"Semuanya sudah meninggal, mbak" jawab ibu.
"Innalillahi, wa inna ilaihi roji'un" responku.
"Kalo ini, siapa ya bu?" Tanyaku lagi.
"Astaghfirulloh" respon ibu saat aku perlihatkan sketsa yang aku buat.
"Ini mbak maya. Embak dapet dari mana sketsa ini?" Lanjut ibu.
"Mbak lilis sendiri yang nggambar" jawab rere.
"MasyaAlloh. Serius, mbak?" Ibu terkejut mendengar jawaban rere. Aku memgangguk membenarkan.
"Terus, darimana mbak dapet gambarannya?" Lanjut ibu. Aku terdiam dulu beberapa saat.
"Kemarin, pas bersih - bersih ruang baca, lilis denger ada suara kaca pecah di ruang sebelah. Pas lilis samperin, ternyata pecah ketabrak barbel"
"Barbel?" Potong ibu.
"Ya, barbel lima kiloan" jawabku.
"Terus?"
"Ada tulisan di kaca, endi bayiku dan endi kafanku"
"Iya, terus?" Ibu mendengarkan dengan serius.
"Pas lagi mikirin tulisan itu, pintu masuknya nutup, kaya ada yang ngebanting"
"Ya Alloh" respon ibu.
"Embak kekunci di dalem"
"Lama mbak?" Tanya rere
"Enggak sih" jawabku.
"Nah, pas kekunci itu, muncul pocong, di belakang embak"
"Astaghfirulloh" respon ibu.
"Nah, wajah pocong itu, ya seperti yang embak gambar itu"
"Oh, kok bisa ya pak?" Tanya ibu ke pak mukti.
"Nggak tahu" jawab pak mukti.
"Embak, baru gambar wajahnya aja. Tapi sebenernya, ada yang aneh"
"Aneh?"
"Iya. Perutnya kaya abis diotopsi. Kulitnya nggak ada, tinggal jeroan"
"Hkmpfff... " Rere mengeluarkan suara seperti tersedak. Dia lari ke pojokan.
"Kenapa dek?" Tanya ibu bingung
"Hoeeeekkk.... Hooeekkk"
Ibu berlari melihat rere muntah - muntah. Ibu pijit - pijit tengkuk rere, dengan harapan bisa meredakan mualnya. Beberapa saat kemudian, rere terlihat baikan. Pak mukti berinisiatif mengambil pasir dengan tangannya. Dan menyebarkannya di atas muntahan rere.
"Adek kenapa? Yang mana yang bikin mual? Pisang, ceriping, atau wedang jahenya?" Tanya ibu sekembalinya ke karpet. Rere menggeleng.
"Adek, adek pernah liat itu bu" kata rere menjawab pertanyaan ibu.
"Apa?" Tanya ibu kaget. Aku juga tercengang mendengar jawaban itu.
"Ya, pas smp, rere pernah ikut jurit malam. Rutenya lewat kuburan belakang situ. Nah, rere pernah dikagetin sama pocongan yang perutnya nggak ada. Aduh, parah deh pokoknya"
"Yang adek seminggu susah makan itu ya?" Tanya pak mukti"
"Iya" jawab rere.
"Ya udah, pembahasan mengenai detil bentuknya, kita stop dulu. Yang penting, sama - sama aja"
"Emang, ibu juga tahu?" Tanya pak mukti.
"Iya pak" jawab ibu.
"Dari data yang ada, dua belas orang ini, semua meninggal saat hamil muda. Perkiraan kandungan, tiga bulan" lanjut ibu.
"Astaghfirulloh" responku tak percaya.
"Lalu, apa hubungannya dengan penampakan itu?" Tanya pak mukti.
"Nggak tahu pak. Beberapa yang ibu tahu proses pemulasaran jenazahnya, ya bagus kok, nggak ada luka apapun di perut. Nggak ada yang diotopsi juga. Langsung dimakamin" jawab ibu.
"Ya udah, nggak usah dipikir dalem. Namanya juga demit. Suka - suka dia mau ngewujud gimana juga. Mau modif juga, nggak ada yang ngelarang. Mau modif kaya apa juga, suka - suka dia" kata pak mukti.
"Iya sih, bener juga. Itu kan bangsa jin. Bisa aja nyerupa manusia yang udah mati, terus dia bikin acara sendiri kaya gitu. Biar manusia yang dia temui, jadi bener - bener takut, gitu" jawab ibu.
Aku tak menjawab, hanya anggukan kepala saja. Aku mencatat info yang aku dapat dari ibu. barangkali nanti berguna, info tentang kematian mereka saat hamil muda
"Gimana kalo malam ini kita tidur bareng, di depan tivi, gitu" ajak rere. Perhatian kita semua tertuju padanya.
"Semalam, mbak lilis diganggu habis - habisan. Sampe, tadi pagi teriak teriak kenceng banget" lanjut rere. Gantian, aku yang salah tingkah.
"Oh. Bener kah mbak?" Tanya ibu. Aku mengangguk.
"YaAlloh. Boleh kalo gitu. Biar kalo ada yang gangguin embak, kita bisa tolongin" jawab ibu.
"Bapak juga setuju. Kasurnya, pindahin aja yuk, ke bawah" ajak pak mukti ke rere.
"Hayu" jawab rere.
Dia langsung bangkit dari duduknya. Aku kagum padanya. Baru juga muntah, sekarang sudah enerjik lagi. Tipe orang yang tahan banting.
"Mbak, mbak nggak papa?" Tanya ibu, setelah mereka masuk rumah. Suaranya lirih dan agak bergetar. Mata beliau tampak berkaca - kaca.
"Enggak kok bu. Embak baik - baik aja" jawabku sambil tersenyum.
"Mbak, tetep semangat ya. Ibu nggak akan berenti ngupayain biar embak bisa isoman di tempat yang lebih kondusif. Selama ibu belum berhasil, embak yang sabar ya" lanjut ibu.
Kini air mata ibu jatuh membasahi pipi. Kalau sudah begini, aku tak bisa lagi menahan diri. Aku gamit tangan kanan ibu, dan aku cium punggung telapak tangannya. Ibu tak menolak. Ibu juga memberiku elusan - elusan lembut di kepalaku. Untuk beberapa lama, aku sangat menikmati momen ini. Karena jujur, aku sudah mulai penat dengan gangguan - gangguan bangsa jin ini.
"Yuk, udah siap"
Suara kecil merdu rere mengagetkanku. Tanpa aku sadari kedatangannya, dia sudah berdiri di samping kami. Dia tersenyum padaku, saat aku salah tingkah. Dia juga mengangguk, tanda dia tidak protes dengan tindakanku mencium tangan ibu.
"Yuk, mbak" ajak ibu.
Akupun menuruti ajakan ibu. Seperti sudah dikomando, masing - masing masuk rumah dengan membawa sisa piknik dadakan ini. Aku kebagian membawa karpetnya. Di dalam, ternyata sudah ada Tiga kasur besar. Aku yakin itu dari tiga kamar yang ada.
Kasur buat rere dan ibu / bapak, di sejajarkan. Sedangkan kasurku agak berjauhan. Sofa tamu dan mejanya, dipinggirkan. Jadilah kita bisa tiduran sambil menonton tivi. Awalnya, aku masih bersama mereka, menonton tivi, dan mengomentari berita yang sedang di siarkan. Tapi lama - kelamaan, mataku menjadi berat. Sampai akhirnya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
****
Entah sudah berapa lama aku tertidur, kini aku terbangun karena suara gaduh. Aku sempat terkejut karena ketukan keras pada sebuah papan. Jujur aku belum yakin, apakah suara yang aku dengar ini, benar - benar nyata atau tidak. Karena pada kenyataannya, semuanya masih tertidur, kecuali aku.
