“Bagaimana? Kamu tidak langsung mengantarnya pulang kan?”
Bentari langsung memberondong Oka ketika baru saja sampai rumah sekitar jam 10 malam.
“Dia ikut ke lapangan futsal, pulangnya muter-muter dulu sampai bensin habis. Baru aku antar pulang tadi.”
“Kamu pastiin dia masuk ke dalam rumah kan?” Bentari terus memberondong Oka dengan pertanyaan, dia sampai mengikuti Oka ke dapur.
“Iya. Aku pastikan dia sampai masuk ke dalam rumah.” Oka membuka kulkas, mengambil satu kaleng sprite.
“Syukur deh. Pokoknya kamu perhatiin dia ya, Ka. Jangan sampai dia salah bergaul.”
“Dia sudah besar. Sudah tahulah mana pergaulan yang baik atau tidak.” Oka membuka kaleng sprite lalu meneguknya.
“Yang namanya lagi kalut, kadang logika kita seolah mati dan memunculkan pikiran-pikiran lain yang nantinya malah akan menjadi penyesalan.”
Oka mengerutkan alis menatap Bentari penuh selidik.
“Pengalaman pribadi?”
Helaan napas berat keluar dari mulut Bentari sebelum akhirnya dia mengangguk.
“Iya. Jadi jangan biarkan Arunika mengalami penyesalan yang kurasakan sampai sekarang.” Bentari mengambil kaleng dari tangan Oka meneguknya lalu menyerahkannya kembali kepada Oka yang masih terdiam memerhatikan kakaknya. “Pokoknya titip dia, oke, Dek!”
“Aku harus tahu apa alasan aku harus menjaga dia.” Kini giliran Oka yang mengikuti Bentari duduk di sofa depan televisi. “Kenapa kakak tahu kalau dia sedang ada masalah?”
Bagaimana dia harus menjelaskannya? Sesaat Bentari ragu karena kalau dia harus menjelaskan kecurigaannya, itu artinya dia harus menjelaskan masa lalunya.
“Awalnya aku tak yakin kalau tebakanku benar. Tapi kalau mendengarmu mengajaknya ke lapangan futsal, dan berkeliling sampai bensin habis … aku rasa tebakanku benar.”
“Kenapa Kakak bisa nebak itu?”
Oka yang keras kepala! Sepertinya dia tidak akan berhenti bertanya sampai mendapatkan jawab yang diinginkan. Bentari terdiam sebelum akhirnya dia memutuskan berkata jujur.
“Aku melihat penampilannya. Dia bilang kalau dia mau mencari sesuatu, tapi apa kamu sadar kalau dia bahkan tidak membawa dompet, ponsel, bahkan dia hanya mengenakan sandal? Aku yakin dia orang yang memerhatikan penampilannya kalau mau ke luar.”
Oka mengerutkan alisnya, mengingat kembali penampilan Arunika.
“Itu artinya saat pergi dia terburu-buru dan sepertinya dia tadi habis menangis.”
“Menangis?”
“Hidung dan pipinya masih memerah.”
“Bisa saja dia kedingingan karena pendingin ruangan kan?”
“Ckk, dasar tidak peka!” Bentari kini menatap Oka serius. “Orang yang biasa tinggal, tidur, di ruangan ber-AC, apa mungkin tiba-tiba tidak tahan dengan AC mall? Lagian tadi di mall tidak begitu dingin juga.”
Oka mengangguk menyadari hal itu.
“Pokoknya kamu jaga Arunika, kalau bisa buat dia percaya dan bisa menceritakan masalahnya sama kamu. Sebelum dia menemukan tempat yang salah untuk bercerita.”
Masih ada keraguan di dalam sorot mata Oka membuat Bentari menghela napas.
“Kamu tahu bagaimana kakak dulu?” Bentari terdiam menatap Oka yang terlihat penasaran. “Night club sudah seperti rumah kedua kakak, pesta, foya-foya dan itu semua tidak terlepas dari … alkohol.”
Bentari tersenyum miris menatap Oka yang sedikit tersentak terkejut mendengar ceritanya.
