Jalan -Jalan Ke Tanah Makam

Aku pergi lewat pintu belakang. Hmm, udaranya segar sekali. Aroma kembang kamboja, bercampur dengan aroma melati. Sisa - sisa minyak duyung juga bisa aku cium. Andai saja bentuk tiap makamnya disamakan, sisa tanah di sekitaran makamnya ditanami rumput, mungkin akan terlihat seperti san diego hill, atau al azhar. Dengan setelan celana training, jilbab, dan jaket kain yang sama - sama berwarna biru, kumulai melangkahkan kakiku.

"Assalamualaikum ya ahli kubur" sapaku.

Benar kata para ustad, peringatan terbaik adalah kematian. Kalau sudah mati, orang sekaya jeff bezos atau mark zukenberg sekalipun, pasti tidak akan bisa menggali makamnya sendiri. Dan kalau sudah tertanam di dalam sana, kekayaannya hanya akan jadi rebutan.

"Terimakasih ya Alloh. Engkau telah mengabulkan doaku. Mempertemukan aku dengan ibu dan adik perempuanku, sebelum aku terbaring di sini, menyusul mereka" kataku dalam hati.

Sejenak aku berhenti, untuk menyapukan pandangan ke segenap penjuru. Sekian banyak manusia, dengan segala sejarahnya dahulu, dengan segala peran dimasa hidup, kini hanya menjadi bangkai tak berguna.

"Allohummaghfirlahum, warhamhum, wa'afihi, wa'fua'anhum" kataku pelan.

Tak kusadari, air mataku jatuh membasahi telapak tanganku yang kutengadahkan. Semoga doa yang pendek ini, mendapat penerimaan dari Gusti Alloh.

Melihat bagaimana jalanan di makam ini bisa sedemikian datar, rapi, dan terkotak - kotak, kurasakan seperti menyusuri kawasan industri kecil yang letaknya agak terpencil. Ditambah pepohonannya sudah pada besar, dan berdiri rapi di sepanjang jalan.

Sambil berjalan, sambil kugerak - gerakkan tanganku. Melakukan peregangan dan pemanasan ringan. Aku memang tidak berniat melakukan olahraga berat, pagi ini. Selain masih lelah, rasanya tidak cocok, melakukan olahraga berat untuk pemulihan covid. Dan, menyusuri jalan ini dari ujung ke ujung, sudah cukup memanaskan tubuhku. Lumayan lah, keluar keringat.

Kulihat ada seorang wanita sedang berjongkok di depan sebuah makam. Sepertinya dia sedang curhat, dengan yang terbaring di dalam makam. Entah mengapa, aku tertarik untuk mendekatinya.

"Assalamualaikum" sapaku. Dia menoleh ke belakang.

"Waalaikum salam" jawabnya ramah. Senyumku berbalas senyum yang indah.

"Ada yang bisa saya bantu?" Lanjutnya. Dia mengulurkan tangannya.

"Oh, maaf, saya lagi karantina. Maaf ya. Kita berjauhan aja dulu. Maaf" kataku menanggapi uluran tangannya.

"Oh, mbak yang lagi dikarantina di rumah itu, ya?"

"Iya, benar mbak. Aku lilis" kataku memperkenalkan diri.

Dia tak langsung menjawab. Dia malah tertegun memandangiku. Entah apa yang aneh dari diriku. Apakah perawakanku mirip dengan seseorang? Atau namaku yang mirip. Entahlah. Tapi pandangannya itu, lain.

"Aku ida, mbak. Rumahku di seberang jembatan sana" jawabnya. Matanya berkaca - kaca. Seperti bahagia sekali bertemu denganku.

"Oh, yang deket masjid besar dong?"

"Iya, masuk dikit, sampe"

"Wah, deket lah"

"Iya, entar main dong, abis karantina"

"InsyaAlloh" jawabku.

"Btw, makam siapa, mbak?" Tanyaku menyelidik.

"Oh, makam ibu saya. Setahun yang lalu" jawabnya.

"Turut berduka cita ya, mbak. Semoga almarhum, husnul khotimah" doaku.

