“Adek!”
Suara jepretan kamera ponsel langsung berbunyi ketika Oka yang duduk di pinggir jendela pesawat menengok ke arah Bentari yang sudah siap dengan gayanya.
“Apaan sih, Kak, norak banget.”
“Bukan norak, tapi buat kenang-kenangan.”
“Jangan diupload di medsos. Awas saja kalau sampai di up.”
“Iya-iya, cerewet … sini-sini, sekali lagi.” Bentari kembali mencari posisi yang bagus untuk di foto dan kali ini Oka terlihat pasrah mengikuti kemauan kakaknya. “Senyum dong biar ganteng.”
“Diam juga sudah ganteng, terlihat cool gitu.”
“Iya-iya, tapi kakak sekarang tidak suka cowok yang kul-kul gitu bikin sakit hati.”
“Cie … yang belum bisa move on dari si Freezer.”
“Pokoknya sekarang kakak mau cari yang hot, tapi juga cool.”
“Dispenser dong! Hahaha.”
“Biarin dari pada freezer berjalan.”
“Hahaha.”
“Cepetan sini! Senyum ya biar hot seperti kompor gas abang-abang nasi goreng.” Oka menghela napas, tapi kemudian mengikuti arahan Bentari untuk tersenyum lebar. “Nah gitu dong … beuh! Ini sih kompor empat tungku hotnya.”
“Cepetan!”
“Hahaha.” Bentari tertawa sebelum akhirnya mengambil foto mereka berdua. “Nah sekarang kamu nengok ke arah luar, tapi dikit saja.”
“Ngapain lagi.”
“Kita foto tema misteri kali ini. Cepat sebelum pesawat take off.”
Oka menghela napas pasrah demi membuat senang yang lagi patah hati. Sesuai arahan Bentari, Oka menurut, wajahnya sedikit menengok ke jendela, matanya menatap luar terlihat melamun, rambut gondrongnya dikuncir, namun sebagian helaian rambut bagian depan menutupi wajahnya.
“Keren!”
Bentari dengan takjub melihat hasil jepretannya. Cahaya dari luar membuat foto Oka hanya terlihat seperti siluet saja, hidungnya yang mancung dan garis rahangnya yang tegas terlihat sempurna.
“Ini karena modelnya yang keren,” ucap Oka setelah melihat hasilnya. “Kirimin, Kak.”
“Buat diupload di medsos yaaa.”
“Aku tuh tidak sealay kakak ya.”
“Hei, Kisanak, yang dulu foto di depan mobil kakang sama mobilnya Candra trus diupload di medsos itu siapa?”
Oka terdiam kemudian meringis mengingat dulu dia pernah melakukan hal senorak itu.
“Semua pernah alay pada masanya.”
“Hahaha.”
Bentari tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengolok-olok Oka. Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang baru saja masuk di detik terakhir cek in dan hampir saja terlambat yang kini duduk satu baris di belakang mereka pada barisan tengah, seorang pria berkacamata dengan stelan hitam-hitam duduk dengan jantung berdebar cepat mendengar suara tawa dari perempuan yang sangat dia rindukan, namun telah dia sakiti hatinya.
****
Bandara udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Kurang lebih satu jam kemudian pesawat yang mereka tumpangi berhasil mendarat di bandara Halim perdana Kusuma, sebuah bandara yang berada di daerah Jakarta Timur.
“Nanti kakak cari taksi, aku ambil barang-barang.” Saat ini Oka dan Bentari tengah berjalan di garbarata (jembatan seperti lorong yang menghubungkan pesawat dengan gedung bandara).
“Oke, sip!”
“Kakak duluan saja ke luar, cari taksi biar kita bisa langsung pulang.”
“Siap!”
“Kalau sudah dapat, suruh tunggu dulu.”
“Wokeh.”
Oka mengerutkan alis mendengar jawaban Bentari yang beberapa kali menengok ke belakang.
“Cari siapa sih?” Oka ikut celingukan ke arah belakang di antara kerumunan orang-orang yang baru turun dari pesawat seperti mereka.
“Tidak …” Bentari mengerutkan alis. “Tidak mungkin dia ada di sini.” Kepalanya kembali menengok ke arah belakang sebelum dia menggelengkan kepala. “Sepertinya aku perlu makan bakso yang pedas sampai berhalusinasi lihat penampakan di sini.”
Oka mengangkat alis kemudian mengedikan bahu tak mengerti dengan ucapan kakaknya itu. Mereka menuruni eskalator menuju area bagasi. Seperti yang telah disepakati Oka menunggu barang-barang mereka, sedangkan Bentari langsung menuju lobi pintu kedatangan.
Sambil berjalan Bentari kembali mengaktifkan data selular ponselnya dan saat itulah pesan dari Kirana sampai.
Kirana :
Jadi pulang hari ini?
Bentari :
Baru saja landing di Halim.