“Itu semua diawali oleh salah dalam pergaulan. Aku berteman dengan mereka yang mengenalkanku kepada gemerlapnya kehidupan malam dengan segala isinya. Silau kita oleh gemerlapnya hingga membuat buta. Akal kita hilang ketika terlena oleh kebahagian sementara yang ditawarkan oleh barang haram. Aku memang tak pernah sekalipun menyetuh obat-obatan, tapi alkohol …” Bentari menghela napas berat sebelum melanjutkan ucapannya.
“Ya, aku pernah merasakannya. Pernah larut dalam kebahagian sementara itu. Tertawa seolah tak memiliki masalah dan beban hidup, menari seperti orang gila, akal kita hilang saat itu, benar-benar seperti terbang ke angkasa sebelum akhirnya terhempas ke bumi. Kepala kita seolah pecah, perut kita seperti diaduk, bumi seolah berputar membuat dunia kita jungkir balik hingga akhirnya kita tak berdaya. Bahkan tak sedikit orang yang meninggal karena hal itu.”
Bentari terdiam sesaat mengenang kembali masa-masa kelamnya dulu.
“Ketika logika dan akal sehat kita hilang, setan masuk membisikan segala macam rencana jahat yang seolah masuk akal dan paling benar, hingga akhirnya kita mengambil keputusan salah yang akan menghantui dan membuat kita menyesal seumur hidup … dalam pengaruh alkohol aku merencanakan sebuah rencana jahat yang hampir melukai kakak dan ibu kandungku sendiri.”
Suara Bentari bergetar mengingat hal yang paling membuatnya menyesal seumur hidup. Airmatanya tanpa terasa bergulir kembali diingatkan bagaimana ibunya harus terbaring di rumah sakit dengan luka di kepala, dan tubuh Kirana penuh oleh luka.
Di sisi lain Oka pun mengingat kejadian malam itu, ketika dia terlambat datang dan melihat Kirana tergeletak tak berdaya dijadikan samsak hidup beberapa bajingan. Mengingat bagaimana ibunya tergeletak tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari kepala. Tubuhnya gemetar, emosi kembali menguasai dirinya ketika mengingat hal itu.
“Walaupun paginya ketika sadar aku menyesali keputusanku, tapi semua terlambat. Teteh dan mamah sudah terluka … dan aku penyebab itu semua, aku yang membuat mereka terluka.” Bentari terisak menyesali keputusanya dulu.
Melihat Bentari terisak seperti itu menyedarkan Oka betapa kakaknya itu sangat menyesal, dan selama ini harus menanggung rasa penyesalan itu seorang diri, bahkan mungkin dia harus menanggungnya seumur hidup.
“Semua sudah terbukti kalau kakak tidak bersalah.” Oka menepuk punggung Bentari pelan.
“Tetap saja … aku sangat menyesal, hingga di sini tuh rasanya sakit, sesak.” Bentari memukul dadanya yang terasa sesak karena rasa penyesalan yang mendalam.
“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kami semua sudah memaafkan kakak ... sudah jangan nangis lagi, nanti mamah dengar.”
Bentari mencoba menghentikan tangisnya tak ingin ibunya yang berada di dalam kamar mendengar isakannya. Selama ini bu Mega memang belum tahu tentang keterlibatan Bentari dalam kasus penyerangan di apartemen Kirana.
“Apa ayah dan tante Mayang tahu tentang kebiasaan Kakak?”
“Tidak. Aku tak ingin membuat mereka kecewa. Terlepas dari kesalahan mereka yang menyembunyikan identitasku di masa lalu … mereka tetaplah orangtua yang luar biasa bagiku. Aku tak sanggup melihat mereka menatapku dengan sorot mata kecewa karena mengetahui tentang sisi burukku.”
Oka bernapas sedikit lega. Kalau seandainya ayah mereka mengetahui tentang kebiasaan Bentari tapi mendiamkannya. Entah rasa apa yang akan tumbuh dalam dirinya kepada ayahnya itu. Mungkin penerimaan kepada sang ayah ketika di Surabaya kemarin, akan kembali hilang.
“Jadi … kamu jaga Arunika dengan baik.” Mata Bentari masih terlihat basah oleh sisa-sisa tangisnya menatap Oka serius. “Dia masih sangat muda, emosinya masih labil. Jangan sampai dia terjerumus seperti kakak dulu.”
