Suara tangis pocong masih terdengar keras dari arah belakang punggungku.
"Darto?!" Suara seorang wanita memanggil di tengah tangis.
"Apa mau kamu?!" jawabku sedikit berteriak tanpa menoleh.
"Tolong ... Darto!" Pinta pocong wanita itu dalam suara tangis pilu menyayat hati kembali.
Suara detak jantungku terdengar begitu jelas kali ini, seakan itu berdegup tepat di samping gendang telingaku. Bulu kuduk di sekujur tubuhku seketika berdiri, ketika aku lepas perlahan tanganku dari kedua telingaku.
Aku menoleh sedikit demi sedikit ke arah belakang, hingga akhirnya terlihat jelas sosok dengan wajah hancur tengah berdiri di sana, bau anyir dan busuk seketika hadir saat itu juga, bau yang berasal dari sosok yang tengah mengangguk-anggukan kepalanya, tepat didepan mataku itu.
"Siapa kamu?!" tanyaku dengan mulut gemetar--tidak ... kurasa bukan hanya mulut, tapi bahkan dipan yang aku gunakan sebagai tempat tidur juga ikut bergetar, mengiringi gemetar dari sekujur tubuhku.
Seketika tangis sosok itu berhenti, menyisakan suara hening diantara diriku yang sudah duduk menghadap ke arahnya, dan dirinya yang masih tegap berdiri sembari bergelayut di depanku.
Setelah itu, pocong itu melompat, dan seketika mataku langsung terbelalak setelah melihat hal itu. Hanya dengan sedikit lompatan, dirinya langsung hilang dan seketika berpindah ke sudut kamar yang hanya mendapat sedikit penerangan dari lampu sentir.
Aku terus memicingkan mataku ke arah dia berdiri, kulihat dia kembali melompat dan menghilang begitu saja. Tanpa diduga ... dia muncul atas dipan, dengan posisi tidur telentang, dengan wajah busuk yang menghadap tepat ke arah wajahku.
"Allahuakbar!" Aku sangat terkejut, hingga langsung melompat, melangkahi sosok tersebut. Tanpa pikir panjang aku langsung terjun dari dipan, kemudian bergegas meraih sentir dan berlari menuju pintu kamar.
"Darto ... " Terdengar kembali dia memanggilku dengan suara sendu menahan isak.
Belum sampai tanganku meraih gagang pintu, aku beranikan diri menoleh kembali kearah dipan, meski sebenarnya aku sudah sangat ketakutan.
"Dining?" Sahutku sembari mengerjap mata, memastikan apa yang tengah aku saksikan.
Tampak wanita yang sangat Aku kenali, dia satu-satunya wanita yang begitu akrab denganku. Sedari dulu kita sering menghabiskan waktu bersama, dari bermain, tidur bahkan sampai mandi kita sering melakukan semua bersama-sama.
Saat ini dia tengah duduk di atas dipan, menunduk menahan isak tangis seakan berusaha menahan peluh dan terlihat membutuhkan teman untuk mengeluh. Setahuku, setelah ayahnya meninggal, tepatnya tiga bulan lalu Ibu tirinya sudah membawanya untuk hidup di kota.
"Kamu kenapa Ning? Kenapa kamu disini? Untuk apa kamu kesini Ning? Apa yang terjadi sama kamu?" Lontaran pertanyaan demi pertanyaan yang ada di dalam pikiranku tumpah begitu saja. Setelah itu aku bergegas menemuinya, hingga akhirnya aku sudah dalam posisi jongkok di bawahnya, sembari mendongakkan kepala untuk menatap Dining yang tengah duduk di atas dipan.
Dining tidak menjawab, dia terus diam dan menunduk dalam tangisnya. Melihat itu aku lantas meraih tangan Dining. Kulitnya begitu dingin, warnanya pucat dan juga keriput. Layak kulit yang sudah direndam terlalu lama di dalam air.
"Kenapa diam, Ning? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?" tanyaku tetap tak mendapat jawaban dari sahabatku itu.
"Kamu tinggal di mana sekarang?" Kali ini pertanyaan dariku mendapat respon dari Dining
Karena tangannya masih kugenggam, dia menggunakan tangan satunya lagi untuk mengacungkan jari telunjuk, dan mengarahkan jarinya ke utara.
"Apa dekat dari sini, Ning?" Tanyaku singkat, dan hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa kamu pulang?" kembali Dining menggeleng.
Aku tau, pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk dengan dining, karena mustahil Dining bisa masuk kedalam kamarku tanpa membuka pintu maupun jendela.
"Mari Ning kita ke kamar Si Mbah, Siapa tau Si Mbah bisa menolong," usulku sembari menarik tangan Dining untuk beranjak pergi dari kamarku.
"Mbah ... sudah tidur, Mbah?" Aku ketuk pelan pintu kamar Si Mbah, kemudian disambut dengan dirinya membuka pintu kamarnya saat itu juga.
"Astagfirullah! Kamu kenapa Nduk!" teriak Si Mbah. Dia berlari dan langsung berjongkok ketika sampai di depan Dining. Dia memeluk Dining dengan air mata yang terus keluar dari kedua matanya, seakan Si Mbah sudah tau jika ada sesuatu yang terjadi sama Dining hanya dengan satu kali melihat.
