Adek yang kurindukan

Selesai mandi, aku langsung mencari ibu. Awalnya aku pikir ibu sudah di dapur. Tapi saat keluar kamar, aku melihat ada banyak orang sedang berkumpul di depan rumah.

"Ada apa ya?" Gumamku.

Aku berjalan perlahan menuju depan rumah. Kupakai maskerku, dan kusemprot kedua telapak tanganku dengan hand sanitizer.

"Ibu gimana sih, udah tahu orang itu lagi dikarantina, kok malah ke sini?" Suara seorang wanita paruh baya.

"Dia anak saya, lilis" sanggah ibu. Pelan, tapi tegas.

"Ya lah siapa kek. Pertanyaannya, ngapain ibu ke sini? Kan ibu petugas satgas PPKM?"

"DEG"

"YaAlloh, sinis bener ibu itu" gumamku.

"Siapa lagi yang akan nolongin kalo anak saya sekarat? Sampeyan?"

"Sekarat darimana bu arum? Tuh, orangnya aja seger gitu" sanggahnya.

Semua mata menatap tajam ke arah yang dia tunjuk. Aku hanya bisa terpaku di sandaran sofa.

"Kalo ibu ketularan penyakit gimana? Kalo nular ke kita - kita, gimana? Kalo sekecamatan ketularan, gimana? Kan ibu tugas patroli. Kalo pedagang - pedagang di pinggir jalan ketularan, gimana? Bisa melonjak bu. Ngerti nggak sih?" Lanjut orang itu.

"Iya, apalagi kan dia dari jakarta. Jakarta kan lagi rame jenis baru itu. Lebih mematikan lho bu" tambah perempuan dinsebelahnya.

"Nah tuh, denger nggak bu?" Lanjut si wanita cerewet tadi.

"Ya kalo gitu saya diisolasi aja sekalian. Gampang to?"

"Ya nggak bisa gitu. Bu arum kan jadi petugas, kita yang gaji. Jangan seenaknya sendiri main minta isolasi" sergah si ibu cerewet

"Iya, bareng anaknya lagi. Pengen bolos itu sih" tambah yang di sampingnya.

"Makan aja kalo butuh. Makan!" Teriak ibu kesal.

"Sudah, sudah. Ibu - ibu, sudah"

seorang laki - laki melerai ibu dan dua ibu - ibu cerewet itu. Ibu - ibu itu masih berguman sendiri, seolah tidak terima di lerai.

"Kalian ini, ke sini mau klarifikasi, atau mau ribut, ha?" Lanjutnya.

"Ya bukan begitu, pak kades, pak kades kan tahu sendiri, "

"Apa? Dari tadi saya diemin malah ngelunjak" sergah laki - laki itu.

"Mohon maaf sebelumnya, bu arum. Mbah karjo putri, sudah lancang dalam menyampaikan keberatannya" lanjutnya.

Ibu belum bereaksi. Beliau malah merangkul pinggang wanita di sebelahnya. Dia malah yang tampak sudah sangat geram.

"Sebenarnya, secara resmi, kami hanya ingin menanyakan. Apa yang terjadi pada mbak lilis, sehingga ibu tergopoh - gopoh datang ke tempat karantina ini. Apakah semalam ada kondisi kritis dengan mbak lilis?" Lanjutnya lagi.

Coba saja dari tadi cara bertanyanya seperti ini, pasti tidak akan ada keributan. Apa ada masalah antara mereka dengan ibu?

"Secara medis, memang tidak ada pak" jawab ibu.

"Nah, kan. Pripun, pak kades?" Tanya wanita yang dipanggi mbah karjo putri.

"Pengen mbolos kui" timpal wanita di sebelahnya.

"Tolong diam. Biarkan bu arum menyelesaikan penjelasannya!" Potong pak kades.

"Hanya saja, anak saya, lilis, belum terbiasa melihat hal - hal gaib. Sehingga dia ketakutan saat dia melihat penampakan di depan matanya" lanjut ibu.

"Halah alesan" sergah mbah karjo putri.

"Maklum anak kota. Biasa nang diskotik, karo ngombe bir jagkar" timpal yang di sebelahnya.

"Anker" koreksi mbah karjo putri.

"Ya, anker. Karo ajeb ajeb. Liat demit lewat aja, takutnya kaya mau dilempar ke laut. Hahahaha"

lanjut wanita itu. Semoga ibu sabar.

"Mendingan ibu berdua pulang deh ya. Ngelantur" pinta pak kades.

"Oh, bapak berani ngusir mbah karjo putri? Ha?" Tanya teman mbah karjo putri.

"Emang panjenengan berani sama keluarga mbah abdul manaf? Mau bernasib seperti suami panjenengan?" Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.

Anehnya temen mbah karjo putri itu langsung terdiam. Nampak ketakutan dalam raut wajahnya. Ya, mbah abdul manaf adalah simbahku. Bapaknya ibu. Tapi aku sudah lupa dengan sosok beliau. Apalagi sejarah beliau. Ada apa antara simbah dan mereka.

"Assalamualaikum"

Dari belakang mereka, muncul tiga orang lain. Dari tampilannya sepertinya mereka petugas medis. Tidak terdengar suara kendaraan, tiba - tiba sudah ada di depan mata.

"Waalaikum salam" jawab mereka kompak.

"Loh, kan baru kemarin, anak saya di swab. Perlu diswab lagi kah, pak kades?" Tanya ibu.

"Bukan mbak lilis, bu. Tapi bu arum" jawab pak kades.

"Iya, jangan makan gaji buta" mbah karjo putri main potong saja.

"Maksudnya apa?" Tanya ibu mulai meninggi.

"Begini bu, mohon maaf atas kelancangan mbah karjo putri. Kami secara resmi masih sangat membutuhkan bu arum di jajaran satgas PPKM. Kepiawaian ibu dalam mengkoordinasi anggota satgas, bahkan diakui pak bupati. Belum ada sebelumnya, yang bisa mengkoordinasikan satgas lintas desa. Bu arum malah sudah merambah lintas kecamatan" jawab pak kades. Disanjung begitu, ibu agak melunak. Semoga dua nenek sihir itu tidak asal jeplak lagi.

"Ditambah keluesan ibu dalam mengambil simpati dari semua kalangan, mampu menekan positivity rate mingguan, di tingkat kabupaten" sambung laki - laki di sebelah pak kades.

"Betul apa yang dikatakan pak sekdes bu. Itu pak bupati yang mengatakan begitu" tambah pak lurah.

Ibu tidak langsung menjawab. Terjadi keheningan beberapa saat. Sampai ibu menghela napas panjang.

"Jadi, saya masih diperlukan?" Tanya ibu.

"Betul bu arum"

"Jadi, saya harus swab dulu, pak kades?"

"Betul, bu arum"

Ibu melihat ke arahku. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya bisa mengangguk saja.

"Baiklah. Saya juga tidak ada niatan buat mangkir. Kalau memang saya negatif, saya akan bekerja sebagaimana biasanya" jawab ibu.

Semua sepakat, tim dari puskesmas langsung mempersiapkan diri. Tak perlu waktu lama untuk mereka memakai pengaman. Tak sampai sepuluh menit, ibupun di uji usap.

"Alhamdulillah"

Semuanya mengucap syukur bersamaan. Terkecuali dua nenek sihir itu. Akupun mengucap syukur. Lega rasanya mengetahui ibu tidak tertular olehku. Ibu berdiri dan menghampiriku. Beliau berhenti di tangga masuk.

"Mbak, ibu harus pamit dulu. Ada yang harus ibu kerjakan. Nggak papa kan?" Tanya ibu.

"Nggeh bu. Nggak papa kok" jawabku.

Ibu tersenyum, tapi seperti agak berat untuk pergi. Aku tahu, ibu sudah malas duluan. Ocehan dua nenek sihir itu pasti menyakiti hatinya.

"Gimana kalau adek yang stay di sini?" Tanya gadis muda yang tadi dipeluk ibu.