"Duukk"
"$#@$¢¥£^÷π√"
Terdengar suara benturan lagi yang lebih pelan. Dan suara orang sedang berbicara, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Terlalu lemah suaranya.
"@#$&*(+)/¥€¢π~¶"
Suara orang berbincang tadi terdengar lagi. Kalau aku perhatikan, suara itu berasal dari samping kanan. Kira - kira di lorong, bawah tangga. Tapi tidak ada orang di sana.
"Oh, di dapur" gumamku.
Aku langsung bangkit dari tidurku. Dengan berjalan pelan, cenderung mengendap - endap, aku mendekati lorong.
"Haa"
Aku terkejut bukan kepalang, hampir aku berteriak, untung tidak muncul suara. Ingin aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi ini nyata. Karena tangan yang aku gigit juga terasa sakit. Jadi aku tidak sedang bermimpi.
"¥¢¥π^¶∆π£"
Suara itu hanya terdengar seperti orang bergumam. Tapi bukan itu yang aku permasalahkan. Kalau mereka maling, aku akan dengan siap menghadapi mereka. Tapi mereka bukannya mengambil sesuatu dari rumah ini, melainkan membawa sesuatu dari luar, ke dalam rumah ini.
"Emh... "
Bau busuk tiba - tiba menyergap hidungku. Mual rasanya perutku. Belum pernah aku mencium bau yang luar biasa busuknya. Kepalaku seketika pusing, berkunang - kunang. Sesaat kemudian, rasanya ingin muntah. Organ dalam tubuhku seperti memaksa aku untuk segera pergi untuk bisa memuntahkan isi perut. Tapi rasa penasaranku membuatku nekat bertahan.
"Mayat?"
Lebih tidak percaya lagi dengan apa yang mereka bawa. Ya, mereka membawa mayat. Masih dalam bentuk pocongan utuh. Mereka menggotongnya melewati lemari besar dekat dapur. Dan mereka menuju ke arahku. Aku masih berusaha memperhatikan mereka. Untuk apa mereka membawa mayat ke dalam rumah?
Apakah semua penampakan yang aku lihat adalah kerjaan mereka? Atau, adanya penampakan pocongan kemarin, akibat dari ulah mereka. Aku masih terus memperhatikan mereka. Semula aku berpikir, mereka akan membawa mayat - mayat itu ke ruang tamu. Tapi ternyata mereka berhenti di depan jam pendulum. Entah apa yang mereka tunggu di sana.
"Plek"
"Haaa"
Aku terkejut untuk kedua kalinya. Aku pikir aku tertangkap basah oleh salah satu dari mereka. Ternyata bukan.
"Mbak kenapa di sini?" Tanya ibu.
"Sssttt"
aku memberi tanda pada ibu untuk tidak bersuara. Ibu bingung.
"Mayat" kataku tanpa bersuara.
"Apa?" Tanya ibu juga dengan tanpa suara.
Aku langsung kembali ke posisi mengintip, dengan tanpa peduli apakah ibu mengerti atau tidak. Perlahan aku mencoba melihat ke arah dapur.
"Loh?"
Untuk ketiga kalinya aku terkejut. Kedua mayat beserta orang orang yang membawanya seperti menghilang tanpa jejak. Bahkan baunya pun sama sekali tidak ada bekasnya.
"Mbak, sudah" kata ibu pelan. Pundakku dielus - elusnya.
"Tap, tapi, tapi bu. Tadi, tadi"
"Ibu percaya kok. Memang susah, membedakan aktifitas gaib, dengan nyata. Apalagi bagi orang yang mata batinnya tajam" jawab ibu.
"Tadi, tadi, tadi, terlalu nyata bu. Itu, itu, itu, nyata"
"Iya, ibu percaya. Ibu juga pernah ngalamin. Udah, lepas aja, jangan dipikir. Kita bobok lagi yuk" pinta ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments