"Assholaaaatu khoirum minan naum"
Lamat - lamat kudengar suara adzan. Saat aku mencoba membuka mata, kamar ini sudah terang benderang. Rupanya listrik sudah menyala kembali.
"Ibu?"
Tak kudapati ibu di sisiku. Tapi aku mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Benar, tak lama kemudian, ibu muncul dari kamar mandi.
"Eh, anak ibu udah bangun"
Ibu menyapa dengan senyuman manis. Senyum yang aku sendiri bahkan sudah lupa. Tapi lamat - lamat, aku mengenang masa - masa antara aku usia tiga sampai lima tahun. Sapaan itu, aku mengenalnya.
"Yuk, bangun mbak. Wudhu" lanjut ibu.
Aku duduk, ibu duduk di tepian ranjang. Tangannya cekatan memakai masker sekali pakainya Sekilas aku melihat ibu tampak bingung. Ya, pastinya. Di wajahku pasti tampak sesuatu olehnya.
"Kenapa mbak?" Tanya ibu.
Sapaan itu, untuk ke sekian kali ibu mengatakannya semenjak aku datang. Sapaan yang sudah enam belas tahun tidak aku dengar. Ingin sekali aku memeluknya. Memeluk sepenuhnya. Tapi aku masih takut, karena kondisiku saat ini. Sedekat inipun seharusnya tidak boleh.
"Mboten, mboten bu" jawabku.
"Eh, embak masih bisa bahasa jawa?" Tanya ibu terkejut.
"Hehehe... Sedikit bu. Kalo denger doang, ngerti bu. Tapi buat ngomong, perlu belajar lagi deh, kayaknya" jawabku sambil meringis malu.
"Hahaha... Iya, ndak apa - apa. Yuk, wudhu"
"Iya"
Aku beringsut ke pinggir, dan berjalan meninggalkan beliau. Dalam balutan air wudhu, air mataku meleleh. Mengiringi rasa dihatiku, yang penuh dengan haru, sedih, dan juga bahagia, yang berebut ingin keluar.
"Embak bawa mukena kan?" Tanya ibu.
Aku yang baru keluar kamar mandi, cukup terkejut dibuatnya. Untung aku tidak teriak.
"Bawa bu" jawabku.
Kukeluarkan mukenaku dari dalam tas. Mukena spesial, yang tak pernah aku tinggalkan. Mukena yang sangat ketat aku jaga.
"Loh?"
Tampaknya ibu mengenali mukena ini. Tapi aku pura - pura tidak tahu saja.
"Ada apa bu?" Tanyaku.
Ibu tak langsung menjawab. Tapi memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mata ibu tampak berkaca - kaca.
"Ndak, ndak papa. Embak jadi imam gih" jawab ibu tergagap.
"Nggih yang sepuh dong bu. Masa yang muda" tolakku halus.
Ibu tergelak mendengarku menyelipkan bahasa jawa halus. Tidak ada perdebatan lagi. Ibu mengangguk tanda setuju. Untuk pertama kalinya, setelah enam belas tahun lamanya, aku sholat dengan ibu lagi. Entah, apakah dulu aku pernah berjamaah dengan ibu atau belum. Aku tak ingat.
"Allohu Akbar"
Bergetar suara ibu melafadzkan kalimat suci itu. Bergetar pula seluruh tubuh ini mendengar dan melafadzkannya pula. Setiap kalimat yang ibu baca lantang, serasa menghujam keras dalam sanubariku. Apalagi ibu membacakan surat al - a'la dan al - ghasiah, dalam dua rokaat, subuh ini.
Dalam sujud ini, kutumpahkan semua keluh kesah hatiku pada Alloh 'Azza wa Jalla. Keinginanku untuk segera pulih dari covid, agar aku bisa memeluk kembali ibu yang kurindukan selama ini.
"Assalamualaikum warohmatulloh"
Kalimat pamungkas dalam sholat, yang sering membuatku merasa sedih. Sering saat salam ini, ingatanku melayang pada momen enam belas tahun lalu. Tak bisa aku menahan diri lagi.
Langsung aku sodorkan tanganku. Sambutan dari ibu tak sedetikpun aku tunda. Langsung aku mencium telapak tangannya, dan aku bersujud di pangkuannya. Tangis kerinduanku tak bisa aku tahan lagi. Membuncah sejadi - jadinya. Cukup lama ibu mengelus - elus kepalaku. Dan aku menikmati setiap elusan itu.
"Kita bikin sarapan yuk, mbak" celetuk ibu.
Aku tersentak dari lamunanku. Perlahan aku mundur teratur. Duduk kembali sambil memandang bingung.
"Ibu yang masak. Embak, mandi aja" lanjut ibu.
Senyumnya mencairkan suasana. Entah apa arti senyuman itu. Apa ibu berfikir, aku tidak bisa memasak, ya? Ya sudah, biar saja. Aku pamit untuk mandi. Ibu keluar kamar dengan tertawa kecil. Benar kalau begini, aku dianggap tidak bisa memasak. Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Krieeeeeett"
"Blem"
"Astaga"
Begitu aku masuk kamar mandi, rasanya seperti ada orang yang memperhatikanku. Tapi kan aku hanya sendiri. Aku perhatikan betul - betul sekelilingku. Plastik bening tebal pembatas bathtub aku singkap. Tidak ada siapa - siapa. Di atasku hanya ada plafon. Aku yakin di atasnya sudah mentok dengan beton cor. Tapi karena sering nonton film action bareng ayah, aku jadi tidak langsung yakin.
"Tok tok"
"Tok tok"
"Tok tok"
Aku ketuk setiap sisi dinding, memastikan bahwa dinding kamar mandi ini semuanya tembok. Jangan sampai ada dinding yang ternyata berbahan kayu atau triplek. Berarti sudah dimanipulasi. Termasuk plafon di atasku.
"Tembok semua" gumamku.
Tapi entah mengapa, hatiku tetap merasakan gelisah. Seolah - olah ada orang di dekatku, tapi aku tidak bisa melihatnya. Bulu - bulu di tanganku tiba - tiba merinding.
"Astaga"
Melihat bulu - bulu tanganku meremang, aku berjalan lagi keluar kamar mandi. Aku hela nafas panjang, dan aku bersiap kembali lagi.
"Bismillahirrohmanirrohim. Allohumma inni a'udzubika minal khubusi wal khobaits"
Kuucapkan doa itu dengan sepenuh hati. Dengan kedua tangan tengadah di depan wajah. Setelah itu, kulangkahkan kaki kiriku untuk masuk ke kamar mandi.
"Bleb"
"Aahh"
Aku terkejut mendapati ruangan ini mendadak gelap.
"Bleb bleb bleb"
"Byaar"
Lampu itu berkedip lagi sambil mengeluarkan suara frekuensi rendah. Setelah beberapa kali kedipan, lampu itupun menyala lagi, dan tidak berkedip lagi. Kuedarkan pandangan mataku. Sejauh dinding yang bisa aku sapu, tak kulihat ada yang berbeda. Tapi hatiku sudah tak lagi gelisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments