Walau masih berat, tampaknya aku memang harus melepaskannya. Mau dibagaimanakan lagi, jejaknya saja tidak terlihat. Dan terjadi secepat kedipan mata. Bagaimana aku meyakinkan ibu kalau yang aku lihat itu nyata, sedangkan proses menghilangnya yang secepat kedipan mata, juga menyisakan tanya bagiku. Bisakah mausia, kabur dengan waktu secepat itu, tanpa bersuara, dan tanpa meninggalkan jejak?
Dilihat dari sudut manapun, proses menghilang yang sedemikian cepat, tetap meragukan untuk bisa dibilang nyata. Peristiwa yang baru saja terjadi, sangat mengganggu pikiranku. Butuh waktu lama buatku bisa melepaskannya. Dan kembali beristirahat.
"Tes... Tes... Tes"
Sepertinya belum lama aku tertidur, tapi sudah ada yang memberikan tetesan air di wajahku. Aku pikir ini pasti rere. Dia kan memang suka bercanda. Tapi masa sudah subuh?
"Adek, nga..."
"HWAAAAAAA"
Ternyata itu bukanlah rere yang hendak membangunkanku. Saat aku membuka mata, ternyata wajah pocong yang terlihat di mataku. Dia mengambang di atas tubuhku. Sejajar dengan posisiku. Mukanya hancur dengan darah masih segar merembes keluar.
"HWAAAAAAA"
Aku berteriak lebih kencang. Tapi anehnya, tidak ada satupun dari mereka yang mendengarnya. Dan tubuhku sendiri sama sekali tidak bisa aku gerakkan. Bahkan mataku juga berat untuk aku gerakkan. Tatapan mataku kaku, tertuju pada satu titik, yaitu wajah pocongan itu.
"Huuuu.... Hu hu hu" aku mulai menangis.
Pocongan itu sama sekali tak mau pergi. Beberapa saat kemudian, pocongan itu malah membuka mulutnya.
"HWAAAAAAAAA"
Lagi - lagi aku hanya bisa berteriak saat pocongan itu bergerak menndekatiku. Mulutnya terbuka sangat lebar. Bahkan yang menakutkan, engsel mulutnya bisa terlepas seperti ular. Sehingga mulutnya bisa menganga lebih lebar lagi. Bahkan sampai kulitnya sobek pun mulut itu tetap melebar.
"HWAAAAAAAA"
Tampak dalam pandangan mataku, kalau pocongan itu hendak memakan kepalaku sekaligus. Semakin mendekat, semakin gelap, semakin gelap, semakin gelap.
"HWAAAAAAAAA"
******
HARI 5
"Mbak, mbak lilis"
Kudengar suara di dekat telingaku. Suara yang aku kenal, tapi entah dia dimana.
"Mbak, udah subuh mbak"
Suara itu kembali menggema di telingaku.
"Mbak"
"Eh... Hmm?"
"Udah subuh"
"Oh, udah subuh ya, dek?"
Kurasakan kepalaku pening. Badanku juga terasa sakit semua.
"Mbak lilis pusing? Rere ambilin obat ya" tawarnya.
"Nggak usah, makasih" jawabku.
"Krek... Krekkk" suara leherku.
"Emh"
nikmat rasanya, saat pening begini, langsung digrepek.
"Kretekkk... Kreteekkk"
"Aahh"
Badan juga sedikit lebih enak setelah grepek punggung dan beberapa persendian. Sejenak, aku teringat kembali akan kejadian semalam. Bukannya semalam ada pocong mau memakanku?
"Kenapa mbak?"
Rere bingung melihatku mengusap - usap wajah dan sekitaran rambut. Dan memperhatikan tangan setelah mengusapnya.
"Hmpf... Udah, nggak usah malu. Ileran juga masih cantik. Hahaha" komentar rere.
"Hmm" aku berkacak pinggang.
"Hahahaha" rere malah tertawa.
Akupun bangun dari dudukku. Dengan dibantu ibu, kumasukkan kasurku kembali ke asalnya. Seperti kemarin, aku sholat sendirian. Sedih rasanya tidak bisa berjamaah bersama mereka.
Selesai sholat subuh, rere memanggilku untuk olah raga ringan. Dia mengajakku jalan - jalan ke makam. Aku setuju. Dengan wajah ceria kita berdua jalan ke belakang. Saat kutanya dimana pak mukti, rere bilang dia di dapur. Sedangkan ibu lagi di kamar. Saat melewati lorong, aku teringat kejadian semalam. Perhatianku tertuju pada lemari besar ini.
"Cklek"
Aku mencoba membuka pintu lemari itu. Memang terbuka, tapi seperti layaknya lemari.
"Mbak?" Tegur rere.
"GLAAAKK.... GLAAAK"
Aku menarik rangka lemari bagian tengah. Dimana seharusnya bisa terbuka. Tapi tidak bisa. Aku tutup lagi pintunya, aku kunci, lalu aku tarik handlenya.
"OGLAK OGLAK OGLAK"
Tidak bisa terbuka. Bukan begini caranya. Bagaimana orang - orang semalam membuka pintu ini?
"Kenapa mbak?" Tanya pak mukti.
"Iya, mbak lilis kenapa sih? Orang dikunci, ditarik. Ya nggak kebuka lah, mbak" tambah rere.
"Semalam, mbak liat, lemari ini terbelah. Jadi pintu masuk dari luar" jawabku.
"Pintu gimana?"
Aku tak menjawab. Aku tahu memang aku belum bisa membukanya. Tapi bukan berarti aku menerima kalau yang semalam dibilang hanya halusinasi atau aktivitas gaib. Aku dekati jam pendulum, kubuka pintunya. Aku mencari sesuatu yang mungkin menjadi kunci. Tapi aku tak menemukan apapun.
"OGLEK OGLEK OGLEK"
Kulakukan hal sama seperti pada lemari besar itu. Dan tidak bisa juga. Dari sudut mata aku melihat rere datang mendekatiku.
"Mbak, kita cari udara segar yuk" ajaknya.
Kupandang wajahnya dengan tatapan tajam. Entah mengapa kali ini aku agak tersinggung mendengar ajakannya. Dari kalimatnya, menandakan kalau dia menganggap aku sedang stres.
"Hhhhffff..... Fffffffhhhhhh"
Melihatnya salah tingkah, aku menghela nafas panjang dan sejenak memejamkan mata. Mencoba meredakan emosiku.
"Maaf" kataku smbil memegangi keningku.
"Yuk" lanjutku.
Aku lega, rere tidak marah dengan sikapku tadi. Dia mengerti kalau aku memang banyak pikiran. Akhirnya aku juga mengakui kalau aku memang sedang stres. Antara nyata dan tidak, buatku terasa nyata.
Kalau mereka bisa menjatuhkan bingkai foto, menutup pintu, dan yang lain. Seharusnya lemari itu juga bukan ilusi optik semata. Karena kalau itu aktifitas gaib, mengapa harus susah - susah membuka lemari? Tinggal menembus tembok saja, kan bisa.
"Rere bukannya mau bilang mbak lagi stres" celetuk rere. Aku tidak menjawab. Hanya memberikan perhatianku padanya.
"Rere percaya sama mbak lilis" lanjutnya.
Aku tersenyum, senang rasanya ada yang percaya denganku. Tapi apa maksudnya dia bilang begitu? Ada lanjutannya, sepertinya.
"I'm listening" sahutku.
"Misteri itu, bagi rere ada dua. Tentang hal - hal gaib, dan teknologi tersembunyi"
"Teknologi tersembunyi?"
"Ya. Bukan cuman di film - film. Tapi rere pernah bikin, yang sederhana"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments