suami baru ibu

POV. RERE

"Uuuhhh... Pegel juga, badan"

"Pretek, pretek"

Pelajaran kimia memang bukan favorit aku. Meski hanya satu jam, rasanya seperti sehari. Penat, dan ingin sekali kabur. Tapi itu tidak mungkin.

"Hmm, tivi kok isinya korona semua. Nggak ada yang lain apa?"

Semua saluran tivi lagi heboh korona varian baru. Bahkan acara gosip juga isinya corona. Segala penyintas dibahas. Dokter sudah banyak yang bahas kalau bertahan hidupnya. Kabarin asmaranya, atau keuangannya, atau apalah.

"Kalo udah rejeki, abis dikasih sakit, dikasih uang. Ya lumayan, sekali masuk tivi, bisa buat ganti beli fitamin" gumamku.

"BRAAAAANNGGGG"

"Astaghfirulloh"

Aku terkejut mendengar suara benda jatuh. Arahnya dari kamar mbak lilis. Aku segera bangkit dan berlari ke kamarnya.

"Astaghfirulloh, mbak" kataku lirih.

Sebuah pigura besar jatuh tepat di depan kepala mbak lilis. Mana mbak lilis sedang sujud. Beberapa pecahan kaca bertebaran di kepala dan punggungnya. Untung kayu piguranya tudak menimpa tubuhnya.

"Mbak, bentar ya" kataku lirih.

Aku memindahkan pecahan - pecahan kaca di kepala dan punggung mbak lilis ke lantai. Walau aku tahu, itu tidak termasuk yang kecil kecil yang aku tidak bisa melihatnya.

"Udah, mbak" kataku lagi, lirih.

Barulah mbak lilis bangkit dari sujudnya. Kulihat air matanya meleleh. Apapun yang sedang mbak lilis rasakan, tapi buatku, bisa mengeluarkan air mata di saat sujud, adalah nikmat yang tidak ternilai harganya.

"Assalamualaikum warohmatulloh"

Akhirnya mbak lilis sudah sampai di penghujung sholatnya. Lagi - lagi air mata itu meleleh. Aku jadi terharu.

"Astaghfirulloh" komentarnya

"Mbak lilis, mbak nggak terluka kan? Ada yang masuk nggak, serpihannya?" Tanyaku.

Mbak lilis tidak menjawab, mungkin dia masih syok. Tapi sejenak kemudian, dia mulai bergerak. Dia lepas mukenaya dengan hati - hati. Aku melihat ada yang mengkilat di lehernya.

"Tunggu, mbak" pintaku.

Aku tempelkan jemariku di tengkuk mbak lilis. Aku tekan lembut di sana. Terasa ada benda tajam menempel di kulitku. Aku angkat tanganku

"Hmm" gumamku.

Cara ini berhasil, aku bisa mengangkat serpihan halus yang lolos ke dalam. Sekalipun lembut, tetap saja kaca. Bisa melukai kulit tempatnya tertempel.

"Makasih ya, dek" kata mbak lilis. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Mbak lilis mandi gih, biar nggak ada yang tertinggal, kacanya" saranku.

"Kita bersihin dulu yuk" ajaknya.

"Udah, mbak lilis mandi aja. Biar rere yang bersihin kacanya" jawabku.

Mbak lilis tersenyum. Sepertinya dia hendak menyentuhku, tapi belum berani. Dia lantas masuk ke kamar mandi. Sedangkan aku? Aku ya membersihkan kekacauan ini.

Sejenak aku bertanya dalam hati, foto siapa ini? Mungkin ini foto pak umar, pemilik rumah ini. Kan beliau sekeluarga pindah sebelum aku lahir.

Lumayan berat juga kayu bingkainya. Mana tingginya sepantaran dengan tinggiku. Karena masih bagus, aku memutuskan untuk meletakkannya di dekat gudang. Barangkali mau diperbaiki lagi. Kan tinggal mengganti kacanya.

"Udah kelar mbak, mandinya?" Tanyaku, melihatnya sudah di kamar lagi.

"Udah, insyaAlloh udah ilang semua serbuk kacanya" jawabnya.

"Oh, iya. Mudah - mudahan nggak ada yang tertinggal" kataku mengamini.

Kita berdua lantas meneruskan pembersihan kacanya. Lumayan lama juga, karena pecahan kacanya menyebar ke berbagai arah. Setelah yang bongakahan besar selesai di singkirkan, kita masih harus menyapu seluruh ruangan, jaga - jaga agar tidak ada yang terlewat. Sudah begitu lanjut kita pel.

"Alhamdulillah"

Aku mengucap syukur, sambil rebahan di ranjang mbak lilis dengan cueknya.

"Eh eh, jangan tiduran di situ. Belum mbak semprot disinfektan" tegur mbak lilis. Aku yang kaget sontak bangun dan berdiri.

"Ya Alloh mbak, kirain apaan. Kaget, rere" keluhku.

"Ya emang nggak boleh, dek. Maaf ya. Mbak nggak pengen adek ketularan. Cukup mbak aja yang karantina. Kalo mau rebahan, sono di kamar tamu" sarannya.

"Iya, mbak. Jawabku.

Sudah lama aku menantikan perhatian semacam ini. Perhatian dari seorang kakak. Yang tegas, tanpa kompromi. Aku berjalan keluar kamarnya. Kembali menuju sofa dimana acara gosip tadi aku tonton.

"Hoaaaaammm"

Setelah penat sekolah, dan beresin pecahan kaca, sekarang aku merasa mengantuk. Rasnya nyaman sekali rebahan di sofa ini. Semoga aku tidak dijahili mbak lilis.

****

POV. LILIS

"Masih ngantuk aja, dek? Emang semalem begadang, apa?" Tanyaku sehabis magriban.

"Enggak sih, cuman emang malem banget adek, tidurnya. Jam 12 baru bisa tidur" jawab rere.

"Kenapa?"

"Ya kepikiran ibu, lah. Ujan deras campur angin begitu, diterjang"

"Astaghfirulloh. Itu, embak yang salah, dek" kataku menyesal.

"Nggak ada yang salah kali, mbak. Namanya emerjensi ya harus ditolong segera. Tadinya mau rere aja yang jalan. Eh, ibunya ngeyel, nggak mau digantiin. Rere khawatir aja ibu masuk angin"

"Hmmmhhh"

aku hanya bisa menghela nafas. Tak tahu harus berkomentar apa.

"Udah magriban?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Udah. Oh iya, mau makan apa? Rere masakin"

"Nggak usah masak. Ibu mau kesini. Bawa sesuatu katanya"

"Oh, bawa apa?"

"Nggak tahu"

Senyumnya cukup melegakan hatiku. Setidaknya aku bisa memastikan kalau dia tidak menjadikan kejadian kemarin sebagai alasan untuk marah.

"Assalamualaikum"

Terdengar sapaan dari depan rumah. Tampak ibu datang bersama suami barunya. Aku belum sempat bertemu dengan beliau. Kemarin, saat aku datang, beliau sedang mengurusi sayur di pasar.

"Waalaikum salam" jawab kami.

Rere menyambut mereka dengan salim dan cium tangan. Sedangkan aku hanya bisa menyambut mereka dari jarak agak jauh.

"Seharian bersama, harusnya udah bikin kalian akrab dong. Ada cerita apa nih?" Tanya ibu sembari duduk.

"Hmpf" Aku menarik kursi sambil tergelak.

"Apa?" Tanya rere agak keras.

"Hahahahaha"

Aku malah tidak bisa lagi menahan tawaku. Membuat ibu dan suaminya kebingungan.

"Kenapa sih?" Tanya ibu

"Rere" jawabku

"Jangan bilang" perintah rere sambil melepar sendal.

"Hahahaha"

"Oh, rere ngorok lagi ya?" Tebak ibu. Seketika aku terdiam, dan memandang rere. Pas sekali, rere juga memandangku.

