CRIK CRIK CRIK
Suara korek api alumunium berbahan bakar minyak tanah, tengah coba dinyalakan Si Mbah Turahmin melalui jari-jemarinya.
"Dar, ambilkan lampu sentir di sebelah kamu sini. Ini habis pasti minyaknya," titah Mbah Turahmin sembari terus mencoba menyalakan korek api di tangannya.
Bergegas kusodorkan lampu yang berbahan bakar minyak tanah di sebelahku--satu-satunya penerangan ruangan ini, menuju tangan Mbah Turahmin.
"Niki, Mbah?!" (Ini Mbah) ucapku seraya melepas lampu sentir yang lalu berpindah ke genggaman Mbah Turahmin.
Selang berapa detik, terlihat kepulan asap di iringi bau kemenyan yang cukup menyengat keluar dari bibir Mbah Turahmin.
Asap yang bersumber dari rokok buatan tangan sendiri. Rokok tersebut berbahan tembakau, kelembak, kemenyan dan juga cengkeh yang dibungkus kertas sigaret, lalu digulung manual menggunakan tangan.
Sesekali Mbah Turahmin memejamkan mata menikmati asap menari di dalam saluran pernapasan, sebelum lekas membuang asap tersebut dengan meniupnya.
"Dar, kamu sudah dengar belum, tentang Pak Sapto?" tanya Mbah Turahmin dengan asap yang terus mengepul dari mulutnya.
"Lho, ada apa, Mbah? Aku belum dengar apa-apa." Sontak aku menoleh ke arah mbah Turahmin, ketika kedua tanganku tengah meracik bumbu dan tembakau untuk dijadikan rokok.
"Itu lho, Dar ... sampai sekarang gerobak sama bakso-baksonya belum diambil dari kuburan Candi Wulan," ungkap Mbah Turahmin dengan raut wajah serius.
"Lho, kok bisa? Siapa yang angkat gerobak Pak Sapto sampai atas? Bukannya satu-satunya jalan ke kuburan itu harus lewat tangga, ya, Mbah?" tanyaku penasaran.
"Nah itu anehnya, Dar. Tadi sore aku sempat ke rumah Pak Sapto buat menjenguk, soalnya aku dapat kabar setelah kejadian itu dia langsung jatuh sakit. Pas aku tanya ke Pak Sapto, dia cuma bilang kalau pas kejadian dia sudah ngantuk berat, tapi baksonya belum laku sama sekali, alias masih utuh," cerita Mbah Turahmin terhenti, karena rokok yang dia pegang mati. Kini dia tengah menyalakan kembali rokok di tangannya menggunakan lampu sentir di dekat kami. Wajar saja, karena rokok kami memakai kemenyan. Jadi memang sudah biasa kalau sebentar saja didiamkan langsung mati.
"Terus, Mbah?" tanyaku penasaran.
"Nah, pas lewat di dekat kuburan candi wulan, katanya ada ramai-ramai, Dar. Berharap baksonya laku, dia dorong gerobaknya ke arah keramaian itu. Nah, pas sudah sampai di keramaian, banyak yang nyamperin, Dar. Pembelinya sampai ngantri. Pak sapto benar-benar kewalahan, karena mangkok yang dia bawa cuma tuju, jadi cuma bisa melayani tujuh orang. Meski begitu, yang lain masih sudi ngantri giliran mangkok," tutur Si Mbah sedikit tertawa.
"Apanya yang lucu, Mbah? Terus gimana lanjutannya?" tanyaku semakin penasaran.
"Nah, karena saking ramainya, Pak Sapto sampai tidak fokus. Yang dia perhatikan cuma sisa bakso di kuali saja. Dia bilang, pas mau siapin bakso ke-14, semua orang mendadak hilang, Dar. Dia toleh kanan, toleh kiri, tapi sepi. Yang bisa dia lihat cuma batu nisan yang lagi baris rapi," tutur Si Mbah lagi sembari tertawa, menganggap hal yang dilontarkannya terkesan lucu.
