai membuat tubuhku gemetar seperti malam terakhir.
"Mbah, apa yang terjadi sama Dining?" tanya Satya memulai pembicaraan setelah sampai di dalam rumah.
"Kalian harus sabar yo, Le. Dining sudah ... ," ucapan Si Mbah terhenti, dia menoleh ke arah sudut ruangan.
Aku mengikuti arah pandang Si Mbah, di sana tampak Dining tang tengah berdiri di pojok ruangan, dengan kain kafan yang membungkus sempurna seluruh tubuhnya.
"Jangan takut, Dar. Kalian kan teman Dining. Jadi dia pasti tidak akan mencelakai kalian," ucapan Si Mbah, disambut kebingungan dari Satya dan juga Anto.
"Mana Dining, Mbah?"
"Dining kena, Mbah?" sergah Satya dan Anto bersamaan, sembari menoleh ke arah sudut ruang, mencari apa yang tengah aku dan Si Mbah perhatikan.
"Dining sudah enggak ada lagi ... Tok, Sat," sahut Si Mbah menunduk.
"Maksud, Si Mbah?" tanya Anto terkejut
"Iya, Dining sudah meninggal!" Jawab Si Mbah singkat. Ucapannya berhasil membuat mata Anto dan Satya seketika terbelalak.
"Si Mbah butuh bantuan kalian, tapi mungkin tidak gampang. Apa kalian sanggup?" Tanya Si Mbah dan langsung mendapat jawaban anggukan kepala kami bertiga.
"Sekarang kalian pulang saja dulu. Siapkan diri kalian, karena besok kalian akan menginap di antah berantah," ucap Si Mbah.
Mendengar itu, Anto dan Satya bergantian mencium punggung tangan kanan Si Mbah. Mereka bergegas pergi dari rumah, menuju rumah milik mereka masing-masing.
"Dar ... kamu juga tidur, Si Mbah tau kamu lelah, kamu butuh kesiapan batin dan lahir, Dar. Kamu satu-satunya yang bisa menuntun Anto dan Satya ke tempat Dining," titah Si Mbah sembari melangkah menjauh menuju kamarnya.
"Njih Mbah, Darto masukan buncis dulu," jawabku sembari melangkah menuju teras. Aku bermaksud untuk memasukan buncis kedalam rumah terlebih dahulu sebelum beranjak tidur.
Ketika tengah memegang tumbu yang berisi buncis, bulu kuduk perlahan berdiri. Perasaan aneh merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kepalaku terasa membesar, serasa seperti setiap rambut yang ada di kepala tengah berdiri.
"Dining? Tolong, Ning ... kamu jangan datang dengan penampilan seperti itu," ucapku pelan seraya menundukkan kepala.
Seperti semalam, bahkan pocong Dining memiliki belatung lebih banyak di wajahnya, cacing berjatuhan dari mulutnya, dan bau busuk lebih menyengat dari malam terakhir.
Setelah mendengar permintaanku, Dining pergi menghilang begitu saja. Lantas sigap aku masukan buncis, dan kemudian meraih sentir dan berlari membawanya masuk ke dalam kamar.
...***...
'Kenapa gelap sekali,'
'Dimana aku?' tanyaku dalam hati
Gelap menyelimuti sekujur tubuhku, tidak ada cahaya sama sekali. Bahkan aku tidak bisa melihat tanganku sendiri. Sebenarnya, tempat apa ini?
Dalam kebingungan Aku mengedarkan pandanganku, mencoba untuk mencari cahaya. Namun sama saja, mataku tak bisa menangkap apapun selain kegelapan yang begitu pekat. Sebenarnya dimana aku ini?
Perlahan tiba-tiba muncul setitik cahaya, ukurannya kecil sekali, seperti kunang-kunang yang terbang di kejauhan. Bergegas aku hampiri dengan berlari, namun hingga hampir habis nafas yang kumiliki, cahaya itu masih tetap jauh dan tidak berubah ukurannya.