"Amiin. Terimakasih, mbak, doanya"

"Sama - sama. Mbak ida sering ziarah?"

"Lumayan. Kalo lagi kangen berat, ya pasti saya ke sini"

"Suami mbak?"

"Kerja, di kantor pemda"

"Oh, pns? Mantep lah itu"

"Alhamdulillah"

"Itu, kenapa ada nama mbak, di tanah?" Tanyaku heran.

"Oh, iya. Itu saya yang nulis" jawabnya.

"Loh, kok nulis nama sendiri di tanah makam?"

"Ya, saya pengennya disandingin sama ibu. Hehe. Andai boleh, saya pengen minta kavling ini buat saya"

"Astaghfirulloh, mbak. Istighfar. Kok ngomongnya begitu?" Tegurku

"Ya, manusia kan bakalnya ke kuburan juga, mbak" jawabnya.

"Ya, saya tahu. Tapi, saran saya, yang tabah, mbak. Semua masalah itu, sudah diukur kadarnya. Tidak baik, berfikir untuk mempercepat yang belum waktunya"

"Hahaha... Ya nggak buat besok juga kali, mbak" responnya agak kaget.

"Ya saya juga masih mau menikmati hidup. Cuman, pas nanti waktunya saya pulang, saya pengen dijejerin sama ibu, gitu" lanjutnya.

"Waduh" responku malu. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.

"Maaf mbak, saya udah salah sangka. Jadi nggak enak, saya" lanjutku.

"Iya, nggak papa, mbak. Makasih, udah merhatiin saya. Seneng deh, punya temen baru" jawabnya sambil berdiri.

Dia memperhatikanku sambil tersenyum. Entah mengapa aku merasa ada yang tidak wajar dari sikapnya. Yang aku baca, dia seperti bukan bertemu orang baru. Seperti melihat orang yang sudah lama menghilang. Terpancar jelas dalam raut wajahnya, rasa haru dan bahagia.

"Hehe... Iya. Beneran, minta maaf ya mbak"

"Hahaha... Iya, mbak lilis. Nggak usah ngerasa bersalah gitu, ah. Kaya apa aja" jawabnya.

"Hehe"

"Ngomong - ngomong, saya pamit dulu, mbak" pamitnya.

"Oh, mampir dulu lah. Ada adik saya juga. Kita ngeteh dulu. Saya jauhan kok, tenang" tawarku.

"Hehe, tawaran menarik sih itu. Tapi, "

"Kenapa?"

"Saya udah kelamaan di sini, saya harus segera pulang. Suami saya, pasti sudah siap - siap berangkat kerja" tolaknya dengan halus.

"Oh, iya. Ya, sayang banget deh"

"Lain waktu saja. Kalo ketemu lagi, insyaAlloh saya mampir"

"Boleh. Saya tunggu" jawabku.

"Assalamualaikum" salamnya.

"Waalaikum salam" jawabku.

Dia berjalan mendahuluiku. Langkahnya agak terburu - buru, dengan mata melihat jam tangannya. Tak jauh darinya, seorang laki - laki berperawakan tinggi sedang berjalan di pinggir jalan. Dia bertelanjang dada dengan kulit tubuhnya hitam legam. Agak aneh rasanya menemukan orang kulit hitam di sini. Bukan daerah industri, bukan daerah wisata nasional. Terus, untuk apa orang yang tebakanku dari papua, sampai ke desa ini? Kalau di jakarta, banyak orang papua. Teman sekampus juga ada yang dari papua.

"Mbak"

Anganku buyar oleh suara yang mengagetkan. Tanpa kusadari, ternyata rere susah ada di depanku. Berdiri sejauh dua meteran dari posisiku.

"Ye, jalan - jalan di kuburan, malah bengong. Bahaya, tahu" lanjutnya.

"Bukan gitu" kilahku

"Kenapa, muter - muter, nggak dapet sinyal?" Ledeknya.

"Adeek"

"Hihihi"

Rere berlari menghindari kejaranku. Sambil terus menertawaiku. Bahkan kini larinya sambil mundur. Aku sempat berhenti di dekat perempatan kecil. Aku mencari orang berkulit hitam tadi. Aku belum melihat dia berjalan, tapi kok sudah tidak ada.

"Hei, nyari siapa?" Tegur rere.

"Tadi, laki - laki, yang berdiri di sini" jawabku.

"Laki - laki mana?"

"Yang kulit hitam"

"Hmm, kulit hitam? Sejak dari halaman juga, nggak ada lagi selain mbak, sama mbak ida" kata rere.

"Seriusan ah. Di sini, dek. Tadi aku bengong tuh karena liat dia. Aku tuh bingung, kok ada orang kulit hitam di kampung kita? Kan bukan kota tujuan nyari kerja atau wisata nasional. Jauh amat orang dari timur bisa sampe sini, gitu" kataku menjelaskan.

"Oh, gitu. Tapi rere juga serius, mbak. Kalo selama mbak bengong tadi, orangnya masih ada, beneran rere nggak liat" jawab rere.

"Ah, kamu gimana sih, dek. Ngatain embak nyari sinyal, kamunya sendiri nggak perhatian" gerutuku. Sebenarnya aku sedang menutupi rasa takutku.

"Aduh aduh aduh, cctv jakarta canggih ya, bisa ngedumel. Hahaha"

"Jangan mulai deh"

"Hahahaha"

Rere meneruskan larinya. Aku pun mengejar. Sempat sandalku aku lemparkan ke dia. Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak, ya pasti kena. Tidak sakit sih, tidak akan sampai benjol. Tapi kalau benar kena, senangnya hatiku.

"Mbak"

"Haaaahh"

Aku terkejut bukan kepalang, baru juga membuka pintu belakang, sudah ada suara kencang di dekat telingaku.

"Di, segitu kagetnya. Hayo, mbak lilis takut ya?" Ledek rere.

"Takut? Kaget kali. Baru juga buka pintu, udah teriak aja"

"Hahaha... Masa segitu dibilang teriak"

"Ya yang pasti kenceng. Kagetlah, embak"

"Iya iya iya. Maaf deh"

"Iya, nggak papa. Terus, mau bilang apa, emang?"

"Gini, sebenarnya rere masih sekolah online. Mulainya, jam delapan pagi. Sampai, ya, jam sepuluh atau jam sebelas"

"Oh. Udah setengah delapan, dek. Telat nggak?"

"Hehe, nggak papa. Telat lima atau sepuluh menit juga nggak masalah. Kadang juga sinyalnya nggak konek. Jadi dimaklumi"

"Syukurlah. Kenapa nggak bilang dari awal. Kan nggak perlu bantu embak, dek"

"Ya terus, mbak lilis sarapan apa?"

"Adek pikir, cuman adek yang bisa masak? Hadeh, sama aja kaya ibu"

"Hmpf, hahahaha"

"Tabok sendal nih. Dari tadi ngetawain mulu" lagakku sok menggerutu.

"Ampun ampun. Hahaha.... Aduh, tumbenan ibu nggak akurat"

"Hmm"

"Hihihi... Ya sekalipun mbak lilis jago masak, rere seneng kok masakin mbak lilis"

"Makasih, senengnya" kataku.

"Nggak papa kan mbak, rere tinggal dulu? Entar abis sekolah online, rere ke sini lagi"

"Iya, nggak papa. Ya udah, makasih banget ya, udah dibantuin. Jadi penasaran gimana rasanya masakan adek embak yang cantik ini"

"Ya, jangan berharap seperti masakan kafe ya, mbak. Rere baru belajar masakan kampung. Hehe"

"Lah, adek pikir, masakan kafe tu apa? Sama aja kali. Cuman modif - modif dikit, biar kekinian. Haha"

"Ya udah, rere pulang dulu ya, mbak" pamit rere.

"Oke. Yuk, mbak antar sampe depan" jawabku.

"Cie, udah pantes nih jadi orang gedongan.

Semoga mbak lilis jadi orang sukses. Punya rumah segede gini" goda rere.