"Terus, Mbah?!" Wajahku semakin heran melihat Si Mbah tertawa. Karena menurutku, itu tak lucu sama sekali.
"Terus Pak Sapto puter balik, Dar. Buru-buru dia dorong gerobaknya. Pas sampai di bibir tangga menurun, dia bingung, karena jalan yang tadi dia lewati sudah tidak ada lagi. Akhirnya dia lari pontang-panting sampai rumah. Gerobak sama baksonya dia tinggal di atas kuburan!" Si Mbah masih terbahak.
"Yang aneh lagi, Dar ... semua orang yang beli serentak bayar pakai uang lima ratus perak gambar orang utan. Mereka enggak minta kembalian, tapi pas sampai di rumah, tiga belas lembar uangnya jadi daun nangka semua. Hahaha!" lanjut Si Mbah, semakin terbahak-bahak.
"Masak iya sih, Mbah? Nggak bohong, 'kan?" Aku sedikit merasa tak percaya.
"Ya, emang tidak masuk akal sih, kalau dipikir. Masa iya, setan ngantri bakso? Hahaha!" jawab Si Mbah yang berhasil membuatku ikut terbahak.
"Besok siang katanya tetangga Pak Sapto mau bantu turunin gerobak. Kamu ikut ya, Dar?"
"Njih, Mbah. Siap!" jawabku singkat sembari meyakinkan bahwa cerita itu nyata, karena percaya tidak percaya, gerobak pak Sapto benar-benar berada di atas kuburan.
***
Namaku Darto, laki-laki lima belas tahun yang tidak bersekolah. Aku tinggal di gubuk kayu hanya dengan mbah Turahmin, selaku kakekku--bapak dari Ayahku.
Dia satu-satunya keluarga yang kupunya di kampung ini. Kata Si Mbah, ibuku meninggal tepat setelah melahirkan diriku. Dan juga dia bilang kalau aku terlahir dengan posisi sungsang-- keluar kaki terlebih dahulu.
Ayahku meninggal ketika usiaku menginjak empat tahun, karena terserang penyakit cacar. Akhirnya Mbah Turahmin yang menggantikan peran ayah-- merawat dan membesarkanku sendirian hingga detik ini.
Sebelum merawat diriku, Si Mbah juga hidup sendiri di rumahnya, istrinya sudah berpulang setelah melahirkan ayahku, sedangkan ayah dan ibuku menetap di rumah lain yang mereka bangun sendiri.
Menggunung rasa syukurku karena Si Mbah Turahmin yang membesarkanku. Sosok orang tua nyata--pribadi penuh kehangatan, kelembutan, kasih sayang, juga sifat humorisnya yang selalu membuatku menarik bibir lebar-lebar, membentuk tawa dengan suara menggema. Menikmati kebahagiaan dengan cara sederhana.
Dengan sedikit bantuan tenagaku, kita berdua mendapatkan pasokan makan dan uang dengan bertani setiap harinya. Kita habiskan sebagian besar waktu untuk menanam singkong, ubi, talas dan sesekali menanam kacang panjang di ladang yang cukup luas di belakang rumah kami.
Penduduk daerah kami juga sama, hampir merata seluruhnya berprofesi sebagai petani. Namun ada beberapa yang pergi mengadu nasib di rantau, dengan jumlah yang hanya bisa dihitung dengan jari.
***
"Mbah, ayo kita bantu turunin gerobak Pak Sapto," ajakku seraya membuka pintu hendak keluar dari rumah.
"Ayo, Dar!" sahut Si Mbah yang sudah tampak siap di belakangku.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana, karena kuburan Candi Wulan memang tidak jauh. Letaknya berada di pinggiran desa kecil yang kita singgahi.
Sesampainya di sana, tampak dua laki-laki tua dan dua pemuda yang sangat aku kenal tengah menaiki tangga, mereka terus mendekat menuju gerobak Pak Sapto yang sudah terlihat dari bawah tangga.
