HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat

Rere mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah termos modern kecil berwarna hitam. Buru - buru dia membuka tutupnya, lalu menuangkan isi dari termos itu.

"Minum dulu mbak, teh angetnya"

Rere menawarkan apa yang dia tuangkan dari dalam termos. Memang, itu teh anget. Masih ngebul seperti baru turun dari kompor. Aku menerima teh anget itu.

"Sruuuutt"

Aku menyeruput teh anget itu sedikit. Tapi suhu panasnya cukup sukses membuat mataku segar. Aku belum bisa berkata - kata. Aku masih syok dengan apa yang baru saja aku alami. Rere tidak protes. Dengan sabar dia membiarkanku mengumpulkan kesadaran dulu.

"Rere siapin sarapan dulu ya, mbak. rere bawain bubur ayam nih" kata rere.

Senyum manisnya cukup sukses untuk menular padaku. Aku ikut tersenyum sambil mengangguk tanda setuju. Sebenarnya semur kemarin masih ada. Tapi aku tak mau mengecewakannya.

"Srrruuuuuptt"

Untuk kesekian kalinya aku menyeruput teh hangat ini. Tubuhku semakin terasa hangat. Tapi pikiranku masih kalut. Masih tak habis pikir. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku.

"Ini mbak, buburnya. Semurnya buat siang aja ya. Udah adek angetin"

Tahu - tahu rere sudah di depanku. Lagi - lagi, senyum itu sukses mengitimidasiku. Membuatku dengan iklas ikut tersenyum juga.

"Makasih loh, udah repot - repot bawain bubur ayam. Sepagi ini, emang udah ada yang mangkal?" Sahutku.

"Dari abis subuh kali. Mbak lilis nggak subuhan, ya" jawab rere dilanjut ledekan.

"Gimana mau subuhan, dek. Orang mbak aja belum ngerasa tidur"

"Belum ngerasa tidur gimana? Orang sampe ngimpi begitu"

"Itu dia yang mbak nggak ngerti"

Aku memotong kalimatku. Kucicipi bubur ayam bawaan rere. Dengan alisku aku mengisyaratkan kalau bubur ini enak. Lebih enak malah, daripada yang sering aku beli di dekat rumah.

"Banyak hal memang, yang belum bisa kita nalar" celetuk rere.

Aku tertarik dengan komentar itu. Aku tertarik untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan umumnya.

"Contohnya?"tanyaku.

"Malaikat"

"Kenapa?"

"Rosululloh, waktu berselisih dengan istri - istrinya, mengenai madu. Dan akan mengeluarkan sabda pengharaman madu. Jibril seketika datang mengingatkan dengan ayat" jawab rere.

"Terus?"

"Yang jadi pertanyaan, jarak langit ke tujuh dengan bumi kan jauh banget. Bisa seketika dari sana, sekejap mata, langsung nyampe. Udah gitu koordinatnya tepat, lagi. Ngeremnya juga bisa seketika, juga. Nggak nyusruk, nggak kepleset, nggak nabrak" lanjutnya.

"Hmpft.... Hahahahaha"

Mendengar kata 'nyusruk', aku tak bisa menahan tawaku. Memang jenius ini adek semata wayangku. Bisa - bisanya berpikiran begitu. Namanya juga malaikat, buatan Gusti Alloh, ya beda pastinya.

"Ya masa malaikat nyusruk, salah koordinat, kepleset, nabrak? Apa kata dunia?" Sahutku.

"Hahahaha" kita tertawa bersama.

Satu hal ini sangat aku syukuri. Di antara sekian banyaknya cobaan di masa karantina, ada rere yang bisa menceriakan hariku. Membuatku tertawa, sejenak melupakan ketakutan. Aku tak meneruskan kelakar tadi, bubur ini terlalu nikmat untuk ditunda. Rere juga tampaknya begitu. Sampai tandas bubur itu, dia juga tidak berbicara lagi.

"Sini mbak, biar rere yang buangin" tawar rere.

"Makasih" jawabku.

Rere pergi ke belakang, sedangkan aku lanjut menikmati teh hangat dalam termos hitam ini. Hidup itu, memang tergantung bagaimana memaknainya. Sederhana, tapi disyukuri, rasanya juga nikmat. Bubur ayam, teh hangat. Murah meriah, tapi nikmatnya luar biasa.

