Note:
Kalau yang kemarin itu bonus, kalau sekarang memang jadwalnya up, jadi selamat baca 😘
****
Kamar rumah sakit walaupun itu kelas VVIP dengan kemewahan dan kenyamanan layaknya kamar hotel berbintang, tetap saja namanya rumah sakit yang menguarkan kesedihan dan kesakitan dengan bau obat dan disinfektan yang menyengat. Mungkin bagi mereka yang kelebihan uang dan tak mengandalkan BPJS seperti masyarakat pada umumnya, memilih kamar VVIP di rumah sakit semata hanya untuk memberikan kenyamanan bagi yang sakit dan berharap menunjang proses kesembuhan.
Begitu pula dengan kamar yang dihuni H. Joko, walaupun terlihat nyaman tak seperti kamar rawat inap pada umumnya, tapi orang-orang yang berada di sana memerlihatkan wajah murung menunggu sosok tua yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan masker oksigen menutupi mulut dan hidung, selang inpus menempel di tangan kiri, sedangkan di tangan kanan terlihat alat yang menjepit jari telunjuknya yang terhubung dengan mesin EKG yang mengeluarkan bunyi bip konstan.
Mayang masuk terlebih dahulu disusul oleh Bentari dan Oka menarik perhatian beberapa orang yang berada di dalam kamar itu. Andi Santoso memeluk Bentari, sebelum dia memeluk Oka yang terkejut mendapat sambutan dari ayahnya.
“Terima kasih sudah datang.” Andi Santoso menepuk punggung Oka lembut.
Oka terdiam terkejut, ini adalah kali pertama dia mendapat pelukan dari ayahnya, selama ini dia masih menjaga jarak karena jujur saja masih ada sedikit kecanggungan bagi Oka ketika harus berhadapan dengan sosok ayahnya itu.
“Oka, tambah ganteng saja kamu.”
“Pakde.” Oka menyalami pakde Bayu setelah ayahnya melepaskan pelukan dan mengajaknya ke arah sofa dimana beberapa orang yang Oka tak kenal duduk di sana, yang ternyata adalah saudara-saudara sang ayah.
“Pak,” panggil Andi Santoso di samping tempat tidur ayahnya.
Perlahan mata H. Joko membuka.
“Cucu Bapak sudah datang.”
“Eyang.”
Bentari maju, duduk di kursi sebelah tempat tidur kemudian menggenggam tangan H. Joko yang walau tertutup masker terlihat bibirnya berkedut memerlihatkan senyum lemah ketika matanya menemukan sosok sang cucu yang matanya mulai memanas. Bagaimana tidak, orang yang selama ini diingat Bentari sebagai sosok keras kepala dengan tubuh segar bugar kini tergeletak lemah bahkan untuk tersenyumpun terlihat sangat sulit.
Bagi Bentari, H. Joko adalah kakek yang menyayanginya terlepas dari kesalahan yang membuatnya terpisah dari ibu kandungnya. Bentari masih ingat, dulu H. Joko sering membawanya menaiki motor untuk melihat peternakan atau hanya berkeliling di sore hari untuk mencari makanan, dan ketika keinginannya tidak dikabulkan sang ayah biasanya Bentari akan lari ke H. Joko yang akan langsung mengabulkan apapun keinginannya
“Maaf, saya baru datang sekarang.”
H. Joko mengedip dan bibirnya kembali berkedut mencoba untuk kembali tersenyum.
Matanya perlahan menatap Oka yang dari tadi berdiri di samping Bentari. Menyadari hal itu Bentai berdiri dan menyuruh Oka duduk. Tangan H. Joko sedikit terangkat, walau sedikit ragu Oka menggenggam tangan yang sudah keriput itu.
Mata Oka kini menatap mata tua yang pancaran kehidupannya seolah sudah meredup, perlahan mata abu-abu itu mulai basah sebelum air matanya ke luar dari kedua pelupuk mata, bibirnya berkedut bukan untuk tersenyum seperti yang dia lakakan kepada Bentari, tetapi akibat dari tangis tanpa suaranya.
