TUMBAL 13
...cerita ini hanyalah fiktif. adapun nama - nama yang ada di dunia nyata, tidak ada hubungannya dengan cerita ini....
**kalau udah tamat, boleh juga tuh, mampir di karya keduaku,
"budi dan biduan**"
"Sreeeeessssss"
Hujan sore ini bagai ditumpahkan dari langit. Membuat suasana di sekitaran rumah ini sudah seperti memjelang magrib.
"Sreng... Sreng... Sreng"
"Du du du du"
Kudendangkan lagu yang entah apa judulnya. Bahkan aku sendiri tak tahu apakah lagu itu ada atau tidak. Asal saja, yang penting acara masakku sore ini tidak diselimuti sepi.
"Lir ilir... Lir ilir... Tandure wes sumilir"
ponselku berdering.
Kuambil ponsel itu dari kantong celanaku. Aku letakkan di meja makan, tak jauh dari kompor. Kuaktifkan headset bloetoothku, dan kusambungkan ke ponsel itu.
"Sreng sreng sreng... Teng teng teng" kuaduk aduk capcayku.
"Halo" sapaku.
Baru juga sepatah kata aku lontarkan, dinseberang sana sudah ramai dengan berbagai pertanyaan. Seperti kereta barang, sekali lewat panjangnya tak terkira.
"Iya, gua kena karantina, dew. Otege gua. Gokil banget petugas di sini, nggak mau disuap" kataku lagi.
"Sreeng... Sreng... Sreengg"
Tanpa terganggu, kedua tanganku masih lincah aku karyakan. Aduk sana, aduk sini. Tambah bumbu dan bahan pelengkap.
"Lu tau nggak, petugas sini tu, takut sama sesepuh desa. Sesepuh desanya, takut sama apa gitu"
"Sreeng"
"Tek"
Aku mematikan kompor. Kuambil piring dari floating rack, sekaligus mangkuk besar untuk wadah capcayku.
"Sebangsa gaib gitu, dew. Makanya, sekalipun gua tawarin segepok juga, ditolak, cuy" lanjutku.
Kutuang capcay yang sudah matang tadi ke dalam mangkuk. Segera kucuci wajan ini karena akan kupakai lagi.
"Ya, karena gua emang nggak bawa surat antigen, mau nggak mau, ya harus mau di swab. Mana harus balik ke kota, lagi. Asli, capek banget gua"
Kutuangkan minyak goreng ke dalam wajan, setelah aku panasi wajan itu beberapa saat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut. Andai aku bisa memilih, aku lebih memilih keluar uang untuk lauk yang lebih nikmat di lidah.
"Ya, reaktif. Tapi nggak ada gejala apapun, sama sekali. Sekalipun begitu, gua tetep harus karantina. Apes kan?"
Cuaca yang tidak bersahabat membuat bahan makan yang tersedia juga tidak bersahabat. Ditambah sambutan yang juga kurang bersahabat. Kucoba berbesar hati menerima keadaan ini.
"Enak pala lu. Mending, kalo boleh isoman di rumah nyokap"
"Tek... Tek... Tek... "
Suara pisau dan telenan beradu, menambah riuhnya suara hujan. Tempe yang tadinya bulat panjang, sekarang sudah berubah menjadi bulat tipis - tipis.
"Enggak boleh, dew. Gua diasingin, tahu"
"Sreeeeeng"
Lebih riuh lagi sekarang. Suara minyak panas kemasukan tempe. Apalagi bercampur air dari marinasi, rame.
"Busyet, coba aja lu tahu gua diasingkan dimana, pasti lu histeris deh"
Tempe yang sedari awal sudah berwarna hitam - putih, menjadi semakin gelap karena matang. Sejenak aku terpaku dengan tekstur tempe yang aku serok ini. Aku baru tahu, ada tempe dibuat dari bahan selain kedelai. Ya, kata orang, nama pohonnya, lamtoro. Biji lamtoro inilah yang dibuat menjadi tempe.
"Hem, apa? Sori"
Aku tergagap karena terlalu fokus dengan tempe mlanding di tanganku. Suara di dalam telinga sekalipun, tidak terdengar jelas.
"Gua ditaruh di rumah terpencil dew. Di pinggir kali, deket kuburan. Dari kampung gua juga ada kali seratus meteran. Mana ketutup kebun pisang"
Matang sudah tempe mlandingku. Lumayan lah, daripada kelaparan. Sepertinya enak, dingin - dingin begini makan tempe goreng hangat.
"Ya, rumahnya sih bagus. Cuman, ya gitu, udah lama nggak ditempatin"
Kusendok nasi di rice cooker dengan centong kayu. Di jaman moderen seperti ini, masih ada juga yang membuat centong dari kayu. Uap nasinya sungguh menggoda perut.
"Iya, dibersihin juga baru tadi. Ini juga belum semuanya bersih"
Capcay ala - ala master chef juga sudah mengundang untuk di sendok. Nah, ini juga unik. Sendok sayurnya, alias irus, juga terbuat dari kayu. Amazing.
"Ya, gua tahu, bersih - bersih bisa jadi kegiatan selama karantina. Bisa, gua bersihin. Tapi kebayang nggak sih, dua lantai, dew. Baru lantai bawah yang dibersihin"
Nasi setengah piring, capcay setengah piring. Cukup banyak untuk mengganjal perut kecilku. Atau malah begah ini nanti. Lihat nanti saja. Kalau kebanyakan, ya tinggal buang.
"Krees"
Wow, enak juga ternyata. Gurihnya beda dengan tempe kedelai. Ada krenyes - krenyesnya, juga legit - legitnya.
"Mending kalo setahun - dua tahun. Ini lima belas tahun, dew, ditinggal. Nggak kebayang deh, kaya apa rupanya di lantai atas"
Aku duduk di kursi kayu. Setelan meja makan ini, semuanya dari kayu. Tidak ada kaca atau pelapis lain di atas mejanya. Pun tidak ada bantalan di atas kursinya.
"Mending sini aja deh, kalo pengen liat. Gua beliin tiketnya. Kalo ada sinyal data, udah dari tadi gua vici lu, dew"
Sesendok nasi, lengkap dengan capcay dan sepotong kecil tempe mlanding, sukses masuk ke dalam mulutku. Kombinasi rasa lapar, dengan suhu dingin, membuat makanan sederhana ini terasa nikmat sekali.
"Jangankan lu dew, gua aja nggak abis pikir. Ya, kaya kata lu, gua nyambangin nyokap gua sendiri. Nyokapnya aja mau nampung, eh mereka yang heboh"
Kulanjutkan lagi ke suapan kedua. Sembari mendengar suara sahabatku. Rame memang dia orangnya
"Apa? Cocote tonggo? Hahaha... Apa tuh?"
Suapan ke tiga terhenti gara - gara lawakan dia.
"Hahahaha... Oh, Mulutnya tetangga. Emang. Tapi, ya udahlah. Gua sadar diri. Emang gua pergi dari kampung ini udah dari masih bocah. Nama gua juga udah nggak ada di data kependudukan sini. Jadi ya, gua maklum, kalo gua dianggep orang asing"
Kutuang air dari teko plastik bening ke dalam sebuah gelas kaca. Meski ada kuahnya sedikit, tetap saja aku merasa tenggorokanku seret.
"Itu. Tadinya gua pikir tempat karantinanya di puskesmas, atau di balai desa. Kan deket sama warga gitu. Bukan di tempat terpencil gini"
Setengah porsi sudah berpindah ke perutku. Tapi aku merasa nafsu makanku masih tinggi.
"Enak bener lu ngomong, udah. Gua udah protes, gua nggak mau dikarantina di rumah ini. Tapi ancamannya diusir, sist. Gokil kan?"
Suapan pun berlanjut. Aku berpindah sejenak untuk mengambil tempe lagi. Yang ini sudah habis masuk ke perut.
"Iya. Tumben lu bijak, hahaha. Demi nyokap, gua bersedia kok jalanin semua ini"
Suaraku agak aneh di kuping, jelek juga kalau sambil mengunyah makanan.
"Hmm, tega lu. Sohib lagi prihatin gini, lu malah ngedate"
Acara makanku terhenti mendengar dia mau kencan. Entah mengapa aku merasakan iri, sampai suaraku meninggi. Padahal tidak ada hubungannya.
"Oh... E... Sory. Gua, gua keceplosan"
Beberapa saat kemudian, aku tersadar, aku telah menyinggung perasaannya.
"I, iya dew. Gua kan cuman bercanda. Suara gua kekencengan ya? Sory ya"
Kulihat layar ponselku, berharap ada gambar dia di sana. Ya, tapi pastinya tidak ada.
"Iya, sejak kapan gua ngelarang lu ngedate? Emang gua emak lu?"
Syukurlah, dia mau mengerti dengan penjelasanku tadi.
"Hahaha... Ya udah, berangkat gih"
Aku berdiri dan mengangkat piring makanku. Nafsu makanku hilang karena kesalahan ucapan tadi.
"Yo. Waalaikum salam"
"Tuut"
Sambungan telepon sudah terputus. Dan kubiarkan saja ponselku tergeletak ditempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
autophia
Baca prolog namanya lilis berasa terpanggil :'
2022-06-29
1
Leonanna
👍
2022-04-14
2
Leonanna
aku bacanya stress 🗿🙏
2022-04-14
1