"Ya Rabb ... di mana sebenarnya aku ini?" Ucapku yang tengah bersimpuh kelelahan.
Dalam lesu, aku lihat cahaya itu mendekat sendiri ke arahku. Titik itu berangsur membesar, hingga yang semula kecil kini seperti mulut Goa berdiri di depanku.
Karena tidak ada tempat yang dituju, Aku putuskan masuk menuju cahaya tersebut.
Terkejut diriku melihat Dining dan Ibunya tengah berbincang di dalam ruangan, setelah memasuki cahaya itu.
"Nduk, besok ikut Mak ke kota, ya?" ucap Ibu Dining dengan wajah bimbang.
"Beneran, Mak?!" jawab Dining dengan mata berbinar dan senyum merekah dari bibirnya.
Melihat itu. Seketika membuatku teringat cerita dari Dining. Dia berkata jika dirinya belum pernah sekali pun melihat kota.
"Sudah ... sekarang tidur dulu, besok perjalanan kita panjang, Nduk," ucap Ibunya lembut, di lanjut menutup pintu kamar Dining.
Mendengar itu, Dining langsung membaringkan badan di atas dipan, dengan senyum yang terus mengambang. Ketika diriku tengah memandang sahabatku itu. Tiba-tiba kembali muncul cahaya putih dari samping dipan milik Dining, kemudian tanpa pikir panjang, aku langsung masuk kedalamnya cahaya tersebut.
Kali ini aku berpindah ke tengah hutan ketika keluar dari cahaya itu. Pohon besar penuh lumut berbaris membentang sejauh mata memandang. Dedaunan sangat rimbun bergerombol di atas dahan, membuat cahaya matahari sukar untuk mencapai tanah.
'Bukankah itu Dining dan Ibunya?' gumamku dalam hati setelah melihat mereka tengah istirahat, di bawah pohon beringin besar di samping kali yang memiliki air yang sangat jernih.
"Pulang, Dar! Ikuti suara Si Mbah!" Suara Si Mbah terdengar menggema dari segala penjuru.
Tanpa pikir panjang aku ikuti arahan Si Mbah. Aku terus berjalan sampai kaki cukup lelah, hingga akhirnya aku melihat sebuah goa gelap di tepi tebing.
"Masuk, Dar!" kembali terdengar suara Si Mbah dari dalam goa. Aku langsung melangkah masuk setelah mendengar perintahnya.
"Mbah ... apa itu mimpi?" tanyaku kebingungan setelah tersadar sudah berada di dalam kamar.
"Belum saatnya kamu masuk ke sana, Dar!" pesan Si Mbah kemudian beranjak pergi dari kamarku.
'Sepertinya aku mimpi, tapi kenapa badanku sangat lelah?' gumamku kembali.
Aku bergegas bangun hanya untuk menunaikan shalat subuh, setelah itu melanjutkan tidurku kembali. Samar kurasa tangan seseorang menyentuh bahu dan menggoyang badanku. Ketika aku buka mata kembali, kulihat Si Mbah yang tengah membangunkan diriku, dan samar kudengar suara Anto dan Satya di ruang sebelah kamarku. Sebelum Si Mbah pergi, dia sempat berkata, "Bangun, Dar. Siapkan kebutuhan kamu, kalian butuh waktu dua hari, untuk berjalan menuju Rawa Lumpur ...."
Bersambung .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmmm. rawa lumpurrrrr. hmmm
2022-12-29
1
Irma Tjondroharto
wah seru ya.. apa yg tjd dg dining ya.. kenapa hrs mereka ber3 yg kesana ya.. kenapa ndak dar aja sendirian..
2022-11-20
0
Irma Tjondroharto
wah seru ya.. apa yg tjd dg dining ya.. kenapa hrs mereka ber3 yg kesana ya.. kenapa ndak dar aja sendirian..
2022-11-20
1