Tangan Oka terulur menghapus air mata sang kakek yang baru saja dia kenal, seribu makna terpancar dari tatapan mata yang terus menatap Oka, mulutnya membuka walaupun lemah, tanpa suara dan terhalang masker oksigen, tapi Oka mengerti apa yang ingin diucapkan pria tua itu.
Oka menundukan kepala berbisik lembut di telinga H, Joko.
“Bismillahirohmanirohim … saya, mamah, teteh dan kakak sudah memaafkan Eyang.” Oka menalan ludahnya yang terasa berat sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Eyang bisa beristirahat dengan tenang.”
Tanpa suara H. Joko tergugu terlihat dari badannya yang bergoncang dan air mata yang ke luar dengan deras.
Ada perasaan lega ketika kata maaf itu terucap, seolah menghilangkan sesuatu yang berat bercokol di dalam hati yang menggerogoti jiwa. Oka bersyukur semua belum terlambat, karena dia tak ingin meninggalkan penyesalan yang membuat langkahnya terasa berat untuk menyongsong masa depan.
Siang itu Oka telah menghapus semua dendam masalalunya kepada sang kakek. Seperti orangtua yang tak pernah ada sebutan mantan, begitu pula dengan kakek, nenek, pakde, bude, om, tante, cucu, keponakan dan kekerabatan yang terhubung dengan darah lainnya. Tak pernah ada sebutan mantan untuk mereka.
Dan sorenya berita duka itupun terdengar meninggalkan kesedihan bagi keluarga dan kerabat. Jenazah langsung dibawa ke Mojokerto untuk dimakamkan di makam keluarga, di samping pusara sang istri yang telah lama mendahuluinya.
Iring-iringan mobil jenazah sampai di rumah duka ketika malam menjelang, namun kerabat, tentangga, para pekerja, dan handai taulan terlihat memenuhi kursi-kursi plastik yang terpasang di halaman rumah menyambut kedatangan sang pemilik peternakan kambing etawa yang telah tiada. Bendera kuning terpasang sebagai tanda duka yang menyelimuti seluruh keluarga, karangan bunga berjajar hingga ke luar memenuhi sisi jalanan sebagai ucapan bela sungkawa dari mereka yang ikut berduka atas kehilangan ayah, kakek, dan kerabat.
Oka menghubungi bu Mega dan Kirana memberikan kabar duka, namun dengan menyesal mereka tidak dapat datang ke Mojokerto dan hanya menyampaikan ucapan bela sungkawa lewat Oka yang dari tadi duduk menemani Bentari dan Mayang yang terlihat sangat kehilangan sosok kakek dan ayah mertua.
Keesokan harinya prosesi pemakamanpun dilakukan. Oka mengenakan kemeja hitam yang disiapkan Mayang, ikut memikul keranda jenazah bersama dengan Andi Santoso. Jujur saja Oka tidak merasakan kehilangan atau kesedihan yang mendalam seperti halnya yang dirasakan Bentari, tapi dia melakukan apapun yang dia bisa bantu untuk membuat pemakaman itu berjalan lancar termasuk kurang tidur karena semalaman dia begadang menemani ayah dan saudaranya yang lain.
Dia baru bisa tidur setelah malamnya selesai tahlilan mereka semua kembali ke Surabaya, dan Oka-pun langsung tidur seperti orang yang pingsan, tapi paginya sudah kembali bangun. Mungkin kebiasaan begadang akhir-akhir ini memersiapkan OSPEK seperti sudah menjadi kebiasaan, seolah ada alarm dalam tubuhnya yang membuatnya terbangun pagi-pagi.
Asoka :
TA*, masih di Surabaya, belum bisa balik Jakarta. (*Titip absen)
Oka menyeruput kopi hitam yang menemaninya di taman belakang depan kolam renang.
Kemal :
Udah lo tenang saja di sana, masalah absen serahin ma gue. Apa sih yang gak buat lo.
Oka berdecih membaca balasan Kemal. Kemarin dia memberi kabar teman-temannya, meminta tolong titip absen, dan Kemal dengan senang hati membantunya sebagai balasan karena telah mentraktik es teh seluruh panitia OSPEK fakultas, atas namanya.
Asoka :
Thanks, gue doain pdkt lo sama Rahma lancar.
Kemal :
Aamiin ...
Kemal :
BTW* kalau investor lo jadi nanam modal, jangan lupa ajak-ajak gue. Gue rela jadi kacung lo. (*by the way \= ngomong-ngomong)
Oka tersenyum membaca pesan dari Kemal yang masih salah paham mengenai Andi Santoso yang dia kira seorang investor.
Asoka :
Gampang, nanti gue kosongin posisi manager buat lo.
Kemal :
Serius lo ya! Gue doain biar usaha lo lancar.
Asoka :
Aamiin
Oka kembali membaca satu persatu pesan masuk yang belum dibaca dari kemarin termasuk dari Kirana dan bu Mega yang menanyakan tentang prosesi pemakaman, juga dari teman-temannya ikut belasungkawa setelah membaca status whatsapp-nya.
Asoka :
Pemakamannya sudah selesai kemarin. Telat nanyanya.
Oka membalas pesan dari Kirana, yang langsung dapat balasan dari kakaknya itu.
Kirana :
Eh, Dudung, yang telat itu yang balasnya bukan yang nanyanya!
“Hahaha.”
Kirana pasti sangat kesal membaca jbalasan dari pesannya yang dia kirim kemarin.
Oka kembali membalas pesan dari teman-temannya dengan hanya mengetikan … aamiin, thanks, termasuk pesan dari Arunika.
Arunika :
Abaaang, yang sabar ya Bang. Mudah-mudahan almarhum husnul khotimah, diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya, dan ditempatkan di tempat terbaik … aamiin. Salam buat mertua dan kakak-kakak ipar ya, Bang, semoga selalu diberi kesehatan dan kesabaran.
Asoka :
Aamiin, thanks ya.
Arunika :
Abaaaang, aku terharu abang mengamini doaku menjadikan orangtua abang mertuaku dan kakak-kakak abang jadi iparku … aamiin ya Bang, semoga disegerakan. Eh jangan sekarang-sekarang deh, abang harus kerja dulu dan aku lulus kuliah dulu.
Arunika :
Yang sabar ya, Bang, untuk menghalalkanku.
Arunika :
Tenang, Bang, aku selalu setia menanti abang di sini.
Oka hampir saja tersedak membaca pesan Arunika.
Di sisi lain Arunika terbahak-bahak membayangkan wajah Oka ketika membaca pesannya. Selalu menyenangkan untuk menggoda seorang Asoka Danubrata yang tidak peka. Menurut kamus seorang Arunika untuk menghadapi lelaki cuek dan tidak peka seperti Oka adalah dengan tidak menyembunyikan perasaannya, kalau dia ikut-ikutan malu dan hanya menunggu si pria mengungkap perasaannya lebih dulu, itu sama saja seperti menunggu Kim Jong Un jadi member BTS, alias tidak mungkin!
“Ka, kita pergi sekarang?”
Oka memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana, tak menghiraukan pesan yang kembali masuk. Dia mengikuti Mayang ke luar dari rumah.
Semalam Mayang meminta Oka untuk menemaninya ke suatu tempat, entah kemana. Sepanjang jalan Oka kembali sibuk dengan ponselnya. Tidak, bukan membalas pesan Arunika yang sedang bercerita tentang kegiatan kuliah pertamanya, dan tentang si Alexander kucing kesayangannya yang sedang patah hati karena ternyata Inah sang kucing kampung yang menjadi gebetan Alexander selingkuh dengan kucing preman kampung.
Oka sibuk dengan gamenya hanya untuk menghilangkan keheningan yang membuat kecanggungan yang sangat terasa di dalam mobil. Saat ini hanya ada Oka, Mayang dan seorang supir. Bentari memilih untuk berenang dan beristirahat di rumah, sedangkan Andi Santoso pergi ke kantor karena ada sesuatu yang harus dikerjakan.
Jam baru menunjukan jam 9 pagi ketika mobil mereka berhenti di pelataran parkir sebuah bangunan berlantai 6 dengan logo sebuah bank milik negara. Kantor pusat, Oka rasa.
“Bu Mayang.”
Mayang menyalami seorang pria berumur 40 tahunan yang berpakain rapi, lengkap dengan dasi dan jasnya, tangan kirinya menenteng tas kerja warna hitam.
“Ini Asoka, putra saya, yang saya cerita beberapa hari lalu.”
Sedikit terkejut mendengar Mayang ketika mengenalkannya, Oka menyalami pria yang mengenalkan diri bernama Yudi.
“Kita ke atas, Pak Hadi sudah menunggu kita.”
Mereka bertiga dengan menaiki lift menuju lantai 4, dimana ruang direksi berada. Oka hanya terdiam bingung dengan tujuan mereka datang ke sini. Yudi terlihat berbicara dengan sekertaris direksi sebelum akhirnya dia mempersilahkan mereka bertiga untuk memasuki sebuah ruangan dimana terdapat dua orang pria. Oka kembali menyalami keduanya setelah Yudi mengenalkan mereka.
Ruangan yang nyaman untuk sebuah kantor, sofa empuk, ruangan yang luas dengan jendela lebar memerlihatkan pemandangan luar, air conditioner yang menyegarkan ruangan, benar-benar sebuah fasilitas kantor yang membuat iri para staff yang harus berada di dalam kubikel-kubikel sempit yang hanya memuat satu meja kerja dimana di atasnya berdesakan PC, telepon, dan dokumen-dokumen yang berserakan.
“Ka, boleh pinjam KTP nya?”
Oka tersadar dari pengamatannya mengenai ruangan ketika terdengar suara Mayang.
“KTP saya?”
“Iya.”
Dengan ragu Oka mengeluarkan KTP nya dari dalam dompet. Oka pikir dia menemani Mayang yang akan melakukan transaksi dalam jumlah besar, tapi untuk apa mereka memerlukan KTP Oka?
Jujur saja dari tadi Oka tidak tertarik untuk ikut dalam percakapan mereka, jadi dia tidak tahu apapun sampai akhirnya perempuan yang tadi menyambut mereka di depan kembali lagi dengan KTP Oka yang sudah di copy beberapa lembar. Yudi dan salah satu pekerja bank menuliskan identitas Oka di dalam dokumen sebelum meminta Mayang dan Oka menandatanginya.
“Nanti saya akan menceritakannya. Saya tidak akan menipu kamu,” ucap Mayang setelah melihat Oka ragu untuk menandatanginya.
Deposito?
Oka melihat sekilas dokumen itu sebelum menandatanganinya.
“Sudah selesai, Bu. Kini deposito atas nama Mayang Wicaksono telah beralih nama menjadi Asoka Danubrata.”
Oka membelalakan mata menatap Mayang yang hanya tersenyum mendengar ucapan Yudi yang ternyata seorang notaris.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
kalea rizuky
kasih jodoh mameg donk kasian ih besarin anak sendirian wktunya bahagia
2025-03-02
0
✨️ɛ.
badboy lebih meresahkan, bang.. ujar si Inah..
2024-11-13
0
sakura🇵🇸
😭😭😭😭 jadi terharu...bu mayang baik banget,mungkin dia pengen menebus kesalahannya menyembunyikan bentari
2023-11-17
0