"Bantuin mbak lilis. Masak, mungkin" lanjutnya.

Mendengar kata masak, ibu jadi tergelak. Sontak aku berkacak pinggang. Ibu malah tertawa ngakak melihatku berkacak pinggang. Seolah dia tahu kalau aku ingin menyanggah pernyataannya dalam tawanya itu. Kan aku juga bisa masak. Ibu saja yang salah menduga.

"Ya udah, adek temenin mbak lilis ya. Bikinin sarapan. Mbak lilis belum sarapan" jawab ibu.

"Woke"

"Dont forget healt protocol!" Kata ibu lirih

"Yes mam" jawabnya.

Gantian aku yang tergelak. Lagaknya sudah seperti film holliwood saja. Tapi boleh juga. Asyik sepertinya kalau diskusi dengan gaya seperti ini.

"Ibu pamit ya, mbak" kata ibu.

"Oh, iya. Hati - hati. Watch your back captain. Some gost just need to say abra cadabra, to kick you from safe place" jawabku.

"Thank you sergant" jawab ibu.

Satu per satu mereka pergi meninggalkan rumah ini. Tinggallah rere di ambang pintu sana.

Aku masih tak percaya, adik yang dulu masih merah, sekarang sudah setinggi itu. Dan aku melewatkan semua waktu yang sangat berharga. Orang ke dua yang sangat aku rindukan selama ini. Andai aku bisa memeluknya.

"Mbak?"

Sebuah suara mengagetkanku.

"Oh, ya"

Aku tidak menyadari, kapan dia berjalan. Tahu - tahu dia sudah ada di depanku. Senyumnya, mirip sekali dengan senyum ayah. Ah, kenapa malah dia yang mewarisinya.

"Hei, mbak lilis kenapa? Mata sama bibir kok nggak kompak?" Komentarnya.

Dia memakai lagi masker yang tadi dia lepas di depan.

Aku bingung dengan komentar itu. Memang mata sama bibir tugasnya kan berbeda. Kompak bagaimana? Dan juga, bibirku kan tertutup. Bagaimana dia bisa bilang tidak kompak?

"Ya, matanya sedih, tapi bibirnya kaya seneng. Kaya ada yang lucu, gitu" lanjutnya.

"Ya, mbak sedih aja. Enam belas tahun terlewat tanpa bisa bersama rere. Padahal mbak seneng banget waktu rere lahir. Akhirnya punya adek, cewek lagi. Bisa diajak main barbie" jawabku.

Gantian dia yang berkaca - kaca. Sesaat kemudian, air matanya meluncur begitu saja. Meleleh di pipi cantiknya. Aku jadi iri kalau lihat pipi itu. Gabungan rahang ayah dan kulitnya ibu.

"Rere juga, mbak. Sejak lihat foto mbak lilis, pengen banget rasanya bisa ketemu" katanya.

Aku tidak mampu berkomentar. Hanya air mata yang bercerita, betapa bahagianya hari ini.

"Akhirnya kita bisa ketemu juga ya mbak. Walaupun, mbak lilis udah banyak berubah. Jauh lebih cantik dari yang di foto"

"Hahaha. Masa sih?"

"Iya. Mirip ibu waktu aku sd, mbak"

"Oh ya?"

"Bener. Oh ya, tadi mbak lilis kenapa senyum geli gitu, liat wajahku. Ada yang aneh ya?"

"Hm? Hahaha... Enggak"

"Tuh, kok ketawa? Kenapa sih? Ada apa di mukaku?" Tanyanya sambil berkaca dengan kamera ponsel.

"Enggak. Senyummu itu lho. Mirip banget sama senyumnya ayah"

"Ayah?"

"Ya. Ayah kita. Seperti itu senyumnya"

"Oh, terus, lucunya dimana?"

"Hahaha... Aku tuh pengen banget bisa senyum kaya ayah. Dari kecil niruin, nggak bisa - bisa. Eh malah kamu, senyumnya mirip banget. Hmm udah fix, aku bukan pewaris sah senyuman itu" jawabku.

"Hahahaha... Apaan sih mbak, timbang senyuman doang. Udah kaya kerajaan aja, pewaris sah"

"Hahaha... Ya, abisnya. Dari kecil sampe sekarang, aku belum nemuin cowok sekeren dan semenawan ayah. Gagah, wajahnya tegas, tapi ngangenin"

"Ooohh... Masa sih mbak?"

"Beneran"

"Ada fotonya nggak?"

"Ada dong, banyak"

"Liat dong"

"Tapi aku laper. Masakin dong. Hahaha" jawabku sambil berlari menjauh.

"Alaaah, mbaaak" rajuknya.

Meski manyun, tapi rere tetap pergi ke dapur. Reisya, begitu ayah memberinya nama. Hanya itu, reisya saja, tanpa nama belakang. Dulu rambutnya hanya tipis, dan kemerahan. Sampai ada yang ngatain dia, rambut jagung. Dan sudah pasti, aku yang mencak - mencak. Sekarang rambutnya hitam berkilau, mana panjang lagi. Kalau produsen shampo tahu, isyana saraswati juga, lewat mungkin.

"Dek" panggilku.

"Ya" jawabnya.

"Mbak mau jalan - jalan dulu ya, bentar aja" pamitku.

"Ke kebon pisang?" Tebaknya.

"Enggak, ke makam situ, belakang"

"Ciah, gayanya. Ketemu demit baru tahu rasa. Hahaha"

"Apa sih"

Kulempar sandalku ke arahnya. Pelan pastinya.

"Daang"

"Woo woo, anarkis"

Serunya. Dia terkejut saat sandal itu mendarat di tempat cucian piring. Lumayan berisik suara benturannya. Padahal sandalku empuk, bahannya.

"Hihihi... Iya, nggak papa. Banyak kok yang lari pagi di sana. Emang bagus sih, view nya" lanjut rere.

"Itu dia. Hasil karya siapa itu? Dulu seingetku belum begini" sahutku. Kuambil sandalku.

"Plak" suara sandalku di lantai.

"Ya pemdes, sama juragan prapto"

"Juragan prapto?"

"Iya. Yang punya toko bangunan itu, utaranya balai desa"

"Oh, yang gede itu"

"Iya, masa mbak nggak tahu?"

"Lupa lah, emang mbak cctv, inget semua"

"Kalo lagi bengong, emang mirip sih. Satu kamera siang, satu kamera malam. Kethop - kethop"

"Ha?"

"Hahahaha"

"Songong" komentarku

Kulemparkan lagi sendalku, kali ini ke arah lantai. Mengarah ke pintu belakang.

"Buk... Bukk, bukk"

"Hahahaha"

Dia hanya tertawa saja, dan lanjut memasak. Sejenak aku mengagumi ukiran pada lemari di tembok belakang ini. Terlihat kuno sekali. Mungkin kayunya dari pohon jati usia tua.

"Tuh kan, dibilang mirip" komentar rere. Aku menoleh.

"Ketahap - kethop sambil bengong. Kalo ada layarnya, itu muter - muter. Nggak dapet sinyal. Hahaha" lanjutnya.

"Hahaha... Suek lu"

Kulemparkan juga sandal yang tinggal sebelah ini.

"Kyaaaa"

"Buk... Bukk... Bukk"

"Hahahaha"

Receh juga ternyata, bakal rame kalau serumah dengan dia.

"Udah, sono ah. Nggak kelar - kelar ini, ditimpukin sendal mulu. Nyemplung ke sayur, berabe lho. Doyan, oseng - oseng sendal? Hahaha"

"Lagian, kakak sendiri diledekin"

"Hahaha... Ya deh, maaf. Aku emang orangnya gini mbak, suka bercanda. Jangan marah ya"

"Hehe. Aku malah seneng kok. Sepi tahu, sendirian, nggak ada sodara"

"Loh, ayah juga nggak punya anak lagi, mbak?" Tanya rere serius. Aku menggelengkan kepala.

"Sama - sama divonis mandul" jawabku.

Rere terdiam, suasana jadi hening. Beberapa saat kemudian, dia melanjutkan memasaknya.

"Ya udah, sana gih, jalan - jalan. Kali ketemu demit"

"Dih"

"Cowok. Hahaha"

"Ogah, cowok juga demit. Buat apa?"

"Maksud rere bukan demit, tapi cowok, mbak lilis"

"Hahaha... Iya iya, reisya broto asromo"

"Asmoro"

"Hahaha"

Terpopuler

Comments

Liani Purnapasary

Liani Purnapasary

penasaran 😁

2022-07-12

1

ryvii putriee

ryvii putriee

masih menyimak,,,,

2022-03-12

2

ina mitsuki

ina mitsuki

baru baca

2021-12-13

2

lihat semua
Episodes
1 HARI 1
2 HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3 HARI 2 Sholat bersama ibu
4 Adek yang kurindukan
5 Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6 Kejahilan Dari yang tak terlihat
7 sekelumit sejarah
8 suami baru ibu
9 sejarah, berlanjut
10 Hari 3 (kabar mengejutkan)
11 Mana bayiku?
12 empat pocong
13 HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14 Aku Cemburu
15 nyata tapi tidak nyata
16 Ilusi atau teknologi?
17 intimidasi dari kamar mandi
18 prapto, ternyata
19 first sight of enemy
20 terkunci di gudang
21 mulai terlihat
22 jasad yang dibangkitkan
23 hampir tidak selamat
24 HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25 mata tak terlihat
26 di luar batas logika
27 firasat
28 kunci rahasia
29 kabar duka
30 kepergian mbak ida
31 malam satu suro?
32 no place to sad
33 satu melawan tak terhitung
34 lilis kesakitan
35 intrik prapto
36 jalan tembus, tapi buntu
37 kemarahan lembu bergola
38 HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39 lilis sadar
40 keajaiban
41 tetap ikuti prosedur
42 rahasia lantai gudang
43 puting beliung
44 hampir mati di tangan lembu bergola
45 alam para malaikat bergetar
46 hari 11 - boikot
47 boikot 2
48 selalu ada yang pertama
49 dukungan untuk lilis
50 dalam suasana boikot
51 tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52 mbok karsinah?
53 ritual akan segera dimulai
54 Hari 13
55 pembantaian
56 (lilis) tumbal terakhir
57 eksekusi
58 Akhirnya
59 happy ending
Episodes

Updated 59 Episodes

1
HARI 1
2
HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3
HARI 2 Sholat bersama ibu
4
Adek yang kurindukan
5
Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6
Kejahilan Dari yang tak terlihat
7
sekelumit sejarah
8
suami baru ibu
9
sejarah, berlanjut
10
Hari 3 (kabar mengejutkan)
11
Mana bayiku?
12
empat pocong
13
HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14
Aku Cemburu
15
nyata tapi tidak nyata
16
Ilusi atau teknologi?
17
intimidasi dari kamar mandi
18
prapto, ternyata
19
first sight of enemy
20
terkunci di gudang
21
mulai terlihat
22
jasad yang dibangkitkan
23
hampir tidak selamat
24
HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25
mata tak terlihat
26
di luar batas logika
27
firasat
28
kunci rahasia
29
kabar duka
30
kepergian mbak ida
31
malam satu suro?
32
no place to sad
33
satu melawan tak terhitung
34
lilis kesakitan
35
intrik prapto
36
jalan tembus, tapi buntu
37
kemarahan lembu bergola
38
HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39
lilis sadar
40
keajaiban
41
tetap ikuti prosedur
42
rahasia lantai gudang
43
puting beliung
44
hampir mati di tangan lembu bergola
45
alam para malaikat bergetar
46
hari 11 - boikot
47
boikot 2
48
selalu ada yang pertama
49
dukungan untuk lilis
50
dalam suasana boikot
51
tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52
mbok karsinah?
53
ritual akan segera dimulai
54
Hari 13
55
pembantaian
56
(lilis) tumbal terakhir
57
eksekusi
58
Akhirnya
59
happy ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!