Teriakan keras dari arah rawa masih mengiang di gendang telinga kami bertiga. Tanpa berpikir panjang langsung kita ambil langkah cepat meninggalkan tempat istirahat kita yang terakhir.
Jantungku berdegup kencang, tak kalah cepat dengan langkah kakiku yang tengah berlari. Dengan nada tersendat, mulutku terus berteriak mengajak temanku agar terus berlari menuju arah pohon beringin.
"hah.. hah.. hah.. istirahat dulu Dar, aku enggak kuat!" ucap Satya terengah-engah dengan tubuh membungkuk dan tangan memegang lutut.
"Iya, Dar, nafasku udah di leher ini hah.. hah..hah!" timpal Anto.
"Oke, hah.. hah.. kalau nafas kita udah baikan kita lanjut jalan aja, enggak usah lari, uhuk!uhuk!" jawabku sedikit memaksa, jangankan berbicara, untuk bernafas saja susah sekali.
Tampak sekali wajah mereka berdua begitu merah karena memaksakan diri untuk berlari, dan sudah pasti wajahku juga sama seperti mereka.
Setelah cukup lama, nafas kita berangsur membaik. Tadinya kita sepakat ingin melanjutkan dengan jalan kaki, namun niat kita harus di urungkan kembali. Karena kita bertiga kembali dihadapkan dengan lusinan sosok berbalut kain kafan di belakang kami.
Beberapa diantaranya bergelantung di atas pohon, ada yang cuma berdiri di semak, dan bahkan ada yang terus melompat berpindah pindah tempat.
Melihat itu kami kembali memacu laju kaki sekuat tenaga. Tidak perduli nafas kami habis, kami tetap terus berlari. Bayangkan saja, perjalanan yang seharusnya di tempuh tiga setengah jam jika berjalan laki, berhasil kita tempuh hanya dalam satu jam.
Setelah cukup jauh, langkah kaki kami mulai pelan. Ketika aku toleh ke belakang kembali, lusinan pocong itu berhenti, berbaris sejajar seperti ada tembok yang tidak bisa mereka lewati di depan mereka.
"Udah Sat, Tok, mereka sudah jauh hah..hah..hah.." ucapku menghentikan lari mereka berdua.
Meskipun pocong itu tidak mengejar lagi, kita tetap melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat, hingga akhirnya kita sampai juga di bawah pohon beringin yang menjadi tujuan kami.
Baju kami basah karena keringat, juga kumuh karena masih tertempel tanah dari sisa kami menggali dan mengubur mayat tadi. Karena takut sendirian, aku ajak mereka bertiga membersihkan diri di kali dekat pohon tersebut. Sekalian mengumpulkan ranting yang berserakan untuk di bakar di tempat istirahat nanti.
"Sudah cukup ini, Dar. Ayo kita balik," Ucap Satya dengan tumpukan kayu kering yang sudah dia ikat di atas kepalanya.
Setelah mendengar itu, kita semua bergegas pergi kembali menuju pohon. Kemudian menyalakan api dan beristirahat di tempat tersebut.
Malam ini sungguh terasa begitu panjang. Rentetan kejadian aneh yang kami alami malam ini benar-benar menjadi satu pukulan besar bagi kami.
"Dar... apa kamu bisa hidup dengan lihat hal begituan seumur hidup?" Ucap Anto membuka pembicaraan
"Aku juga nggak minta, Tok, kalau bisa aku juga pengen kaya kalian," jawabku menunduk.
"Tadi bener-bener serem ya Dar, enggak sudi aku datang ke tempat itu lagi!" ketus Satya.
"Tapi kenapa di sana banyak sekali pocong ya, Dar? Amit-amit aku nggak mau lagi lihat begituan, cukup malam ini saja!" timpal Anto.
"Entahlah Tok, aku juga penasaran," jawabku singkat, sembari mencoba meraih sarung dari dalam karung goni.
Mataku mukai menutup, begitu juga dengan mata kedua sahabatku. Kali ini tidak ada yang berjaga, kita bertiga tidur berhimpitan di bawah pohon beringin, dan tidak perduli jika apinya mati. Sekarang yang kita bertiga inginkan hanyalah untuk segera bertemu kembali dengan cahaya matahari.
"Dining?"
Aku terkejut hingga terbangun, mendengar suara Satya berteriak mengucap nama tersebut. Aku bergegas meraih kayu kering di dalam tumpukan, kemudian aku lempar ke atas bara yang hampir padam tersebut.
Ketika api mulai kembali berkobar, tampak Satya tengah duduk berhadap-hadapan dengan seseorang. Tak lama setelah itu, mereka berdua berjalan mendekat ke arah api. Benar saja, Dining tengah berjalan beriringan dengan Satya seperti apa yang aku perkirakan.
Meski masih bingung, aku merasa lega karena Satya juga bisa melihat Dining. Melihat itu aku bergegas membangunkan Anto dari tidur ngoroknya, agar dia juga bisa melihat Dining.
Benar saja, Anto juga bisa melihatnya.
Empat sekawan yang selalu menghabiskan waktu bersama dari bayi, kini tengah berkumpul kembali di tengah hutan mati.
"Darto.. Anto... Satya.. makasih ya, sekarang aku bisa pulang," ucap Dining dengan nada sendu, tapi matanya berbinar seakan dia bahagia sekali.
"Apakah jasad tadi itu tubuhmu, Ning?" pertanyaan dariku membuat mata Anto dan Satya terbelalak menggambarkan ekspresi terkejut di wajahnya.
"Beneran ning? Kamu nggak bohong kan?" tanya Satya dengan ekspresi terkejut yang masih terpampang.
Dining hanya menjawab dengan anggukan kepala yang mengartikan 'iya'.
"Bagaimana kamu bisa sampai di situ Ning?" Anto kembali bertanya.
"Nanti biar Darto yang cerita sama kalian, karena cuma Darto yang bisa melihat apa yang sudah terjadi padaku," jawaban Dining membuat kedua pasang mata di sebelahku menatap tajam penuh rasa penasaran.
"Lho, aku nggak tau keseluruhan kejadiannya Ning!" jawabku singkat.
"Sekarang kalian tidur saja dulu, kalian pasti lelah, sudah membuang tenaga kalian hanya untuk membantu teman kalian yang tidak berguna ini. Aku tidak tau harus bagaimana untuk membalas kebaikan kalian," ucap Dining sendu, bahkan tanpa isak, dia meneteskan air mata dari kedua matanya sembari berbicara kali ini.
"Sudah, jangan di bahas lagi. Kita teman, kan?" ucapku seketika membuat Dining menangis terharu, dilanjut menyandarkan kepalanya di bahuku.
Yah mau dibilang sudah dewasa pun, kami tetap tidak bisa menahan genangan air mata di kantung mata kami lagi. Saat ini malam panjang yang menyeramkan, berganti haluan menjadi malam pilu.
Sebelum berpamitan pergi, Dining meminta agar tetap bersama dan menemani hingga kami terlelap, karena mungkin ini adalah malam terakhir yang dia punya untuk bisa tetap bersama kami bertiga.
Tampak Anto dan Satya sudah tertidur meringkuk di dalam sarungnya. Menyisakan Aku, dan Dining yang tengah duduk di sebelahku, dengan mata yang terus menatap wajah kami bertiga secara bergantian.
'Kenapa semua harus terjadi sama kamu Ning, kenapa bukan orang lain?' ucap hati kecilku ketika mataku masih terus memandang wajah elok yang Dining miliki. Wajah dan perilaku yang sangat aku sukai, dan tidak pernah aku temui dari gadis lain selain dirinya.
Karena tidak ada percakapan lagi, rasa kantuk dengan mudahnya berhasil membuat mataku menjadi berat. Dengan mata yang sudah tidak bisa di ajak kompromi, masih bisa kulihat samar-samar wajah Ding di depanku. Hingga akhirnya mataku tertutup sepenuhnya, lirih terdengar suara Dining berbisik di depan telingaku.
"Terimakasih Dar, malam ini akan aku tunjukan kebenaran dari apa yang terjadi padaku, aku bersyukur memiliki teman sepertimu dan juga mereka berdua, kalian bertiga harta paling berharga yang pernah aku miliki,"
Saat itu Darto tidak melihat karena dia sudah terlelap. Adegan dimana Dining mengecup kening Darto, sebelum berangsur menjauh dan hilang bagai tertelan kegelapan itu sendiri.
Bersambung,-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
By
Dining ada rasa sama Darto
2023-02-27
2
Park Kyung Na
👍👍
2022-12-23
0
Ed
Sampe di sini air mata gua pun turun ke pipi...
2022-10-25
1