"Dar, besok bantu panen buncis punya bapak ya Dar. Sama Satya juga," kata Anto teman sebayaku meminta pertolongan.
"Siap, Juragan! Asal upah sepadan!" kicau recehku dengan cepat, menyanggupi permintaannya.
"Ya sudah, besok langsung ke sawahku, ya. Jangan kesiangan!" tandas Anto mengingatkan.
"Siap, Juragan!" Jawabku kemudian kembali melangkah.
Kita melanjutkan menaiki tangga kuburan Candi Wulan yang sudah terpampang di depan mata. Sekitar seratus anak tangga yang harus kita daki untuk bisa mencapai puncak. Hal itu membuatku semakin berpikir keras, bagaimana Pak Sapto tidak merasakan apa pun ketika menaiki tangga ini. Padahal dia mendorong gerobak yang masih penuh dengan baksonya. Entahlah! Memang akal tidak akan pernah berfungsi, jika sudah menyangkut tentang hal yang berbau gaib.
Sesampainya di atas, tampak gerobak Pak Sapto sudah sedikit tertutup daun kering, yang berasal dari pohon beringin besar di sampingnya.
Bersama kita menurunkan gerobak tersebut menuruni tangga perlahan. Dua anak muda di bawah, dua orang tua di belakang dan dua sisanya menjaga dari samping jika sewaktu-waktu menggelinding. Dan syukurlah usaha kami berhasil.
Ketika sampai di bawah tangga, kualihkan kembali pandangan ke ujung atas tangga. Sekejap aku membayangkan satu orang mendorong gerobak sendirian sampai atas. Langsung kusimpulkan; Hal itu termasuk kategori mustahil.
Usai istirahat di bawah tangga, kulihat kembali ujung tangga di atas sebelum bergegas meninggalkan kuburan.
"Sudah, Dar! Jangan dilihat terus," ujar Si Mbah tiba-tiba, sembari terus memperhatikan diriku.
"Njeh, Mbah!" jawabku singkat sembari berdiri, lalu menyusun langkah menuju pulang bersama rombongan.
"Kamu liat 'kan, Dar?" tanya Si Mbah sembari terus berjalan.
"Iya, Mbah. Saya lihat," jawabku--tahu persis mengarah kemana pertanyaan Si Mbah tersebut.
"Sudah! Jangan diingat-ingat terus!" hardik Si Mbah.
Saat itu, aku melihat sekumpulan orang dengan baju putih di ujung tangga. Mereka hanya diam, menatap ke arah yang sama dengan tatapan merendah. Wajah mereka hancur, membusuk, juga tidak lengkap. Sungguh pemandangan yang jauh dari kata sedap untuk dipandang.
Bersambung ....
Setelah membawa kembali gerobak bakso milik Pak Sapto. Masing-masing orang yang membantu diberi upah satu porsi bakso di rumahnya. Mereka tampak begitu tergoda setelah mangkok bakso berhasil sampai di hadapan mereka.
Jangankan bakso, mie instan saja sudah tergolong makanan yang sangat istimewa. karena makanan utama kami setiap hari adalah nasi jagung, kadang jika jagung panen buruk, kita hanya memakan singkong yang tumbuk dan diolah menjadi Leye.
Dalam seminggu, Pak Sapto hanya berjualan bakso di akhir pekan. Kadang hanya hari sabtu, atau minggunya saja, tapi tidak jarang juga dia berjualan selama dua hari berturut-turut. Dia berjualan tergantung bahan yang dia dapat dari kota, karena jarak yang harus ditempuh kurang lebih memakan waktu tiga jam perjalanan, jika menggunakan sepeda kumbang tua miliknya. Jadi dia hanya seminggu sekali saja untuk pergi membeli daging di sana.
Tidak sampai lima menit, tumpukan mangkok seng sudah tersusun rapi, lengkap dengan sendok kotor di atasnya. Setelah kenyang, satu persatu orang di ruangan tersebut pamit undur diri, hingga hanya tersisa aku, Si Mbah dan Pak Sapto si pemilik rumah saja di dalam ruangan ini.