Oka terdiam sebelum akhirnya mengangguk membuat sedikit senyum lega terpampang di wajah Bentari.
Bentari tidak berharap kalau tebakannya benar, tapi kalau itu sampai benar setidaknya Bentari ingin menolong satu anak muda agar tak terjerumus sepertinya dulu.
***
I think of you
(Aku memikirkanmu)
I haven’t slept
(Belum sempat ku pejamkan mata)
I think I do
(Aku sangka aku tertidur)
But I don’ forget
(Tapi tak ku lupa)
Alunan lagu Coldplay memenuhi ruang kamar dengan cat perpaduan warna abu tua dan muda. Tempat tidur ukuran 120 terpasang di sisi berseberangan dengan jendela kaca yang cukup besar, lemari kayu hitam menempel di satu satu dinding, sebuah meja belajar mengisi sisi lainnya dengan buku-buku, alat tulis dan gambar, serta laptop lengkap dengan printer tersusun rapi di atasnya. Tepat di samping jendela sebuah meja gambar teknik hidrolik berdiri dengan kertas A1 berisi rancangan infrastruktur jembatan terpasang di atasnya.
Oka berbaring di atas tempat tidur, matanya menatap langit-langit kamar tak ingin memejam, pikirannya berkelana memikirkan apa yang Bentari ceritakan padanya tadi.
Arunika … apa benar gadis itu sedang dalam masalah?
Mengingat kejadian tadi memang agak sedikit aneh ketika Arunika selalu menolak untuk diantar pulang, hingga Oka harus membawanya berkeliling tak tentu arah, mereka berhenti di salah satu masjid untuk shalat magrib dan makan nasi goreng pinggir jalan. Sesekali Oka akan mendengarnya menghela napas, dan ketika ditanya kenapa, dia akan menjawab.
“Aku nyesel lupa bawa HP, jadi kan tidak bisa foto lagi kencan sama Abang.”
“Kita tidak lagi kencan.”
“Iiih, Abang, suka malu-malu. Kita ini lagi kencan, Abaaang …” Dan Arunika kembali ngoceh mirip petasan di malam tahun baru, dan kini giliran Oka yang menghela napas harus mendengar ocehan gadis ceriwis itu.
Namun percayalah ternyata mendengar ocehan Arunika yang tak jelas, itu jauh lebih baik daripada melihat Arunika yang hanya terdiam.
Arunika Gantari … tak banyak yang Oka tahu tentang gadis bermata bulat itu, selama ini yang dia tahu Arunika adalah sosok yang ceria, manja, namun juga naif dan polos. Membayangkan Arunika yang ceria terpelosok ke dalam kehidupan malam, ada ketidak ikhlasan yang dirasa.
Tangan Oka mengambil ponsel yang dari tadi tergeletak di sampingnya.
Arunika :
Abang sudah sampai rumah? Terima kasih ya untuk hari ini … percaya tidak, kalau hari ini Abang telah menjadi penyelamatku?
Pesan itu datang sejam yang lalu.
Asoka :
Sudah dari tadi.
Sesaat Oka terdiam menatap layar ponsel sebelum akhirnya dia menghela napas sambil kembali mengetik sesuatu.
Asoka :
Besok ada kuliah jam berapa? Aku jemput.
“Ckkk!” Oka menutup matanya dengan lengan dan berusaha untuk tertidur ditemani suara khas Chris Martin mengalun lembut malam itu.
You’re always in my head
(Kau selalu di benakku)
Always in my …
(Selalu di …)
Always in my …
(Selalu di …)
This I guess, is to tell you
(Ini, kurasa, untuk memberitahumu)
You’re chosen out from the rest
(Bahwa kau telah terpilih dari yang lainnya)
(Always in my head – Coldplay)
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
sakura🇵🇸
arunika harus berterima kasih sama bentari nih😅 secara g langsung jadi comblangnya sama oka
2023-11-20
0
✨Susanti✨
like
2023-03-01
0
Lyta Mikaila Gunawan
dan arunika tdak asa di rmah
2022-11-08
0