Meskipun bukan keluarga, Dining itu salah satu teman terdekatku, dia hampir setiap hari datang ke rumah Si Mbah untuk menemu diriku. Tidak jarang juga Dining, Anto, dan satya menginap di rumah Si Mbah, yang jelas bagi Simbah Dining itu sudah seperti cucunya sendiri.
Dining tiba-tiba mendekatkan bibir miliknya ke telinga Si Mbah, dia berbisik dengan nada yang sangat pelan, hingga aku sama sekali tidak bisa mendengar. Kali ini, muka Si Mbah benar-benar murka. Mata Si Mbah memerah, dengan kening sedikit mengkerut, lengkap dengan urat yang menonjol di pelipisnya.
Namun, berbanding terbalik dari ekspresi wajah miliknya. Kalimat yang keluar dari bibirnya sangatlah halus, nadanya sendu, dan matanya berkaca-kaca.
"Kamu jangan khawatir Nduk! Si Mbah janji, sebisa mungkin akan bantu kamu," ucap Si Mbah sembari mengelus lembut rambut Dining. Perlakuan Si Mbah benar-benar berhasil membawa Dining semakin tenggelam dalam isak tangisnya. Aku langsung sadar ketika mendengar suara tangisan Dining yang sedang menangis, di depan Si Mbah, karena suaranya begitu mirip dengan suara pocong yang terus menangis di dalam kamarku, saat itu juga, aku tahu jika Dining sudah tidak lagi ada.
****
Aku terjaga sepenuhnya malam ini, masih belum rela rasa di hati, setelah mengetahui hal buruk sudah terjadi pada Dining. Rasa sesal semakin menjadi, ketika teringat aku tidak sempat menghantar maupun menemui Dining, saat dia hendak pergi bersama ibunya menuju kota. Kini aku hanya bisa meratapi, setelah Si Mbah menyuruhnya untuk pergi, dan bersabar menunggu pertolongan dari kami.
'Aku harus menolong Dining!' Gumam yang terus terucap tanpa henti, hingga tanpa sadar hari sudah berganti.
"Dar?! Darto?!" Terdengar suara Anto dan Satya, bersautan, berteriak memanggil dari depan pintu rumahku.
"Sebentar!" jawabku sembari melangkah gesit, saat mencari caping, arit, dan juga tumbu, yang terbuat dari anyaman bambu yang akan digunakan untuk membawa pulang hasil panen.
Setelah berpamitan dengan Si Mbah, kita bertiga berjalan hingga satu jam lamanya, hanya untuk sampai di kebon milik Anto. Setelah sampai di sana kita langsung bergegas memanen buncis di kebunnya itu. Ketika matahari sudah meninggi dan tepat berada di atas ubun-ubun. bergegas kita pergi membersihkan diri, dilanjut berjamaah di atas gazebo bambu, yang sengaja dibangun untuk tempat berisitirahat di tengah kebon.
"Mata kamu kenapa hitam banget, Dar?" tanya Satya yang tengah mengunyah nasi jagung dengan lauk daun talas di dalam mulutnya.
"Iya, kamu sakit Dar?" timpal Anto yang juga tengah mengunyah menu yang sama.
"Enggak, Tok, Sat, semalam aku begadang sampai pagi," jawabku seraya menuang air putih dari kendi kedalam gelas seng yang kubawa.
"Lagi nyari wangsit kamu Dar? Kok bisa-bisanya begadang sampai pagi?" Sahut Satya sedikit tertawa, yang disusul tangan kanan miliknya memukul pelan dada sembari menahan nafas.
"Nah kan, makanya kalau lagi makan jangan bercanda! Sudah tau makan nasi jagung, masih aja sempet bercanda!" Sergah Anto pada Satya sembari menyodorkan segelas air, untuk menghilangkan seret di tenggorokan Satya.
Seusai makan, sebungkus rokok mendarat sempurna di depan tubuhku, rokok bermerk sriwedari yang diambil dari dalam bakul milik Anto.
"Tuh bonus buat tenaga kalian!" Ucap Anto yang tengah mencari korek di dalam bakulnya.
"Wah ... kapan kamu ke kota, Tok? Bisa dapet rokok enak gini," tanya Satya yang sudah meraih dan tengah merobek pembungkus rokok di tangannya.
"Udah! Sini! Lama kamu, Sat!" Sergahku sembari merebut rokok di tangan Satya dengan cepat, lalu aku raih sebatang rokok dari ke-12 barisan batang didalamnya.
Aku nyalakan korek zippo berbahan minyak tanah peninggalan mendiang bapakku ... tidak lama kemudian kepulan asap keluar dari dalam bibirku.
Kemudian, di tengah istirahat, aku membuka pembicaraan panjang tentang hal yang aku alami semalam. Kala itu, seusai mendengar celoteh panjang yang ku ucap, raut khawatir, marah, dan juga gelisah bercampur rata di wajah Satya dan Anto,
"Ini enggak beres Dar, kita harus cari tahu tentang kebenaranya!" Respon Anto dengan wajah marah.
"Iya Dar, nanti selesai panen kita tanya Si Mbah, aku juga mau bantu!" timpal Satya dengan wajah sedih.
Menanggapi wajah geram mereka, aku hanya mengangguk sembari berkata, "Sebaiknya panennya kita selesaikan dulu. Kita bahas lagi nanti, kalau sudah sampai di rumahku."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
mary dice
Darto mulai berani /Slight/
2024-04-03
0
Meili Rahma
/Doge/
2023-12-29
0
Abi Mulyana
bukan kita tapi kami
2023-01-19
2