"Ki! Ki Turah!" teriak pak Sapto sembari terus mengetuk pintu rumah.
"Masuk saja! Enggak dikunci pintunya!" jawab Si Mbah, sedikit berteriak dari dalam rumah.
Mendengar itu, Pak Sapto langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Dan setelah sampai dia langsung bertanya kepada Si Mbah, "Permisi Ki, saya ma...," ucapan Pak Sapto di hentikan Simbah, hanya dengan isyarat mengacungkan jari telunjuk di depan bibir.
"Aku tau Sap, kamu kesini gara-gara dengar suara wanita. Dia minta tolong dari depan rumahmu, tapi pas dicari enggak ketemu. Ditambah suaranya serem, mirip orang ngorok, kan?" ucap Si Mbah dengan Senyum remeh
"Ki Turahmin memang sakti ternyata! maafkan saya Ki! Karena pernah meragukan kehebatan Ki Turah!" ucap Sapto dengan wajah terkagum kagum.
"Bukannya sakti Sap, kamu orang ke tuju yang menanyakan hal itu pagi ini, ha ha ha ha!" jawab simbah terbahak, bahkan bulir air bening sampai keluar dari kedua matanya.
"Howalah dialah!" jawab Sapto bertepuk jidat, dilanjut geleng-geleng kepala, karena merasa sudah berhasil dibodohi.
"Jadi? Langsung saja ya Ki. Itu sebenarnya siapa yang minta tolong? Apa mungkin Lastri, Ki?'' sambung Pak Sapto, dengan mimik terlihat serius.
"Hus! Kalau kamu asal mengucap, kamu harus siap sama bayarannya Sap!" ucap Simbah dengan wajah sangat serius.
"M maksud ki Turah?" Pak Sapto bertanya ketakutan.
"Ya kamu harus bayar Sap! Memang apa lagi?!" Si Mbah mengelus jenggot sembari menatap tajam, menusuk mata Pak Sapto.
"S-sa-saya harus bayar apa Ki?" tanya Pak Sapto terbata.
"Yo bakso dong! Aku sama Darto belum sarapan dari pagi hahahaha!" jawab Si Mbah singkat, dengan ekspresi yang berubah begitu saja, hingga berhasil membuatku ikut terbahak dibuatnya.
"Memang! Ki Turah memang benar-benar orang pintar! Lebih pintar dari orang pintar pokoknya! Terutama dalam hal bikin emosi!" jawab Pak Sapto sembari menyodorkan rantang berisi bakso.
"Yo gimana aku nggak ngiler Sap, bau baksomu itu sudah kucium bahkan sebelum kamu masuk rumah, hehehehe," mendengar jawaban itu Pak Sapto hanya bisa terus menggerutu.
"Dar! Ambil mangkok sama menir sisa semalam cepat! Kita sarapan enak ini!'' ucap Simbah sesekali meneguk saliva setelah melihat isi rantang yang Pak Sapto sodorkan.
Perintah simbah Aku jalankan secepat kedipan mata. Tak butuh waktu lama juga, bakso dan menir tadi sudah berhasil kami pindah ke dalam perut. Seketika perut kami tampak buncit, karena telah berhasil menampung keberingasan kami.
"Gimana Ki? Apa bener itu Lastri? Aku semalam mau jualan. Baru saja manasin kuah udah dengar suara bug! Bug! Kaya orang loncat. Pas suara loncatan ilang, tiba-tiba ada suara orang minta tolong dari arah suara loncatan. Suaranya mirip suara sapi pas disembelih Ki! Hiiii serem aku jadinya Ki!" ucap Sapto panjang lebar.?
"Yang jelas itu bukan manusia Sap, kalau siapa-siapanya aku nggak bisa bilang kalau itu Lastri," jawab Simbah dibarengi anggukan kepalaku.
"Hi! Aku jadi takut Ki. Gimana ya Ki kalau Lastri terus ngikut, masak aku nggak jualan lagi? Apa begini saja Ki, kasih aku benda apa kek, buat penangkal demit," ucap Sapto kembali, sembari mengangkat angkat alis miliknya.
"Kamu itu gimana si Sap? Dulu aku ajari kamu ngaji, bahkan berkali-kali kamu khatam Al-Qur'an, tapi masih minta gituan?" ucap Si Mbah sembari menggeleng kepala.
"Aduh iya juga ya Ki. Maaf Ki aku kalap. Yasudah Ki, Aku minta Bantu doa saja biar selalu dikasih keselamatan, bisa kan Ki?" Sambung Sapto.
Mendengar ucapan itu, aku dan Simbah mengangguk bersama tanpa aba-aba. kemudian kita bertiga berdoa bersama, dan membiarkan Sapto pergi setelah rantang kotor miliknya sudah selesai aku cuci.
Hampir separuh warga kampung menyempatkan diri untuk bertemu Si Mbah di rumah hari ini, sisanya sengaja bertemu ketika simbah melakukan shalat jamaah di langgar. Mereka semua? bertanya tentang hal yang sama, yaitu tentang suara minta tolong itu.
"Dar, kamu beneran nggak dengar suara itu?" Tanya Satya ketika kita bertiga duduk di depan langgar, sembari menghisap rokok lintingan milik masing-masing.
"Iya aku juga dengar! Suaranya benar-benar serem Dar, kaya sapi pas di sembelih, ngorok gitu" timpal Anto.
"Aku nggak dengar sama sekali. Soalnya semalam setelah pemakaman Bu Lastri, aku langsung ketiduran sehabis mandi hehehe," jawabku dilanjut terkekeh pelan.
"Aku bahkan dengar suara itu hampir sampai subuh Dar, kaya nunggu terus" ucap Satya dengan wajah yang berangsur memucat.
"Sabar Sat, mungkin dia cuma demen sama kamu hahahaha" jawab Anto dilanjut terbahak.
"Dar! ayo pulang!'' Ajak Si Mbah sembari mengunci pintu langgar.
"Njih Mbah!" jawabku singkat kemudian berpamitan kepada dua temanku itu.
Malam ini jalan yang aku lewati bersama simbah terasa begitu sepi, berjalan di gang kecil dan jalan utama kampung serasa berjalan di tengah kuburan. Kita sama sekali tidak berpapasan dengan orang lain, bahkan kucing pun serasa enggan untuk keluar dari persembunyian mereka. Yah, wajar saja sih, warga pasti ketakutan akan sosok yang terus meminta tolong di samping rumah mereka.
"Mbah!" panggilku singkat dengan tubuh terkunci.
"Iya Dar, mahluk itu Dar.. yang bikin kampung kita heboh hari ini," jawab Si Mbah sembari menunjuk sebuah sosok dengan jari telunjuknya
Saat ini, didepan mataku tidak ada lagi mahluk hitam yang selalu berdiri di bawah pohon pisang. Berganti dengan sosok pocong berdarah, Kain kafan di tubuhnya berwarna merah kehitaman. Kepalanya menggantung seakan bisa lepas kapan saja dari badannya. Sosok itu tengah berdiri bergelayut di tempat itu, dia menatap tepat ke arahku berdiri.
"Tolong! Tolong aku! Di mana leherku! Hi hi hi hi," ucap pocong dengan nada menyeramkan, suaranya begitu menggema, seakan menembus gendang telinga.
Seluruh badanku seketika bergidik, melengkapi bulu kuduk yang kini mulai berdiri serentak. Kepalaku terasa besar sekali, seperti mengenakan helm namun ketika aku pegang tak ada yang aneh terasa dari telapak tanganku.
"Ha ha ha! Kau pikir kita takut sama ku Lastri!" teriak Si Mbah kencang sekali.
"Kamu tidak takut kan Dar...? Dar...? Darto?"
Si Mbah bertanya padaku, mengira aku masih di belakangnya, padahal aku sudah lari pontang-panting meninggalkan simbah di sana.
Bajuku penuh lumpur, karena terjerembab ke dalam sawah ketika berlari. Sesampainya di rumah aku mandi ditemani simbah di belakang rumah.
"Dar...! Dar..! Sama gitu aja lari ngibrit. Sampai mandi lumpur lagi, hahahaha!"
"Si Mbah kan tau sendiri.! Aku paling takut sama darah dari dulu! Ditambah suaranya kaya sapi pas disembelih lagi! Ngorok-ngorok gitu, hii!" jawabku sembari memasang wajah pura-pura emosi, padahal aslinya ya emang emosi.
"Hahahahaha! Gimana enggak ngorok, Dar? Tenggorokan dia kan tinggal separo?!" Si Mbah masih saja bercanda.
"Aku tidur dulu ya Mbah!" ucapku dengan nada sungut.
"Enggak ngelinting dulu, Dar? Biasanya kamu habis dua batang baru tidur" tanya Si Mbah masih dengan wajah mengejek.
"Mboten Mbah, pengen cepat-cepat pagi, lampu sentirnya dipakai Si Mbah aja. Aku pingin tidur gelap-gelapan,"
"Halah, ngomong aja takut kalo lihat warna darah hahahahaha!"
Aku tidak menjawab candaan Si Mbah. Saat itu aku langsung bergegas berjalan menuju kamar, karena gelap tanganku terus meraba dinding di sekitar untuk mencari pintu. Setelah sampai, aku langsung merebahkan diri di atas dipan kesayanganku.
Malam ini begitu sepi, hening benar-benar mendominasi. Bahkan jangkrik dan teman-temannya seakan enggan berbunyi.
"Dar?! Darto?!" suara pocong Lastri, berbisik tepat di samping telingaku. Saking dekatnya, bisa kurasa hembusan angin dari mulut baunya itu, membelai mesra daun telingaku.
"Bisa temani aku mencari leherku?"
Bersambung,-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Meili Rahma
behhhh astaga
2023-12-29
0
Meili Rahma
wkwkwkwk
2023-12-29
0
By
mesra dong! bangke
2023-02-27
1