"Kamu beneran lihat yang tadi kan, Dar?" tanya Si Mbah membuka pembicaraan ketika Pak Sapto tengah sibuk mengambil tumpukan mangkok kotor di depan kami.
"Lihat apa, Ki?" Timpal Pak Sapto, dia memanggil Si Mbah dengan sebutan Ki Turah, karena Si Mbah lebih dikenal dengan panggilan tersebut di Dusun ini.
"Bukan apa-apa Sap, kamu cuci dulu saja itu mangkok, sukur-sukur bawakan mangkok bersih sama baksonya lagi kalo ada" jawab Si Mbah sembari tertawa pelan.
"Saya juga mau Ki, dikasih bakso dua mangkok. Apalagi gratis!" gerutu Pak Sapto dengan bibir sengaja dibuat menceng, meledek Si Mbah sembari pergi membawa mangkok kotor ke ruang sebelahnya.
Setelah Pak Sapto masuk, sembari meracik rokok lintingan andalan, Si Mbah menatap serius menagih jawaban atas pertanyaan tadi.
"Apa seperti itu Mbah? Yang disebut mahluk halus?" Tanyaku menjawab semua pertanyaan Si Mbah.
"Iyo, Dar. Mungkin mulai sekarang hidupmu bakal berubah. Si Mbah cuma mau ngasih wejangan, apapun yang kamu lalui, kamu lihat maupun rasakan, semua itu sudah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Jadi jangan pernah menyerah, kamu spesial, Dar. Seperti Si Mbah- Si Mbah Buyut dan Si Mbah yang sedang duduk di depanmu ini!" Ucap Si Mbah dengan mata sendu miliknya, dan hanya Aku jawab dengan anggukan kepala.
Aku sudah tau, jika Si Mbah bukan orang biasa, karena bukan hanya sekali dua kali orang datang ke rumah, hanya untuk sekedar meminta saran dari Si Mbah. Ditambah jika ada kejadian ganjil seperti santet, kesurupan dan lain-lain, Si Mbah adalah orang pertama yang selalu diminta pertolongannya.
"Pokoknya, jangan pernah takut sama hal yang jelas lebih rendah dari derajat kita Dar, takutlah dengan Yang Maha Kuasa, sang pencipta alam semesta beserta isinya. Jangan pernah putus mulutmu berdoa, mintalah pertolongan dari beliau," sambung Si Mbah.
"Njih Mbah, Insya Allah, Darto bakal mengingat wejangan Si Mbah, dan bakal Darto sampaikan juga wejangan Si Mbah kepada anak cucu Darto, kalau umur Darto panjang Mbah!" ucapku yang sontak membuat Si Mbah meraih kepalaku dengan sebelah lengan, dan mengelus kasar rambutku dengan lengan satunya.
"Ini baru Cucu Si Mbah!" ucap Si Mbah masih mengelus kepalaku. Ekspresi bangga benar-benar terpampang jelas dari wajah keriput miliknya.
***
Hari serasa cepat berlalu, tak terasa sudah terdengar suara Simbah mengumandangkan Adzan Isya didalam langgar dekat rumah kami. bergegas aku menuju langgar untuk menunaikan kewajiban yang harus di jalani semua umat muslim.
"Jangan lupa besok Dar!" ucap Anto di depan langgar, sembari jelalatan mencari alas kakinya di dalam tumpukan sandal.
"Iya Tok, besok samperin aja ya?! Biar sekalian berangkat bareng!" pintaku sekaligus menjawab pertanyaan Anto.
"Oke Dar!" jawabnya semangat.
Aku kembali pulang setelah selesai sholat. Ditemani Si Mbah, aku berjalan membelah persawahan menuju rumah kita yang berdiri kokoh di tengah sawah.
Dengan teliti kita berdua memilah jalan yang kita lewati. Menyibak jalanan sawah, dengan bantuan cahaya kuning dari lampu senter berbahan alumunium milik peninggalan mendiang bapak.
"Jangan takut, Dar!" ucap Si Mbah tiba-tiba, dia memperpelan langkahnya agar kita jalan beriringan.
"Astagfirullah!" Teriakku lepas, ketika ku lihat sosok hitam bertubuh tinggi, tengah berdiri di samping jalan, tepat di depan kebon pisang milik simbah.
Mahluk itu penuh bulu, juga lebih tinggi dari pohon pisang. Dia sedang fokus melihat ke arah kami, dengan dua bola mata merah menyala yang dia miliki.
"A ap apa itu Mbah?" Tanyaku dengan mulut yang entah aku juga bingung kenapa bisa tiba-tiba susah mengucap dan juga tiba-tiba gagap.
"Bukan apa-apa, ingat saja wejangan Si Mbah tadi!" Jawab Si Mbah sedikit membuatku tenang, ketika mengingat kata-katanya yang menyebut derajat manusia lebih tinggi, meskipun tangan dan kakiku tidak bisa berhenti bergetar.
Sesampainya di rumah, Si Mbah menyalakan satu-satunya lampu sentir yang kita miliki. Seperti biasa, kegiatan kami berdua hanya meracik dan membuat rokok. Kita sedikit berbincang malam itu, sebelum akhirnya aku membawa masuk sentir untuk menerangi kamarku, dan meninggalkan Si Mbah tidur tanpa penerangan di dalam kamarnya.
"Hu hu hu," samar terdengar suara lirih wanita menangis, suaranya begitu pilu. Layak seorang yang tengah menangisi kepergian keluarganya, dari balik tembok kamarku.
Aku rekatkan telinga kiri ke tembok kayu sebelahku. Suara itu seakan terus mendekat, dari yang semula pelan kini berangsur mengeras, hingga kini suara itu seperti berasal dari depan telingaku.
'La ilaha illallah,' terus ku ulang kalimat tersebut di dalam hati tanpa henti Aku jauhkan kuping kiriku dari tembok kamarku, hingga akhirnya suara tangis sudah tidak begitu keras terdengar. Terdengar menjauh dan terus menjauh hingga suaranya begitu kecil, selirih suara bisikan.
Aku kembali membaringkan tubuhku di atas dipan. Kemudian melilit badanku dengan sarung sembari terus berpikir keras tentang suara tangisan yang baru saja aku dengarkan.
Saat lamunanku sudah hampir berhasil membuatku terlelap, diriku kembali dikejutkan suara tangis dari balik tembok kamarku. Aku spontan menutup kedua telinga dengan tanganku, dan berharap agar suara tangis itu lekas menghilang.
Kali ini cukup lama, dia tidak kunjung pergi. Suasana justru semakin gaduh, ketika yang semula hanya ada suara tangis, kini diiringi suara benturan benda dari balik tembok kayu. Suara itu tak lain adalah dentuman dari kepala yang sengaja dibenturkan berkali-kali. Dan sialnya, itu terdengar cukup keras meski kedua telingaku sudah tertutup rapat oleh kedua tanganku.
Seketika tangan dan kakiku bergetar, sembari terus mencoba meyakini wejangan Si Mbah. Tapi ini tetap hari pertama aku mengalami kejadian aneh dalam hidupku, dan itu benar-benar satu pengalaman yang menakutkan.
Tanpa diduga, tiba-tiba suasana kembali hening, suara tangis berganti dengan nyanyian jangkrik, kodok dan hewan lain yang saling bersautan dari balik tembok. Sedikit rasa lega langsung bersarang di dalam hati, juga badan yang semula bergetar pun mulai berangsur membaik.
Merasa sudah aman, kedua mataku langsung terasa berat karena terus terjaga. Dan ketika pandanganku mulai terasa buram, angin kencang berhasil menerobos masuk melalui celah dinding kayu kamarku, hingga lampu sentir hampir mati dibuatnya.
"Hu hu hu hu!" Suara tangis dari balik tembok itu kembali. Parahnya sekarang suara terdengar dari telinga kananku. Itu menandakan dia sudah berada di dalam kamarku.
Aku tutup kembali telingaku, dan langsung meringkuk menghadap tembok untuk waktu yang cukup lama. Setelah itu aku mencoba memberanikan diri untuk menoleh kebelakang. Meski tak butuh waktu lama aku langsung membuang pandanganku kembali ke arah tembok.
Dalam posisi meringkuk, aku memaksa mataku untuk selalu terpejam, setelah jelas kulihat diantara cahaya remang kekuningan lampu sentir, tengah berdiri satu mahluk.
Sosok pocong dengan wajah hitam, hancur, bahkan berbau busuk, dengan belatung yang bergelayut dan jatuh dari dalam rongga mata miliknya.
Sosok itu tengah berdiri tepat di samping kepalaku. Dia menangis dengan kepalanya yang terus bergerak. Entah itu mengangguk, menoleh ataupun mendongak. Dia terus bergelayut selayaknya kejang, dengan kain kafan lusuh dan basah yang membalut tubuhnya secara sempurna.
.
.
.
.
Bersambung ....
Suara tangis pocong masih terdengar keras dari arah belakang punggungku.
"Darto?!" Suara seorang wanita memanggil di tengah tangis.
"Apa mau kamu?!" jawabku sedikit berteriak tanpa menoleh.
"Tolong ... Darto!" Pinta pocong wanita itu dalam suara tangis pilu menyayat hati kembali.
Suara detak jantungku terdengar begitu jelas kali ini, seakan itu berdegup tepat di samping gendang telingaku. Bulu kuduk di sekujur tubuhku seketika berdiri, ketika aku lepas perlahan tanganku dari kedua telingaku.
Aku menoleh sedikit demi sedikit ke arah belakang, hingga akhirnya terlihat jelas sosok dengan wajah hancur tengah berdiri di sana, bau anyir dan busuk seketika hadir saat itu juga, bau yang berasal dari sosok yang tengah mengangguk-anggukan kepalanya, tepat didepan mataku itu.
"Siapa kamu?!" tanyaku dengan mulut gemetar--tidak ... kurasa bukan hanya mulut, tapi bahkan dipan yang aku gunakan sebagai tempat tidur juga ikut bergetar, mengiringi gemetar dari sekujur tubuhku.
Seketika tangis sosok itu berhenti, menyisakan suara hening diantara diriku yang sudah duduk menghadap ke arahnya, dan dirinya yang masih tegap berdiri sembari bergelayut di depanku.
Setelah itu, pocong itu melompat, dan seketika mataku langsung terbelalak setelah melihat hal itu. Hanya dengan sedikit lompatan, dirinya langsung hilang dan seketika berpindah ke sudut kamar yang hanya mendapat sedikit penerangan dari lampu sentir.
Aku terus memicingkan mataku ke arah dia berdiri, kulihat dia kembali melompat dan menghilang begitu saja. Tanpa diduga ... dia muncul atas dipan, dengan posisi tidur telentang, dengan wajah busuk yang menghadap tepat ke arah wajahku.
"Allahuakbar!" Aku sangat terkejut, hingga langsung melompat, melangkahi sosok tersebut. Tanpa pikir panjang aku langsung terjun dari dipan, kemudian bergegas meraih sentir dan berlari menuju pintu kamar.
"Darto ... " Terdengar kembali dia memanggilku dengan suara sendu menahan isak.
Belum sampai tanganku meraih gagang pintu, aku beranikan diri menoleh kembali kearah dipan, meski sebenarnya aku sudah sangat ketakutan.
"Dining?" Sahutku sembari mengerjap mata, memastikan apa yang tengah aku saksikan.
Tampak wanita yang sangat Aku kenali, dia satu-satunya wanita yang begitu akrab denganku. Sedari dulu kita sering menghabiskan waktu bersama, dari bermain, tidur bahkan sampai mandi kita sering melakukan semua bersama-sama.
Saat ini dia tengah duduk di atas dipan, menunduk menahan isak tangis seakan berusaha menahan peluh dan terlihat membutuhkan teman untuk mengeluh. Setahuku, setelah ayahnya meninggal, tepatnya tiga bulan lalu Ibu tirinya sudah membawanya untuk hidup di kota.
"Kamu kenapa Ning? Kenapa kamu disini? Untuk apa kamu kesini Ning? Apa yang terjadi sama kamu?" Lontaran pertanyaan demi pertanyaan yang ada di dalam pikiranku tumpah begitu saja. Setelah itu aku bergegas menemuinya, hingga akhirnya aku sudah dalam posisi jongkok di bawahnya, sembari mendongakkan kepala untuk menatap Dining yang tengah duduk di atas dipan.
Dining tidak menjawab, dia terus diam dan menunduk dalam tangisnya. Melihat itu aku lantas meraih tangan Dining. Kulitnya begitu dingin, warnanya pucat dan juga keriput. Layak kulit yang sudah direndam terlalu lama di dalam air.
"Kenapa diam, Ning? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?" tanyaku tetap tak mendapat jawaban dari sahabatku itu.
"Kamu tinggal di mana sekarang?" Kali ini pertanyaan dariku mendapat respon dari Dining
Karena tangannya masih kugenggam, dia menggunakan tangan satunya lagi untuk mengacungkan jari telunjuk, dan mengarahkan jarinya ke utara.
"Apa dekat dari sini, Ning?" Tanyaku singkat, dan hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa kamu pulang?" kembali Dining menggeleng.
Aku tau, pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk dengan dining, karena mustahil Dining bisa masuk kedalam kamarku tanpa membuka pintu maupun jendela.
"Mari Ning kita ke kamar Si Mbah, Siapa tau Si Mbah bisa menolong," usulku sembari menarik tangan Dining untuk beranjak pergi dari kamarku.
"Mbah ... sudah tidur, Mbah?" Aku ketuk pelan pintu kamar Si Mbah, kemudian disambut dengan dirinya membuka pintu kamarnya saat itu juga.
"Astagfirullah! Kamu kenapa Nduk!" teriak Si Mbah. Dia berlari dan langsung berjongkok ketika sampai di depan Dining. Dia memeluk Dining dengan air mata yang terus keluar dari kedua matanya, seakan Si Mbah sudah tau jika ada sesuatu yang terjadi sama Dining hanya dengan satu kali melihat.
Meskipun bukan keluarga, Dining itu salah satu teman terdekatku, dia hampir setiap hari datang ke rumah Si Mbah untuk menemu diriku. Tidak jarang juga Dining, Anto, dan satya menginap di rumah Si Mbah, yang jelas bagi Simbah Dining itu sudah seperti cucunya sendiri.
Dining tiba-tiba mendekatkan bibir miliknya ke telinga Si Mbah, dia berbisik dengan nada yang sangat pelan, hingga aku sama sekali tidak bisa mendengar. Kali ini, muka Si Mbah benar-benar murka. Mata Si Mbah memerah, dengan kening sedikit mengkerut, lengkap dengan urat yang menonjol di pelipisnya.
Namun, berbanding terbalik dari ekspresi wajah miliknya. Kalimat yang keluar dari bibirnya sangatlah halus, nadanya sendu, dan matanya berkaca-kaca.
"Kamu jangan khawatir Nduk! Si Mbah janji, sebisa mungkin akan bantu kamu," ucap Si Mbah sembari mengelus lembut rambut Dining. Perlakuan Si Mbah benar-benar berhasil membawa Dining semakin tenggelam dalam isak tangisnya. Aku langsung sadar ketika mendengar suara tangisan Dining yang sedang menangis, di depan Si Mbah, karena suaranya begitu mirip dengan suara pocong yang terus menangis di dalam kamarku, saat itu juga, aku tahu jika Dining sudah tidak lagi ada.
****
Aku terjaga sepenuhnya malam ini, masih belum rela rasa di hati, setelah mengetahui hal buruk sudah terjadi pada Dining. Rasa sesal semakin menjadi, ketika teringat aku tidak sempat menghantar maupun menemui Dining, saat dia hendak pergi bersama ibunya menuju kota. Kini aku hanya bisa meratapi, setelah Si Mbah menyuruhnya untuk pergi, dan bersabar menunggu pertolongan dari kami.
'Aku harus menolong Dining!' Gumam yang terus terucap tanpa henti, hingga tanpa sadar hari sudah berganti.
"Dar?! Darto?!" Terdengar suara Anto dan Satya, bersautan, berteriak memanggil dari depan pintu rumahku.
"Sebentar!" jawabku sembari melangkah gesit, saat mencari caping, arit, dan juga tumbu, yang terbuat dari anyaman bambu yang akan digunakan untuk membawa pulang hasil panen.
Setelah berpamitan dengan Si Mbah, kita bertiga berjalan hingga satu jam lamanya, hanya untuk sampai di kebon milik Anto. Setelah sampai di sana kita langsung bergegas memanen buncis di kebunnya itu. Ketika matahari sudah meninggi dan tepat berada di atas ubun-ubun. bergegas kita pergi membersihkan diri, dilanjut berjamaah di atas gazebo bambu, yang sengaja dibangun untuk tempat berisitirahat di tengah kebon.
"Mata kamu kenapa hitam banget, Dar?" tanya Satya yang tengah mengunyah nasi jagung dengan lauk daun talas di dalam mulutnya.
"Iya, kamu sakit Dar?" timpal Anto yang juga tengah mengunyah menu yang sama.
"Enggak, Tok, Sat, semalam aku begadang sampai pagi," jawabku seraya menuang air putih dari kendi kedalam gelas seng yang kubawa.
"Lagi nyari wangsit kamu Dar? Kok bisa-bisanya begadang sampai pagi?" Sahut Satya sedikit tertawa, yang disusul tangan kanan miliknya memukul pelan dada sembari menahan nafas.
"Nah kan, makanya kalau lagi makan jangan bercanda! Sudah tau makan nasi jagung, masih aja sempet bercanda!" Sergah Anto pada Satya sembari menyodorkan segelas air, untuk menghilangkan seret di tenggorokan Satya.
Seusai makan, sebungkus rokok mendarat sempurna di depan tubuhku, rokok bermerk sriwedari yang diambil dari dalam bakul milik Anto.
"Tuh bonus buat tenaga kalian!" Ucap Anto yang tengah mencari korek di dalam bakulnya.
"Wah ... kapan kamu ke kota, Tok? Bisa dapet rokok enak gini," tanya Satya yang sudah meraih dan tengah merobek pembungkus rokok di tangannya.
"Udah! Sini! Lama kamu, Sat!" Sergahku sembari merebut rokok di tangan Satya dengan cepat, lalu aku raih sebatang rokok dari ke-12 barisan batang didalamnya.
Aku nyalakan korek zippo berbahan minyak tanah peninggalan mendiang bapakku ... tidak lama kemudian kepulan asap keluar dari dalam bibirku.
Kemudian, di tengah istirahat, aku membuka pembicaraan panjang tentang hal yang aku alami semalam. Kala itu, seusai mendengar celoteh panjang yang ku ucap, raut khawatir, marah, dan juga gelisah bercampur rata di wajah Satya dan Anto,
"Ini enggak beres Dar, kita harus cari tahu tentang kebenaranya!" Respon Anto dengan wajah marah.
"Iya Dar, nanti selesai panen kita tanya Si Mbah, aku juga mau bantu!" timpal Satya dengan wajah sedih.
Menanggapi wajah geram mereka, aku hanya mengangguk sembari berkata, "Sebaiknya panennya kita selesaikan dulu. Kita bahas lagi nanti, kalau sudah sampai di rumahku."
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!