Hari sudah pagi, malam terpanjang di dalam hidupku sudah berhasil dilewati. Setelah usai mengemas barang dan juga mengisi perut, kami bergegas pergi melanjutkan perjalan kembali.
Empat jam lebih sudah berlalu, terik matahari yang membakar kulit sudah mulai tidak tampak lagi. Aku dan kedua temanku sudah memasuki hutan yang begitu lebat kali ini. Sama persis dengan hutan yang pernah kulihat di dalam mimpi.
Dedaunan lebat yang mampu menutup terik, membentang rimbun di atas jajaran pohon berlumut, dengan batang yang sangat besar berbaris sepanjang mata memandang.
Hutan yang aneh, di hutan seluas ini dan juga dengan ratusan pohon rimbun yang berdiri, sama sekali tidak terdengar suara hewan di sepanjang jalan. Benar-benar layak ketika Si Mbah menyebutnya dengan julukan hutan Mati.
'Tanam buntelan ini dibawah pohon beringin hutan mati, setelah itu bacakan ayat kursi tiga kali, jangan coba kamu buka Dar, kalau kamu pengen selamat,' teringat ucap Si Mbah ketika pertama memberi sebuah kantong berbahan kain hitam seukuran kepalan tangan orang dewasa.
Sebenarnya apa isinya? Aku benar-benar berhasil di buat penasaran olehnya. Mungkin aku yang dulu akan nekat, membuka bingkisan ini, karena dia belum pernah mengalami kejadian aneh dalam hidup. Tapi aku yang sekarang tak akan sudi melakukan hal tersebut, setelah melihat semua yang pernah aku saksikan.
"Dar ... masih ada air?" tanya Satya singkat, ucapannya berhasil memecah lamunanku.
"Ada ini, habisin aja, Sat. Nanti ada sungai di depan sana," jawabku sembari menyodorkan wadah air minum yang terbuat dari batang bambu ke tangan Satya.
"Loh kok kamu tau kalau ada sungai didepan, Dar?" Timpal Anto kebingungan.
"Aku pernah kesini, Tok, kita sudah dekat sama pohon beringin. Ayok kita buru-buru ke sana, nanti kita mandi dan jamaah dzuhur sekalian di sana," pintaku sembari mempercepat langkah kakiku.
"Alhamdulillaah .... " ucapku karena melihat pohon beringin besar yang jadi tujuan awal perjalanan sudah berdiri kokoh di depan sana.
"Ayo--Dar, kita lari. Udah pengen minum lagi, air dari kamu tadi nggak cukup" ucap Satya dilanjut berlari, diikuti Anto di belakangnya
Ketika aku hendak menyusul mereka, tampak Dining yang mendekat dari kejauhan, dengan satu lompatan, sosok pocong dengan wajah hancurnya itu sudah berdiri tepat di depan kedua mataku. Dia terus memajukan kepalanya, hingga kening kita berdua bertemu.
****
'Ahhh, aku tau tempat ini!' Gumamku dalam hati ketika kembali ditempatkan di dalam tempat gelap yang bahkan tidak bisa melihat tanganku sendiri.
'Hah ... apa ini?' kali ini tanganku terasa memegang sesuatu, meski aku tidak bisa melihatnya, aku bisa menerka jika benda itu adalah tangan seseorang.
Tiba-tiba tangan dingin yang Aku genggam menarik kuat diriku, membuatku merasa terbang, hingga sampai di depan cahaya seukuran mulut goa yang pernah aku masuki. Tidak lama setelahnya, tangan itu kembali menyeret tubuhku masuk kedalam cahaya itu.
"Ah! ternyata kamu, Ning?! Apa yang ingin kamu tunjukan?" Tanyaku kepada Dining yang sedari tadi menyeret lenganku.
Dining mengarahkan jari telunjuknya ke arah ibunya. Aku lihat ibunya tengah membawa selembar kertas. Dia membaca tulisan di atasnya dengan mata yang berbinar-binar, senyum di bibirnya pun merekah selayaknya membaca surat dari seseorang yang dirinya tunggu untuk waktu yang cukup lama. Setelah ibu Dining selesai membaca, dia letakan selembar kertas tersebut di depan dadanya dengan kedua telapak tangan bertumpu silang. Kemudian dengan senyum yang terlihat jelas, dia mendongak, pandangannya menerawang ke atas sembari berucap, "Aku akan ke sana, Mas!"
Kembali tangan Dining menarik lenganku, kita masuk kedalam cahaya yang terletak di samping ibunya. Dalam sekejap aku berpindah dan melihat Dining serta Ibunya yang sedang beristirahat di bawah pohon.
Tapi ... siapa orang itu? Hatiku kembali bertanya tatkala seorang laki-laki separuh baya di seberang sungai melambaikan tangan ke arah Dining dan Ibunya.
'Lho?! Mereka berpelukan?' gumamku ketika melihat Ibu tiri Dining berpelukan dengan laki-laki tersebut. Dia melakukan hal itu tepat di depan kedua mata Dining. Melihat itu, wajah Dining juga langsung berubah, ekspresi di wajahnya sama terkejutnya dengan ekspresi milikku.
Kalau dipikir lagi. Didalam mimpiku aku melihat ibu Dining mengajak dia ke kota, lantas mengapa mereka berdua jauh-jauh kesini?
Sedangkan arah menuju kota berlawanan dengan arah tempat ini?
Masih di tengah kebingungan, kulihat laki-laki separuh baya itu melangkah ke arah Dining yang masih duduk di samping kali. Dia memegang dagu Dining, sembari terus memperhatikan wajah Dining secara seksama.
"Apa tidak sayang, Dek? masih perawan ... cantik lagi," tanya lelaki itu kepada Ibu Dining.
"Oh gitu to, Mas! Jadi kamu mau berpaling sama anakku sekarang?!" ketus Ibu tiri dining membuat laki-laki itu tertawa. Lelaki itu kembali berjalan ke arah ibu Dining yang tengah memasang wajah geram.
"Mana mungkin sayang ... aku jauh-jauh kesini juga demi kita" jawabnya merayu, dengan tangan memegang dagu Ibu Dining. Hanya dengan kata itu, dia berhasil membuat pipi ibu Dining memerah karena malu.
Aku lihat Dining masih terus duduk diam. Bahkan tampak genangan air di kedua matanya. Bagaimana tidak? Ayah kandungnya baru meninggal, dan ibu tirinya sudah bermesraan dengan lelaki lain di depan matanya. Dining sudah 14 tahun, dan sudah terhitung dewasa untuk menikah. Wajar jika dia juga sudah tau, tentang sebuah rasa yang biasa disebut kecewa.
Dining bangun dari duduknya, dia menangis dan hendak berlari, tapi ulahnya berhasil ditahan oleh ibunya dengan cara memegang lengannya.
"Mau kemana kamu?!" Sergah Ibu tiri Dining dan hanya mendapat jawaban sebuah isak tangis dari Dining.
"Tunggu sini! Jangan kemana-mana!" Ketusnya sungut-sungut.
Setelah itu, lelaki paruh baya membisikan sesuatu di telinga ibu Dining, lalu pergi menjauh. Aku ikuti langkahnya, dan tidak jauh dari pohon beringin tampak lelaki itu meraih sebuah kain putih yang sudah dilipat rapi. Dia juga meraih sebongkah kayu seukuran lengan, yang sudah dia siapkan di balik semak.
Dengan langkah mengendap-endap, lelaki itu berjalan tanpa suara. Memutari pohon beringin untuk membelakangi Dining. Tidak lama setelah itu, terdengar suara benturan yang begitu kuat, ketika bongkahan kayu yang diayunkan lelaki itu mendarat tepat di tengkuk leher Dining. Seketika Dining langsung tergeletak lemas, dia terkulai tak berdaya di depan Ibu tirinya dan juga lelaki itu.
"Kenapa keras sekali! Bisa-bisa dia mati!" ketus Ibu tiri panik
"Ini masih ada nafasnya, Dek. Jangan khawatir!"
jawab lelaki itu sembari meletakan dua jari di depan lubang hidung Dining, dia memastikan kelangsungan hidup Dining.
Aku hanya bisa tertegun menyaksikan kejadian itu. Hingga tiba-tiba seperti ada tali yang menarik kencang tubuhku. Aku terseret terombang-ambing menuju goa yang pernah aku masuki atas arahan suara Simbah dulu.
"Dar! Dar!" Teriak dua lelaki.
Mendengar suara itu, mataku berangsur terbuka. Meski buram aku bisa melihat Anto dan Satya di depanku. Saat ini mereka tegah berteriak menggoyang bahuku dibarengi menampar pelan pipiku.
Setelah sadar, aku langsung mendengar mereka bercerita. Katanya setelah Satya dan Anto berlari, mereka sempat menungguku di tepi kali, namun Aku tidak kunjung datang. Setelah cukup lama mereka menunggu, akhirnya mereka memutuskan kembali, dan mereka mendapati aku tengah terbujur tergeletak di atas tanah.
Benarkah aku pingsan?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Kardi Kardi
dining. diningggg
2022-12-29
0
Irma Tjondroharto
waduh.. kasian ya dining.. dapat ibu tiri yg kejam.. jangan2 ayah kandung dining dibunuh oleh ibu tiri nya
2022-11-20
0
Adiwaluyo
sangat kejam
2022-11-19
0