"Gimana, mbak, udah segeran, badannya?"

Tanya rere sekembalinya dari belakang.

Aku belum menjawab, tanggung. Orang cangkir tehnya susah mau sampau ke bibir, pakai ditanya. Ya aku tunda dulu. Habiskan tehnya dulu, baru setelah itu, menjawab pertanyaan.

"Atau kita jalan ke pinggir kali situ. Lumayan, nyegerin mata" lanjutnya.

"Emang nggak banjir?" Tanyaku.

"Enggak, naik dikit doang. Kita nongkrong diatas aja, nggak usah turun" jawab rere.

"Boleh juga" jawabku.

Kuikuti langkah rere keluar rumah. Meski hanya berdua, aku tetap sadar diri, dan menjaga jarak. Tak lupa masker juga aku pakai. Aku ingin memastikan dia tetap steril. Tidak tertular virus dariku.

"Huuuuffffftttt........ Fiuuuuuhhhh"

Rere menghela nafas panjang. Seolah ingin memenuhi paru - parunya dengan udara pagi yang masih segar. Aku menirukannya. Segar juga menghirup udara di antara banyak pepohonan. Bersih, bebas polusi.

"Oh ya mbak, tadi mbak lilis mimpi apa sih? Serem banget kayaknya" tanya rere.

Aku terkesiap. Jujur aku bingung harus menjawab bagaimana, harus mulai dari mana.

"Embak bingung, dek. Apa itu bisa dibilang mimpi? Perjalanan waktunya itu, nggak wajar" jawabku.

"Nggak wajar? Maksudnya?"

"Seinget mbak, mbak emang niat tidur di sofa. Persiapan lilin, power bank, lampu emergency. Jaga - jaga kalo mati listrik. Kan ujannya sampe malem juga masih deres banget" lanjutku.

"Terus, mbak ketiduran?"

"Itu dia yang mbak bingung. Seinget mbak, mbak itu belum tidur. Mbak nonton berita. Terakhir itu mbahas desa kita. Udah persiapan perahu karet, beco, doser, sama alat alat evakuasi lain. Abis itu mati listrik"

"Mati listrik? Perasaan enggak deh" sahut rere.

"Iya, masa rumah ibu enggak? Beda jalur kali. Yang pasti sini mati listrik"

"Oke" kata rere mengalah.

Mungkin dia mau membantah, tapi tampaknya tidak penting juga untuk dibantah.

"Nah, pas mbak nyalain lampu flash hape, di meja depan itu ada pocongnya"

"Pocong?"

"Iya. Embak sampe jatoh, tahu. Lompat ke belakang sofa"

"Lah, oke. Terus?"

"Embak lari ke kamar, lah. Kerubutan selimut"

"Oke, "

"Mbak pikir udah nggak ganggu lagi, ternyata salah. Embak bangun, dari depan ternyata nongol, dek. Dari kiri juga nongol. Ternyata mbak ngumpet tuh, samping embak itu, pocong, dek"

"Hah?"

"Terus dari atas, nongol juga, digantung. Yang terakhir jatoh dari atas, pas di pangkuan mbak"

"Di pangkuan?"

"Iya. Udah gitu, semuanya kaya mau makan kepala embak, tahu. Makanya mbak teriak - teriak. Di muka mbak tuh, udah berasa gigi - gigi mereka mau makan mbak."

"Terus, denger suara rere?"

"Iya. Untung adek bangunin. Kalo enggak, nggak tahu deh, gimana jadinya, embak"

Rere tidak menjawab, dia nampak seperti berpikir. Entah apa yang dia pikirkan. Aku memilih diam, mengatur nafas. Bercerita mengenai kejadian tadi cukup memakan tenaga.

"Rere belum bisa mastiin, mbak. Apa itu mimpi, atau apa"

"Dek, bilangin ibu dong, embak takut nih, tinggal di sini. Sewa rumah juga boleh, semacam guest house gitu. Embak ada tabungan kok" pintaku.

"Itu nggak usah diminta, mbak. Ibu sama bapak nggak pernah berhenti ngupayain. Segala macam jalan ditempuh. Semua opsi dicoba. Termasuk sewa rumah. Tapi, belum berhasil" jawab rere.

"Yaah"

"Maaf ya mbak, birokrasi di sini emang seperti yang diceritain ibu kemarin. Tapi nggak usah khawatir, malam ini, rere akan tidur di sini" hibur rere.

"Kalo ujan?"

"Tenang, rere udah punya jas hujan super. Ujan kaya apa juga, insyaAlloh, rere tetep akan datang"

"Makasih. Kalo ada temennya, mbak jadi tenang. Mereka beraninya kalo mbak sendirian. Kalo ada rere, mereka nggak berani. Apalagi ada ibu. Aman terkendali sampe pagi"

"Hahaha... Dibilang, ibu kalo udah keluar judesnya, singa wonokromo mlipir" kelakar rere.

"Hahahaha" kita tertawa bersama.

Untuk berapa lama kemudian, aku dan rere terdiam, menikmati suasa. Semilir angin pagi, dan gemericik air sungai terasa mendamaikan hatiku. Serasa memberikan energi baru, untuk bersiap menghadapi tantangan baru.

"Ya udah, kita balik yuk. Mbak mau mandi" ajakku.

"Oke"

Kita berjalan kembali ke dalam rumah. Aku langsung menuju kamar, sedangkan rere menonton gosip kesukaannya. Kubawa pakaian beraih terakhirku. Sekalian membawa detergen untuk mencuci. Yang unik dari rumah ini, tidak ada kamar pembantu, dan ruang khusus mencuci baju.

Jadi, seolah pemilik rumah ini, tidak merencanakan adanya pembantu. Seorang istri sudah cukup. Atau ada pembantu lepasan, yang sore hari pulang. Dan mencuci bajunya dilakukan di suatu tempat yang aku belum tahu. Tapi yang jelas, di kamar ini, di kamar mandinya, terdapat sebuah mesin cuci.

Sambil menyelam, minum air. Sambil aku mandi, ada baiknya aku masukkan dulu pakaian kotorku ke salam mesin cuci. Toh, Mesin ini operasinya serba otomatis. Bahkan bisa mengeringkan segala, hanya dengan satu tungku.

"SERRRRR"

"Hmm?"

Walau tidak seberapa, tapi aku terkejut mendengar suara air mengalir kencang di bathtab. Perlahan aku mendekatinya. Aku tak ingat pernah memakai bathtab itu. Jadi tidak mungkin aku kelupaan menutup. Dan aliran air pun, seharusnya seri. Lalu, siapa yang membuka kerannya?

"Sreeettt"

"HWAAAAAAAAA"

Aku berteriak cukup kencang. Aku sampai terjatuh ke lantai saking takutnya. Bagaimana bisa muncul sepagi ini?

"Kenapa mbak?"

Syukurlah rere datang. Aku tak bisa menawab. Aku masih ketakutan, meringkuk di pojokan mesin cuci.

"Mbak lilis, mbak lilis. Kenapa mbak?"

Rere mengguncang - guncangkan pundakku. Pada titik ini, sudah cukup keras aku berusaha mengumpulkan keberanianku.

"Mbak lilis, tenang mbak, ada rere. Tenang ya" bujuk rere.

Perlahan aku mulai merubah posisi. Memaksa hatiku untuk berani melihat lagi. Kulihat rere berjongkok di sebelahku dengan wajah cemas.

"Pocong" jawabku.

Mata rere mengikuti kemana telunjukku mengarah. Dia lalu berdiri, dan mendekati bathtab itu seorang diri. Agaknya dia cukup berani untuk menghadapi hal - hal gaib.

"Sreeett"

"Aww"

Aku menyembunyikan wajahku lagi saat rere menyibakkan tirai plastik itu. Aku masih tak berani jika harus melihat makluk itu lagi.

"Nggak ada, mbak" kata rere.

Aku tersentak, seketika aku melihat ke arah rere. Tangannya mengisyaratkan sebuah pertanyaan, dimana?

"Hhhffffff..... Hhhhffffff"

Nafasku masih memburu, tapi rasa penasaranku kali ini mengalahkan ketakutanku. Aku beranjak dari posisiku sekarang. Berjalan perlahan ke arah bathtab.

"Loh, kok?"