"Hmpf... Hahahahaha" aku tertawa sambil mengangguk.

"Wuus.... bletak" sandalnya dia lemparkan lagi padaku.

"Embak belum bilang lho, dek. Hihihihi.... " Kataku sambil masih terus tertawa.

"Seneng ya. Emang bener - bener, cctv jakarta. Bisa ngetawain orang juga" gerutu rere.

"Hahahaha" aku masih tidak bisa menahan tawaku, sampai beberapa lamanya.

"Aduh, maaf deh, dek. Mbak kelewatan ketawanya" kataku meminta maaf. Takut rere tersinggung betulan.

"Adek kok manggil embak, cctv jakarta sih?" Tanya ibu.

Dia tersentak, lalu memandangku. Aku memasang wajah garang, sambil berkacak pinggang.

"Hmpf.... Hahahahaha" gantian dia tertawa ngakak.

Ibu jadi semakin bingung. Apalagi saat aku melemparkan sendal pada rere. Ibu hanya bisa geleng - geleng kepala. Tapi di balik itu, aku bisa melihat, senyum bahagia di wajah beliau. Pada akhirnya beliau ikut tertawa juga.

"Itu, tadi pagi. Mbak lilis kan banyak bengong" jawab rere.

"Masa liat lilis senyum ampekan bengong. Gajebo" lanjutnya.

"Terus, hubungannya dengan cctv?" Tanya ibu penasaran.

"Hahahaha" rere malah tertawa lagi. Kutimpuk lagi dengan sandal.

"Ya kan, tadi kita lagi ngobrolin makam belakang itu. Mbak lilis nanya, siapa yang bikin. Ya adek jawab dong, pemdes sama juragan prapto" jawab rere.

"Terus?" Tanya ibu lagi.

"Nah, mbak lilis tu, nggak tahu, juragan prapto tu yang mana. Ya rere jawab dong, yang punya toko bangunan, utara bale desa"

"Belum nyambung" kata ibu.

"Hahahaha... Ya itu, udah dikasih clue segitu mbak lilis masih bingung. Ya adek kan ikutan bingung jadinya. Masak embak nggak tahu"

"Terus?"

"Nah, hahahaha.... Mbak lilis jawab, emang aku cctv, inget semua. Hahahahaha"

"Ha?"

"Hahahaha.... Ya adek jawab, kalo lagi bengong sih, mirip. Sebelah kamera siang, sebelah kamera malam. Kethop - kethop, gitu" lanjut rere.

"Hmpf... Hahahahaha"

ibu dan ayah barunya rere tertawa ngakak mendengar ending ceritanya. Ibu bahkan sampai keluar air mata mendengar lawakan anak bungsunya. Kutimpuk lagi rere dengan sandalnya sendiri.

"Nah, hihihihi" rere mau melanjutkan malah tertawa lagi.

"Abis adek bilang begitu, eh bengong lagi di depan lemari gede. Kethap - kethop, sambil bengong. Itu kalo di jidat ada layarnya, muter - muter itu, bu. Nggak kebagian sinyal. Hahahahaha" lanjutnya.

"Hahahahaha"

Ibu makin kencang tertawanya. Bahkan ayah barunya rere sampai memukul - mukul sandaran tangan, saking gelinya.

"Aduh, ya Alloh. Kalian ini, udah ceng - cengan segala, malah. Hahahaha" komentar ibu.

"Udah udah, mending makan dulu deh. Keburu dingin ini, gule kambingnya" tegur ayah barunya rere.

"Oh iya, mbak. Kenalin, ini ayah barunya adek. Namanya, pak mukti" kata ibu memperkenalkan suaminya.

"Oh, iya, yah. Salam kenal" jawabku. Aku masih bingung harus memanggil bagaimana.

"Maaf ya, kemarin bapak, nggak sempet nemenin mbak" lanjutnya.

"Iya, nggak papa kok, yah. Udah diterima aja, lilis udah makasih banget. Kalo dibolehin sih, lilis pengen tinggal lebih lama. Sampe akhir liburan semester, kalo boleh" jawabku.

"Ya boleh banget. Anaknya ibu kan, anaknya bapak juga. Mau sampe tahun depan juga boleh"

"Alkhamdulillah" kataku mengucap syukur.

"Emang kuliah masih masuk, mbak?" Tanya rere. Tangannya masih sibuk menyiapkan makanannya. Bagusnya, gule dan sate itu sudah ada wadahnya sendiri - sendiri.

"Enggak sih. Online, kaya adek" jawabku.

"Ya udah, di sini aja" ajak rere.

"Iya, gampang itu sih"

"Nih, mbak. Mau pake piring kaca, apa stereofoam aja?"

"Udah, ini aja. Masih aman kok" jawabku.

Kitapun makan malam dengan menu istimewa. Ini sih menu penambah imun. Tapi kalau setiap hari makan menu ini, tidak hanya imun yang naik, kolesterol juga ikutan unjuk gigi.

Selama makan, kuhitung sudah tiga kali ponsel pak mukti berdering. Tapi masih dibiarkan saja olehnya. Hanya saja, beliau jadi mempercepat makannya. Seperti sudah hilang kenikmatan dalam bersantap. Begitu selesai, langsung beliau ambil ponsel dan pamit untuk menelepon. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Aduh, bu, mbak, adek. Bapak minta maaf nih. Bapak nggak bisa nemenin dulu. Bapak, dicariin pelanggan" kata pak mukti selesai menelpon.

"Siapa emang pak?" Tanya ibu.

"Orang jogja"

"Tumben, kaya urgent gitu?"

"Mau dibawa ke jakarta, katanya. Langganannya, gagal suplay. Gagal panen"

"Oh, ya udah. Ditemenin nggak?"

"Nggak usah. Bapak harus ambil barangnya di ponorogo"

"Oh, oke. Ati - ati di jalan" pesan ibu.

"Iya. Pamit ya dek, mbak"

"Oh iya yah, ati - ati" jawabku.

Rere yang baru saja menyuapkan nasi ke mulut, tidak bisa menjawab. Dia hanya memberikan jempolnya tanda persetujuan. Jadilah pak mukti pamit meninggalkan kami. Padahal aku pengen mengenal lebih jauh tentang beliau. Acara makan malam selesai sudah. Dengan cekatan, rere mengumpulkan bekas makan malam kita.

"Udah, rere aja, mbak" tolaknya.

Aku tak enak membiarkan dia membereskannya seorang diri. Tapi mungkin sudah sifatnya, ksatria, selalu pengen memuliakan orang lain. Ya sudah, aku tidak bisa memaksa. Mungkin membiarkannya bekerja sendiri, akan membuatnya lebih senang.

"SRAAAKK"

stereofoam bekas pak mukti bergeser.

"Jangan usil deh, pedes ini, bekasnya bapak" protes rere.

Dia memang hendak berdiri dari jongkok nya, membawa sebagian sampahnya. Mungkin posisinya yang membelakangi meja dan aku, membuatnya berpikir akulah yang mendorong stereofoam itu. Sedangkan aku, jadi bingung mendengar protes itu. Kan aku sudah duduk lagi, jauh. Bagaimana caranya aku menggeser stereofoam itu? Tanpa menoleh lagi, rere berdiri meninggalkan kami. Kulihat ibu tertegun dan memandang ke arahku.

"Tu, liat kan bu, mbak lilis tu orangnya usil. Awas aja entar malem. Hihihi" kata rere sekembalinya dari belakang. Ibu masih tertegun sekaligus bingung.

"Itu tadi, ibu. Ibu nggak sengaja waktu mau duduk lagi, nyenggol stereofoamnya" jawab ibu berbohong.

"Masa sih bu?" Tanya rere tidak percaya.

"Ya dipikir aja, dek. Kan mbak lilis udah duduk lagi. Gimana coba, gesernya?" Jawab ibu sambil tersenyum.

"CCTV cuman bisa kethap - kethop" tambahku, dengan raut wajah kubuat seolah kesal.

"Hmpfh... Hahahahaha"

Dia tertawa tanpa disaring lagi. Membuat ibu juga ikut tertawa. Sepanjang jalan dia buang sampah, tawanya tidak berhenti. Aku pura - pura kesal dan meringkuk memainkan ponselku.

"Oh ya, bu. Tadi kita nemuin fotonya ibu, waktu masih abg lho" kata rere setelah reda tertawanya.

"Oh ya, mana?" Tanya ibu tertarik.

"Bentar" jawab rere. Dia beranjak ke ruang kerja.

Terpopuler

Comments

Hiatus

Hiatus

cicil like dl kk othor. nnti kubaca ya
semangat^^

2021-11-16

2

lihat semua
Episodes
1 HARI 1
2 HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3 HARI 2 Sholat bersama ibu
4 Adek yang kurindukan
5 Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6 Kejahilan Dari yang tak terlihat
7 sekelumit sejarah
8 suami baru ibu
9 sejarah, berlanjut
10 Hari 3 (kabar mengejutkan)
11 Mana bayiku?
12 empat pocong
13 HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14 Aku Cemburu
15 nyata tapi tidak nyata
16 Ilusi atau teknologi?
17 intimidasi dari kamar mandi
18 prapto, ternyata
19 first sight of enemy
20 terkunci di gudang
21 mulai terlihat
22 jasad yang dibangkitkan
23 hampir tidak selamat
24 HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25 mata tak terlihat
26 di luar batas logika
27 firasat
28 kunci rahasia
29 kabar duka
30 kepergian mbak ida
31 malam satu suro?
32 no place to sad
33 satu melawan tak terhitung
34 lilis kesakitan
35 intrik prapto
36 jalan tembus, tapi buntu
37 kemarahan lembu bergola
38 HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39 lilis sadar
40 keajaiban
41 tetap ikuti prosedur
42 rahasia lantai gudang
43 puting beliung
44 hampir mati di tangan lembu bergola
45 alam para malaikat bergetar
46 hari 11 - boikot
47 boikot 2
48 selalu ada yang pertama
49 dukungan untuk lilis
50 dalam suasana boikot
51 tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52 mbok karsinah?
53 ritual akan segera dimulai
54 Hari 13
55 pembantaian
56 (lilis) tumbal terakhir
57 eksekusi
58 Akhirnya
59 happy ending
Episodes

Updated 59 Episodes

1
HARI 1
2
HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3
HARI 2 Sholat bersama ibu
4
Adek yang kurindukan
5
Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6
Kejahilan Dari yang tak terlihat
7
sekelumit sejarah
8
suami baru ibu
9
sejarah, berlanjut
10
Hari 3 (kabar mengejutkan)
11
Mana bayiku?
12
empat pocong
13
HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14
Aku Cemburu
15
nyata tapi tidak nyata
16
Ilusi atau teknologi?
17
intimidasi dari kamar mandi
18
prapto, ternyata
19
first sight of enemy
20
terkunci di gudang
21
mulai terlihat
22
jasad yang dibangkitkan
23
hampir tidak selamat
24
HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25
mata tak terlihat
26
di luar batas logika
27
firasat
28
kunci rahasia
29
kabar duka
30
kepergian mbak ida
31
malam satu suro?
32
no place to sad
33
satu melawan tak terhitung
34
lilis kesakitan
35
intrik prapto
36
jalan tembus, tapi buntu
37
kemarahan lembu bergola
38
HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39
lilis sadar
40
keajaiban
41
tetap ikuti prosedur
42
rahasia lantai gudang
43
puting beliung
44
hampir mati di tangan lembu bergola
45
alam para malaikat bergetar
46
hari 11 - boikot
47
boikot 2
48
selalu ada yang pertama
49
dukungan untuk lilis
50
dalam suasana boikot
51
tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52
mbok karsinah?
53
ritual akan segera dimulai
54
Hari 13
55
pembantaian
56
(lilis) tumbal terakhir
57
eksekusi
58
Akhirnya
59
happy ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!