Sofa warna-warna cerah, pot besar berisi tanaman monstera di satu sudut ruangan, di sudut lainnya dihiasi oleh palm bambu, dan beberapa pot lidah mertua. Di satu dinding terdapat rak berisi maket, replika kendaraan, juga beberapa tanaman sukulen dan lili paris yang tersusun rapi membuat ruangan itu terasa segar karena tumbuhan-tumbuhan hijau yang menyerap polusi dan menghasilkan oksigen. Sebuah lobi yang sengaja dirancang untuk kenyamanan para tamu, termasuk Mayang yang terlihat nyaman duduk di salah satu sofa warna merah walaupun matanya tak lepas dari ponsel.
Maket masterplan berukuran 2x3 meter yang memerlihatkan sebuah kawasan perumahan dalam bentuk miniature rumah, pohon-pohon juga kendaraan yang tersusun dengan rapi dan cantik, menarik perhatian Oka.
Setelah dari café, Mayang mengajak Oka ke kantor Andi Santoso. Gedung berlantai empat yang terletak di Jl. Jenderal Basuki Rahmat - Surabaya, dengan papan nama bertuliskan BUMI lengkap dengan gambar atap rumah di atasnya dan slogan “Build the world with heart” di bagian bawah.
“Bagaimana menurutmu?”
Oka menatap ke arah suara. Andi Santoso telah berdiri di sampingnya dengan mata mengawasi maket masterplan yang menghiasi sisi lain lobi, bersama dua maket masterplan yang ukurannya lebih kecil.
Oka kembali mengamati miniatur-miniatur rumah di hadapannya sambil berkata santai, “Akan membutuhkan biaya pembebasan tanah yang banyak.”
“Iya, cukup banyak. Tapi setimpal.”
Oka mengangkat alis sambil berjalan perlahan mengelilingi meja maket.
“Apa ini sudah selesai?”
“Belum. Baru selesai pembebasan lahan, rencananya nanti akan dibangun …”
Andi Santoso ikut berjalan di belakang Oka menjelaskan tentang mega proyek BUMI, terlihat seperti seseorang yang tengah mempresentasikan proyeknya kepada seorang investor yang hanya terdiam mendengarkan. Terkadang Oka mengerutkan atau mengangkat alisnya mendengar penjelasan ayahnya.
“Lokasinya di Jonggol.”
“Jonggol?” Oka menatap Andi Santoso yang menganggukkan kepala.
“Perbatasan Cileungsi dan Jonggol lebih tepatnya.Tidak bisa dipungkiri berkurangnya lahan di Jakarta membuat orang-orang yang menggantungkan pekerjaannya di sana melirik daerah-daerah pendukung Ibu Kota sebagai tempat tinggal. Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor, menjadi magnet dunia property untuk menyediakan hunian bagi mereka.”
Oke, untuk kota-kota yang baru saja disebutkan ayahnya itu Oka sudah mengetahui itu, tapi …
“Tapi Jonggol terlalu jauh dan akses dari sana terbatas. Orang yang bekerja sebut saja di daerah Pusat harus rela ke luar dari rumah setelah shalat subuh kalau tidak ingin terlambat, belum lagi anak-anak sekolahan, mereka bisa terlambat setiap hari.”
Oka menggelengkan kepala yang disambut senyum Andi Santoso.
“Ini.” Andi Santoso menunjuk sebuah area di dalam maket dengan beberapa maket gedung lebih besar membentuk suatu komplek tersendiri. “Akan dibangun sekolah dengan standar internasional, dari jenjang TK sampai SMA. Untuk mereka yang beraktifitas di luar nanti akan tersedia shuttle bus yang akan mengantar mereka ke stasiun MRT atau busway terdekat.” Andi Santoso menunjuk area miniature halte.
Oka mengangguk-anggukan kepala, matanya menatap maket serius. Tentu saja sebagai mahasiswa teknik, ini sangat menarik baginya.
“Dan yang penting ayah mendapat informasi yang bisa dipercaya kalau nanti akan dibangun tol yang akan terhubung ke tol Jagorawi dan dalam kota.”
“Tol di Jonggol? Dengan karakteristik geografis seperti itu?”
“Tentu saja bukan di Jonggolnya persis, hanya memerlukan waktu kurang lebih 20 menit dari lokasi, jadi nanti …” Andi Santoso kembali melanjutkan penjelasannya.
Ini adalah pembicaraan terpanjang pertama antar Oka dan Andi Santoso. Mungkin benar ketika perempuan menjadi akrab dengan membicarakan discount, fashion, make up, gossip, dan sederet hobi yang sama. Priapun sama, mereka akan akrab dengan membicarakan club sepakbola, musik, dan mungkin … pekerjaan. Itu terbukti oleh Oka dan ayahnya yang untuk kali pertamanya mereka bisa berbicara dengan lancar, tanpa canggung dan mungkin saja mereka akan terus berbicara tentang pekerjaan seandainya Mayang tidak menginterupsi dan mengatakan kalau Bentari telah menunggunya di restoran untuk makan siang.
“Kalian membuatku hampir kelaparan,” keluh Bentari seketika melihat Oka, Andi Santoso dan Mayang memasuki salah satu restoran Jepang yang berada di Tunjungan Plaza mall.
“Lebay.” Oka duduk dengan santai di samping Bentari.
“Adekku yang imut tolong ini mulutnya yaaa!”
“Aa…w!” Oka mengelus-elus pipinya yang dicubit Bentari. “Sakit tahu!”
“Sakit ya, Dek? Sini kakak cium biar nggak sakit.”
Bentari memonyongkan bibirnya ke arah Oka yang langsung meraup muka cantik Bentari dengan sebelah tangan kemudian mendorongnya menjauh.
“Jauh-jauh! Malas harus mandi 7 kali kalau sampai kamu cium, Kak.”
“Dikira najis mughalazah apa, sampai harus dibasuh 7 kali!” (*Najis besar)
Oka hanya mengedikan bahu santai membuat Bentari berdecak sambil mendelik mengakui kekalahannya.
Interaksi keduanya membuat Andi Santoso dan Mayang terkejut, selama ini mereka mengetahui bagaimana Oka masih menjaga jarak dari Bentari, pun sama halnya dengan Bentari yang selalu canggung, ragu untuk mendekatkan diri dengan Oka. Tapi lihatlah sekarang, Bentari sudah berani menggoda Oka dan Oka tanpa ragu melakukan hal yang sama.
Namun begitu, perlakukan Oka kepada sang ayah masih sama. Di dalam mobil tadi, keakraban mereka (kalau boleh itu dibilang akrab) ketika membicarakan proyek BUMI seolah menguap dan kembali ke mode canggung. Selama mereka makan Oka hanya menjawab pertanyaan ayahnya dengan singkat namun tidak padat apalagi jelas.
“Bagaimana kuliahmu?”
“Baik.”
Hening.
“Tidak ada kendala kan?”
“Tidak.”
Hening.
“Kalau perlu apa-apa jangan lupa hubungi ayah.”
“Iya.”
Hening.
Dan akhirnya Andi Santoso pun menyerah untuk membuat Oka berbicara lebih dari itu.
“Tadi Birendra ke rumah” ucap Bentari memecah keheningan dan kecanggunan. “Mau bertemu ayah untuk mengucapkan bela sungkawa,” lanjutnya sambil menyuap shabu-shabu.
“Oh ya? Kenapa dia tidak menghubungi ayah?”
Bentari hanya mengedikkan bahunya santai, tapi tentu saja hatinya tidak santai. Bagaimana bisa santai setelah tadi dia dikejutkan oleh Birendra yang duduk di ruang tamu dengan kemeja dan celana hitam, terlihat tampan dan lebih dewasa walaupu tubuhnya terlihat lebih kurus.
Beberapa saat mereka hanya terdiam saling pandang. Birendra masih dengan wajah tanpa ekspresinya sedangkan Bentari … antara benci dan rindu yang menyatu menjadi satu. Dia ingin berlaku pura-pura tak mengenalnya seperti yang dilakukan Birendra padanya, tapi susah … hati tak bisa dibohongi kalau dia masih merindukan pria berkaca mata itu. Perasaan yang tidak boleh dia rasakan, karena bagaimanapun Birendra kini telah menjadi suami orang kan?
“Terus? Ngobrol? Awas CLBK, ingat dia suami orang.”
“Tidak perlu diingetin, udah di luar kepala, merasuk dalam hati kalau itu.”
“Ya, siapa tahu khilaf, namanya juga masih cinta,” ucap Oka santai sambil memasukan irisan daging tipis ke dalam kuah shabu-shabu, kemudian menyuapnya.
“Untungnya sebentar jadi tak sempat khilaf tadi. Cuma nanya ayah. Aku bilang ayah di kantor, terus dia pulang setelah mengucapkan belasungkawa.” Bentari menyuap jamur shitake lengkap dengan kuahnya.
“Siapa yang sudah menikah?” Andi Santoso bertanya sambil menatap Bentari dan Oka bergantian.
“Mantan calon mantu ayah,” jawab Oka membuat Andi Santoso mengangkat alis.
“Birendra? Kok ayah tidak tahu kalau Birendra sudah menikah?”
“Ayah tidak diundang?” Bentari menatap ayahnya yang menggelengkan kepala.
“Tidak. Pak Bram juga tidak cerita apa-apa soal Birendra yang sudah nikah.”
“Sepertinya Birendra tidak mungkin tidak mengundang kita kalau memang menikah,” ucap Mayang yang membut Bentari semakin terdiam karena yang dikatakan oleh ibu sambunya itu benar. Birendra tidak mungkin tidak memberi kabar tentang pernikahannya kepada ayahnya.
Sebetulnya tadi ketika Birendra hendak pulang Bentari menahannya dengan sebuah pertanyaan.
“Apa yang kemarin itu istri Mas Abhi?” Birendra terdiam. “Kenapa pura-pura tidak mengenalku kemarin? Takut istri Mas Abhi marah? Mas Abhi bisa mengenalkannya kepadaku agar tidak salah paham.” Birendra masih terdiam dengan mata menatap Bentari yang terlihat cantik seperti biasanya.
“Dan membuatmu memikirkan sebuah rencana seperti yang akan kamu lakukan kepada kakakmu dulu ketika dia merebut Caraka darimu?”
Hati Bentari terasa diremas membuat tubuhnya seketika gemetar, wajahnya pasti sudah pucat pasi. Apa ini yang dipikirkan Birendra selama ini kepadanya? Seorang perempuan jahat? Bukankah dia telah mengetahui kebenarannya, kalau dia tidak terlibat dengan kasus Kirana dulu?
Bentari mungkin tidak akan sesakit hati ini seandainya orang lain yang mengatakan itu. Namun ini Birendra. Lelaki yang sempat dia cintai, atau mungkin masih dia cintai. Lelaki yang dulu berdiri di sampingnya, membelanya, tapi kini lelaki itu bisa dengan santainya pergi begitu saja tanpa rasa bersalah setelah menancapkan sebilah pisau lewat kata-katanya.
***
Bandara Internasional Juanda, Surabaya.
“Tante harap kamu akan sering datang ke Surabaya untuk menengok tante. Kamu tahu sendirikan, ayahmu lebih banyak di kantor jadi tante sedirian di rumah.”
“Insyaallah, Tan, nanti saya datang lagi.”
“Tenang, Mah, nanti Bi akan ajak Oka ke Surabaya bareng sama teteh dan Danish juga. Mamah harus ketemu Danish, dia lucu banget, Mah, gemesin deh.”
“Iya Mamah kangen sama Danish, kemarin waktu teteh ke sini Danish tidak dibawa. Ya, pokoknya kalian semua harus sering datang ke Surabaya.”
“Iya, Mamah tenang saja.” Bentari memeluk perempuan yang sudah merawatnya dari kecil, perempun yang selama ini dia anggap ibu kandungnya.
Setelah makan siang tadi mereka langsung menuju bandara untuk kembali ke Jakarta.
“Salam untuk pakde Bayu dan yang lainnya, maaf kami tidak bisa lama-lama soalnya saya harus kuliah.” Mayang mengangguk mengerti, matanya menatap Oka lembut seperti dia menatap Bentari. “Sebetulnya saya bisa saja pulang sendiri, tapi sepertinya ada yang patah hati, jadi harus menghindar.”
“Mulutnya nih ya, mulutnya!!!”
Bentari memukul mulut Oka yang tersenyum lebar karena berhasil membuat kakaknya kesal.
“Ayo, kita masuk! Nanti ketinggalan pesawat … Bi ke Jakarta dulu ya.”
“Jaga kesehatan ya, Sayang. Di sana jangan manja, jangan merepotkan mamah Mega sama teteh.”
“Tenang Bi tidak akan merepotkan mamah Mega sama teteh, cukup bikin repot adek bungsu saja.”
Bentari tersenyum mendengar decakan Oka yang hendak menyalami Andi Santoso.
“Titip ibu dan kakak-kakakmu,” ucap Andi Santoso sambil menepuk bahu Oka yang hanya mengangguk, sebelum kemudian menyalami Mayang, yang malah memeluknya membuat Oka kaget untuk sesaat sebelum balas memeluk.
“Ayah jangan lembur terus, jaga Kesehatan.” Bentari memeluk Andi Santoso yang tersenyum, tangannya menepuk punggung putrinya lembut. “Sabar dengan Oka ya, Yah. Dia anak baik hanya keras kepala seperti ayah,” bisik Bentari membuat ayahnya kembali tersenyum sambil mengangguk.
“Katanya takut telat. Cepetan, dasar manja!”
Bentari melepaskan pelukan sambil berdecak.
“Iri ya pengen dipeluk juga? Bilang dong kalau mau dipeluk. Sini-sini!”
“Iiih, amit-amit!” Oka bergidik sambil mundur beberapa langkah. “Saya pulang dulu, assalamualaikum!” Oka berbalik dan dengan cepat berjalan meninggalkan Bentari yang tertawa melihanya.
“Kami pergi dulu ya … assalamualaikum!”
“Wa’alaikumsalam.”
“Adek, tunggu!” Bentari berjalan cepat menyusul Oka kemudian menggandengnya walau terlihat Oka berusaha melepaskan, tapi Bentari malah semakin sengaja dan memeluknya erat.
Yang dikatakan Oka mungkin saja benar, Bentari kini tengah kembali patah hati dan perlu menghindar agar bisa kembali menata hatinya. Dan untuk melakukan itu dia perlu berada jauh dari kota yang memberinya banyak kenangan ketika mereka dulu masih bersama.
Namun tanpa Bentari tahu tak berselang berapa lama seorang pria berkemeja dan celana hitam berjalan di bandara itu dengan sebuah tiket untuk kembali ke Jakarta.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
✨️ɛ.
kamu sengaja begitu kan, mas.. biar Bentari cepat move on.. ☹️
2024-11-13
1
🔴 Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka
astagaa jahatnya kamu Abhi
2024-02-06
1
sakura🇵🇸
birendra juga gagal move on ya?mau memata2i bentari😄
2023-11-17
0