"Amin ya Alloh, amiin" sahutku

"Assalamualaikum"

"Waalaikum salam"

Kuiringi kepergian rere dengan lambaian tangan. Alih - alih pakai motor, adik kandungku ini justru memilih sepeda gunung sebagai moda transportasinya. Tapi cocok kalau menurutku. Malah terlihat lebih elegan. Feminin, tapi juga maskulin.

Terpopuler

Comments

ryvii putriee

ryvii putriee

yank item itu hantu kan,,,, iiii serem pke telanjank dada lagi,,,, hehe

2022-03-12

2

marni sumarni

marni sumarni

mampir ya kk thor like mendrt jg skntum bg nya

2021-11-06

3

lihat semua
Episodes
1 HARI 1
2 HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3 HARI 2 Sholat bersama ibu
4 Adek yang kurindukan
5 Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6 Kejahilan Dari yang tak terlihat
7 sekelumit sejarah
8 suami baru ibu
9 sejarah, berlanjut
10 Hari 3 (kabar mengejutkan)
11 Mana bayiku?
12 empat pocong
13 HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14 Aku Cemburu
15 nyata tapi tidak nyata
16 Ilusi atau teknologi?
17 intimidasi dari kamar mandi
18 prapto, ternyata
19 first sight of enemy
20 terkunci di gudang
21 mulai terlihat
22 jasad yang dibangkitkan
23 hampir tidak selamat
24 HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25 mata tak terlihat
26 di luar batas logika
27 firasat
28 kunci rahasia
29 kabar duka
30 kepergian mbak ida
31 malam satu suro?
32 no place to sad
33 satu melawan tak terhitung
34 lilis kesakitan
35 intrik prapto
36 jalan tembus, tapi buntu
37 kemarahan lembu bergola
38 HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39 lilis sadar
40 keajaiban
41 tetap ikuti prosedur
42 rahasia lantai gudang
43 puting beliung
44 hampir mati di tangan lembu bergola
45 alam para malaikat bergetar
46 hari 11 - boikot
47 boikot 2
48 selalu ada yang pertama
49 dukungan untuk lilis
50 dalam suasana boikot
51 tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52 mbok karsinah?
53 ritual akan segera dimulai
54 Hari 13
55 pembantaian
56 (lilis) tumbal terakhir
57 eksekusi
58 Akhirnya
59 happy ending
Episodes

Updated 59 Episodes

1
HARI 1
2
HARI 1 >TEROR PERTAMA<
3
HARI 2 Sholat bersama ibu
4
Adek yang kurindukan
5
Jalan -Jalan Ke Tanah Makam
6
Kejahilan Dari yang tak terlihat
7
sekelumit sejarah
8
suami baru ibu
9
sejarah, berlanjut
10
Hari 3 (kabar mengejutkan)
11
Mana bayiku?
12
empat pocong
13
HARI 4 Petunjuk dari yang tak terlihat
14
Aku Cemburu
15
nyata tapi tidak nyata
16
Ilusi atau teknologi?
17
intimidasi dari kamar mandi
18
prapto, ternyata
19
first sight of enemy
20
terkunci di gudang
21
mulai terlihat
22
jasad yang dibangkitkan
23
hampir tidak selamat
24
HARI 6 ( hampir tanpa jejak )
25
mata tak terlihat
26
di luar batas logika
27
firasat
28
kunci rahasia
29
kabar duka
30
kepergian mbak ida
31
malam satu suro?
32
no place to sad
33
satu melawan tak terhitung
34
lilis kesakitan
35
intrik prapto
36
jalan tembus, tapi buntu
37
kemarahan lembu bergola
38
HARI 9 - lilis tak sadarkan diri
39
lilis sadar
40
keajaiban
41
tetap ikuti prosedur
42
rahasia lantai gudang
43
puting beliung
44
hampir mati di tangan lembu bergola
45
alam para malaikat bergetar
46
hari 11 - boikot
47
boikot 2
48
selalu ada yang pertama
49
dukungan untuk lilis
50
dalam suasana boikot
51
tak boleh pulang, gudang sayur dipindah
52
mbok karsinah?
53
ritual akan segera dimulai
54
Hari 13
55
pembantaian
56
(lilis) tumbal terakhir
57
eksekusi
58
Akhirnya
59
happy ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!