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di bathtab tidak ada apa - apa. Bahkan baknya pun kering kerontang. Tak ada tanda kalau pernah ada air mengalir dalam waktu dekat. Apalagi baru saja.

"Tapi, tapi... Tadi... " Kataku tergagap.

"Iya, mbak. Rere percaya kok. Namanya juga makluk halus. Gampang aja nongol, terus ngilang gitu aja" jawab rere menghiburku.

Aku masih syok, sekalipun rere percaya, tapi rasanya masih ada yang mengganjal. Masih ada ketakutan yang belum bisa aku redam.

"Dek, temenin mbak ya. Mbak masih takut" pintaku.

"Boleh. Ya udah, mbak lilis ke bilik shower gih. Rere temenin di sini" jawab rere.

Dengan adanya rere, barulah aku merasa aman. Beruntunglah aku memiliki adik sebaik dia. Semoga aku bisa membalas setiap kebaikannya padaku. Aku ambil mode cepat. Tidak sambil aku nikmati segarnya guyuran air di tubuhku. Aku tak enak jika harus membiarkan rere menunggu lama.

"Cepet amat, mbak? Tenang, ada rere kan" tegur rere.

"Ini juga udah bersih dek, mbak nggak enak kalo adek nunggu lama" jawabku.

Aku mengambil pakaian bersihku, dan kembali ke bilik shower untuk aku pakai.

"Hayu, makasih ya udah ditemenin" kataku setelah selesai berpakaian.

"Sama - sama, mbak. Rere seneng kok, bantuin mbak lilis" jawab rere.

Aku tersenyum mendengar jawaban itu. Sebelum keluar, aku memeriksa cucianku. Ternyata sudah selesai dicuci. Bahkan sudah dikeringkan segala. Mantap juga mesin ini. Jam di dinding ruang tamu menunjukkan pukul tujuh dua puluh. Aku melihat ke rere, dia tersenyum. Seolah mau pamitan, tapi masih kepikiran dengan kejadian tadi. Dia nampak tidak tega meninggalkanku sendiri dalam ketakutan.

"Adek pulang aja, sekolah dulu. Jangan bolos" kataku membuka suara.

"Tapi mbak lilis gimana?oh, apa pc nya rere pindah ke sini ya?"

"Kalo ada sinyal internet, nggak perlu gotong pc dek. Pake hape mbak juga bisa, kan" jawabku.

"Oh, iya. Terus, gimana dong?"

"Udah, adek belajar aja di rumah. InsyaAlloh, mbak baik - baik aja" jawabku.

"Beneran, nggak papa rere tinggal?"

"Nggak papa. Kalo rere bolos, malah nambah entar masalahnya. Hihihi"

"Hehehe... Iya juga sih. Ya udah, rere pulang dulu ya, mbak" pamitnya.

"Iya. Makasih ya, buburnya enak, tahu"

"Mau lagi, rere beliin, besok"

"Gampang, gimana besok aja. Ati - ati ya"

"Oke. Assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Sepeninggal rere, aku masih belum nyaman untuk beraktifitas di dalam rumah. Sejenak aku ingin berada di luar rumah dulu. Mengumpulkan lebih banyak keberanian untuk kembali ke dalam rumah. Sekalian, olah raga ringan. Supaya badan tidak kaku selama karantina.

Satu jam sudah aku menata hati di halaman depan. Rasanya aku sudah siap untuk beraktifitas di dalam rumah lagi. Kemarin aku belum selesai membersihkan ruang baca. Belum aku sapu dan pel. Kalau sapu, pengki dan kemoceng, kemarin masih tertinggal di ruang baca. Setelah membaca doa, aku langsung menuju dapur, mengambil peralatan pel. Aku naik tangga sambil tersenyum. Mengapa, karena aku yakin, di atas bakal ada yang usil lagi. Tapi dengan percaya diri aku katakan, seribu kali kau buat aku takut, seribu kali pula aku akan bangkit dan kembali.

"Hmm, tinggal rak ini aja yang belum dilap" gumamku.

Langsung aku ambil kemoceng yang tergeletak di lantai. Sebelum mulai, aku palangkan dulu gagang sapu melintang si lintasan daun pintu. Menjaganya agar tidak tertutup.

"Allohumma sholli 'ala sayyidina Mukhammad. Waashghilidholimin bi dholimin"

Kali ini aku melantunkan lagu yang aku hafal, sekalipun hanya satu - dua kalimat. Pecinta sholawat pasti tahu apa yang aku lantunkan.

Ya, sholawat ashghil. Sholawat khasnya orang NU. Sholawat favoritnya ayah. Sekalipun kata ibu, dulunya ayah itu kepala geng, tapi sekarang, ayah yang aku kenal adalah orang yang taat beribadah. Ayah tak pernah marah sekalipun aku mendapat nilai jelek di sekolah. Tapi ayah akan murka kalau aku sengaja meninggalkan sholat tanpa alasan yang dibenarkan.

"Waakhrijna mimbainihim salimin, wa'ala alihi washokhbihi ajma'in"

Selesai dengan kemoceng, tandanya harus sudah mulai dengan sapu. Aku ambil sapu yang melintang itu, setelah sebelumnya aku gantikan posisinya dengan gagang pengki. Mulailah aku menyapu lantai ruang baca ini dari ujung belakang. Mantap juga debunya, seperti habis terkena hujan abu gunung berapi, tebal.

"DAAAAKKK"

"HWAA"

Aku memekik setengah berteriak karena kaget. Suara benda jatuh itu menggema cukup keras, serasa di samping telinga. Mengingat kemarin ada kejutan tak terduga, aku jadi waspada. Pelan - pelan aku berjalan ke depan. Mengendap - endap di antara rak buku.

"Loh, kok bisa jatuh?" Gumamku.

Setahuku, rak - rak ini, pintu kacanya semua terkunci. Dan tidak ada anak kunci yang menggantung. Tapi buku dari deretan buku leasing ini bisa jatuh dengan sendirinya.

"Terkunci lho" gumamku.

Dalam hati aku mengakui, kalau ini pasti perbuatan makluk tak terlihat itu. Kuat sekali tenaganya sampai bisa mengeluarkan buku dari rak yang terkunci. Di dunia jin, ada ilmu maling juga kali, ya? Ada ilmu bobol kunci mungkin.

"Polanya sama, tapi tulisannya beda - beda" gumamku.

Sekilas aku mencoba membaca apa yang tertulis di buku itu. Berbeda dengan berkas yang ada di ruang kerja, data di buku ini tertulis dengan gamblang. Mulai dari foto, data diri, daftar material yang dibeli dan harga, kontrak, dan lain sebagainya. Ada satu bab, dimana isinya sama, yaitu perjanjian leasing, tulisannya berbeda satu dengan lainnya. Semacam disclaimer. Penguat tanda tangan.

Biasanya hal ini dilakukan untuk menghindari pemohon dana untuk mangkir atau mengingkari isi dari perjanjian. Lama - lama aku jadi tertarik membacanya. Tanpa mempedulikan lantai yang belum beres, aku pergi ke halaman depan. Aku bawa serta buku catatan dan alat tulisku.

Satu per satu aku baca data data dari para pemohon dana pembiayaan. Masing - masing pemohon mendapatkan pembiayaan lebih dari lima puluh juta. Dengan jangka waktu pembayaran sampai sepuluh tahun. Buku ini mencatat tahun permohonan berkisar di era tujuh puluhan dan delapan puluhan. Secara rentang waktu, seharusnya sudah lunas semua. Dan memang begitu, kebanyakan sudah lunas. Meski ada beberapa yang akhirnya diajukan untuk dibayarkan oleh asuransi. Tapi tidak ada keterangan, mengapa.

Ada yang unik di sini. Buku ini tidak hanya mencatat data diri pemohon, tapi juga istri atau suami pemohon, anak - anak pemohon, dan informasi detil yang tidak biasa ada dalam berkas perjanjian leasing. Bahkan berkas perjanjian kredit di bank tidak sampai sedetil ini. Dan yang unik, ada dua belas pemohon, yang notabene adalah wanita. Statusnya adalah istri. Tidak ada keterangan mengapa yang tertulis sebagai pemohon adalah seorang istri. Padahal suaminya ada. Dan yang diajukan untuk dibayarkan asuransi di atas, adalah kedua belas pemohon wanita ini. Dan dari kedua belas data ini, sama sekali tidak ada foto pemohon, suami, ataupun anak - anak mereka. Dari bekasnya, semua foto yang pernah ditempel, dicabut.

Aku mencoba menyalin kedua belas data itu. Aku sarikan menjadi data yang sekiranya penting untuk ditanyakan. Aku memang tidak tahu apa hubungannya makluk halus dengan dunia leasing. Tapi keunikan data - data ini, menggelitik rasa penasaranku.

"Assalamualaikum"

Sebuah suara menarik konsentrasiku dari buku ini. Sesosok wanita memasuki halaman depan dengan mengendarai sepeda gunung.

"Waalaikum salam" jawabku.

"Loh jam berapa ini?" Lanjutku. Aku mencari ponselku.

"Udah hampir jam dua belas, mbak" jawabnya.

"MasyaAlloh, iya bener. Lama juga aku baca buku ini" komentarku kaget.

"Buku apa, mbak. Asyik bener kayaknya?"

"Ini dek, buku catatan permohonan pembiayaan, atau leasing, bahasa kerennya"

"Rere pinjem dong" pintanya.

"Nih, pelajaran adek, nih. Perbankan" jawabku.

"Hmm, sabar bener mbak lilis, bisa katam"

"Lah, kok gitu doang?" tanyaku, saat melihatnya langsung menutup buku itu. hanya beberapa lembar yang dia baca.

"Ya entar aja. Mbak lilis aja butuh jam - jaman, bacanya. Udah hampir masuk waktu sholat" jawabnya.

"Iya juga sih"

"Terus itu, kenapa disalin, mbak?" Tanya rere penasaran.

"Ini data yang mau mbak tanyain. Soalnya, ada dua belas nama pemohon, yang semuanya wanita, seorang istri, pembayarannya diambil alih atau diajukan ke asuransi. Tapi nggak ada keterangan, kenapa bisa diajukan ke asuransi. Kalo di perbankan kan,hal kaya gini, bisa terjadi kalo pemohonnya, meninggal dunia" jawabku.

"Hmm, rere pinjem dong"

Lagi - lagi dia antusias, tapi entah untuk berapa detik. Sepertinya kali ini dia serius membaca data - data itu. Tapi dari helaan nafasnya, aku tahu, kalau dia tidak kenal dengan nama - nama yang aku tulis itu.

"Kayaknya beda desa, mbak. Kan jangkauan juragan prapto sekabupaten. Mungkin era mbah dipo suryo sudah mencakup satu kecamatan" kata rere kemudian.

"Bisa jadi sih" jawabku.

"Tapi aku pernah mendengar dari mbah kakung, kalo di kampung ini, hampir semua rumah yang berdiri, materialnya berasal dari tokonya mbah dipo suryo. Dan hampir semuanya ngutang. Yang enggak ngutang hanya beberapa saja. Bisa diciriin" kata rere.

"Cirinya?"

"Nggak langsung jadi"

"Nggak langsung jadi?" Tanyaku belum paham.

"Ya, kaya rumah ibu. Pondasinya kan yang bikin simbah. Bangunan awal kan yang belakang. Mbak masih inget harusnya"

"Iya iya, dulu emang cuman sebatas rumahnya pak dirman. Ke depan sih, masih pondasi doang"

"Nah itu. Yang sekarang dapur juga, dulu kamarnya simbah, waktu ibu kecil. Terus nambah lagi depan, nambah lagi depan, jadi kaya yang mbak lilis inget"

"Nyesuaiin dana"

"Yes, right. Simbah emang anti kalo butuh sesuatu terus ngutang. Milih sabar dan tirakat dulu"

"Oh, iya sih. Ayah juga gitu" responku.

"Berarti, kalo dibaca satu - satu, bisa jadi ketemu tuh, berkas orang - orang sini" lanjutku.

"Bisa jadi"

"Wah, ya butuh waktu berhari - hari dong"

"Lagian buat apa, mbak, sensus?"

"Hehe"

"Enggak, cukup tahu aja" lanjutku.

"Maksudnya?"

"Ya, cukup tahu aja, sejarah rumah - rumah di desa ini. Hampir semua ngutang di mbah dipo suryo. Dilanjut anaknya, juragan prapto. Jadi, nggak heran kalo warga desa, termasuk pak kadesnya sekalipun, takut dan tunduk sama juragan prapto"

"Oh" komentar rere pendek.

"Iya, termasuk mbak, dikarantina di sini kan, usulnya keluarga sana" lanjutnya.

"Lah, langsung di acc gitu sama pemdes?" tanyaku.

"Namanya juga, sabdo pandhito ratu. Apa yang dia ucapkan, itu yang harus terjadi. Kalo enggak, bala' bagi dia"

"Oh"

"Usah adzan, sholat yuk, terus makan, laper. Rere minta semurnya ya, mbak" ajak rere.

"Hahahaha"

Aku hanya bisa tertawa mendengar perkataan dia. Ceriwis dan enerjik. Ini yang tanpa sadar menguatkanku. Tanpa dia sadari, senyum dan keceriwisannya, menyebarkan energi segar yang sangat hatiku butuhkan. Kuikuti langkah kakinya, masuk ke dalam rumah.

*****

Episodes
1 HARI 1
2 HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3 HARI 2 Sholat bersama ibu
4 Adek yang kurindukan
5 Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6 Kejahilan Dari yang tak terlihat
7 sekelumit sejarah
8 suami baru ibu
9 sejarah, berlanjut
10 Hari 3 (kabar mengejutkan)
11 Mana bayiku?
12 empat pocong
13 HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14 Aku Cemburu
15 nyata tapi tidak nyata
16 Ilusi atau teknologi?
17 intimidasi dari kamar mandi
18 prapto, ternyata
19 first sight of enemy
20 terkunci di gudang
21 mulai terlihat
22 jasad yang dibangkitkan
23 hampir tidak selamat
24 HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25 mata tak terlihat
26 di luar batas logika
27 firasat
28 kunci rahasia
29 kabar duka
30 kepergian mbak ida
31 malam satu suro?
32 no place to sad
33 satu melawan tak terhitung
34 lilis kesakitan
35 intrik prapto
36 jalan tembus, tapi buntu
37 kemarahan lembu bergola
38 HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39 lilis sadar
40 keajaiban
41 tetap ikuti prosedur
42 rahasia lantai gudang
43 puting beliung
44 hampir mati di tangan lembu bergola
45 alam para malaikat bergetar
46 hari 11 - boikot
47 boikot 2
48 selalu ada yang pertama
49 dukungan untuk lilis
50 dalam suasana boikot
51 tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52 mbok karsinah?
53 ritual akan segera dimulai
54 Hari 13
55 pembantaian
56 (lilis) tumbal terakhir
57 eksekusi
58 Akhirnya
59 happy ending
Episodes

Updated 59 Episodes

1
HARI 1
2
HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3
HARI 2 Sholat bersama ibu
4
Adek yang kurindukan
5
Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6
Kejahilan Dari yang tak terlihat
7
sekelumit sejarah
8
suami baru ibu
9
sejarah, berlanjut
10
Hari 3 (kabar mengejutkan)
11
Mana bayiku?
12
empat pocong
13
HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14
Aku Cemburu
15
nyata tapi tidak nyata
16
Ilusi atau teknologi?
17
intimidasi dari kamar mandi
18
prapto, ternyata
19
first sight of enemy
20
terkunci di gudang
21
mulai terlihat
22
jasad yang dibangkitkan
23
hampir tidak selamat
24
HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25
mata tak terlihat
26
di luar batas logika
27
firasat
28
kunci rahasia
29
kabar duka
30
kepergian mbak ida
31
malam satu suro?
32
no place to sad
33
satu melawan tak terhitung
34
lilis kesakitan
35
intrik prapto
36
jalan tembus, tapi buntu
37
kemarahan lembu bergola
38
HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39
lilis sadar
40
keajaiban
41
tetap ikuti prosedur
42
rahasia lantai gudang
43
puting beliung
44
hampir mati di tangan lembu bergola
45
alam para malaikat bergetar
46
hari 11 - boikot
47
boikot 2
48
selalu ada yang pertama
49
dukungan untuk lilis
50
dalam suasana boikot
51
tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52
mbok karsinah?
53
ritual akan segera dimulai
54
Hari 13
55
pembantaian
56
(lilis) tumbal terakhir
57
eksekusi
58
Akhirnya
59
happy ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!