Kirana :
Alhamdulillah, ada yang jemput tidak?
Bentari :
Pakai taksi.
Kirana :
Kalau bilang dari tadi teteh nyuruh sopir buat jemput kalian.
Bentari :
Tidak perlu, Teh, Bi sekarang punya bodyguard yang mulutnya pedes ngalahin cabe rawit.
Kirana :
Hahaha, dia memang nyebelin kalau ngomong, kamu jangan sampai kalah dong kalau dia cabe rawit, kamu jadi jalapeno.
Bentari terus saja berkirim pesan dengan Kirana sambil jalan dengan kepala menunduk seolah lupa kalau dia tengah berjalan di dalam lobi bandara yang cukup padat.
Beberapa langkah di belakangnya seorang pria terlihat mengawasinya, matanya terlihat khawatir, tangannya beberapa kali terulur setiap Bentari mau bertabrakan dengan orang lain, tapi entah memiliki sensor gerak atau bagaimana setiap akan bertabrakan Bentari akan menghentikan langkahnya menatap ke depan sebentar sebelum kemudian kembali tertunduk dan fokus dengan ponselnya.
Birendra yang melihat itu beberapa kali mengumpat dalam hati, mengutuk siapapun yang menghubungi Bentari lewat pesan saat ini. Bentari, perempuan itu dan kebiasaannya yang kadang terlihat ceroboh, bagaimana kalau dia nabrak tiang, atau yang paling parah bagaimana kalau ini di jalanan dan tiba-tba saja ada mobil atau motor yang menabraknya karena dia terlalu fokus dengan ponsel.
Baru saja Berindra berpikir tentang hal itu, ujung matanya melihat seorang pria berkaos biru muda sebagai seragam porter bandara tengah mendorong troli yang penuh dengan tas terlihat terburu-buru menuju arah Bentari yang masih fokus dengan ponselnya.
“Awas!” teriak porter itu yang terlihat kesulitan menghentikan laju troli.
Mendengar teriakan sang porter, Bentari menghentikan langkahnya, dia menengok ke arah suara seketika matanya terbelalak, namun tubuhnya menjadi kaku tak mampu bergerak ketika melihat troli yang penuh dengan tumpukan tas melaju ke arahnya. Kakinya seolah dipasak ke dalam tanah tak mampu bergerak, dia hanya bisa memejamkan mata dengan jantung berdetak cepat, tapi tiba-tiba tubuhnya berputar, seseorang menariknya ke dalam pelukan.
Wangi parfum ini … wangi yang sangat Bentari kenal, wangi yang seolah menjadi candu baginya. Ketakutannya perlahan sirna berganti dengan ketenangan.
“Maaf, Mas, maaf.” Porter itu sedikit membungkukan badan meminta maaf ke arah Birendra yang memeluk Bentari namun matanya menatap tajam sang porter walau pria berseragam biru muda itu telah pergi menjauh.
Beberapa saat mereka masih berdiri dengan Bentari dalam pelukan Birendra, tak memedulikan kalau hal itu menjadi tontonan beberapa orang yang lalu lalang di sekililing mereka.
“Kamu tidak apa-apa? Tidak terluka?”
Mendengar suara Birendra kembali mengingatkan Bentari kepada kalimat yang pria itu ucapkan beberapa jam yang lalu. Perkataan yang sukses membuat hatinya terasa sakit hingga tubuhnya gemetar, memucat. Dengan kesadaran itu Bentari mendorong tubuh Birendra menjauh.
Bentari mengambil napas dalam, menguatkan hatinya sebelum dia menatap Birendra yang juga tengah menatapnya.
“Terima kasih,” ucap Bentari dengan suara setenang mungkin.
Birendra terdiam sesaat, dia sangat paham kalau perempuan di hadapannya kini tengah menahan amarah karena ucapannya tadi, tapi harus dia lakukan kalau tidak … mungkin bukan hanya troli barang yang akan menghantam tubuhnya. Birendra mengusir pikiran itu sebelum kembali menatap Bentari.
“Kalau jalan jangan terlalu fokus sama ponsel, lihat sekeliling. Kalau ada apa-apa bagaimana?”
Bentari hanya terdiam mendengar ucapan Birendra dan dia baru akan menjawab ucapan itu ketika tiba-tiba tubuh tinggi menjulang dengan rambut gondrong dikucir berdiri di tengah, menutup pangdangannya kepada Birendra.
Oka berdiri dengan koper dan sebuah travel bag di sampingnya, tangannya dilipat di atas dada, kepalanya sedikit miring menatap tajam Birendra yang masih tanpa ekspresi.
“Ada perlu apa dengan kakak saya?”
Birendra menangangkat alisnya mendengar pertanyaan Oka.
“Tidak ada.”
Oka menganggukkan kepala, kemudian membalikkan badan menghadap Bentari yang berusaha mengintip Birendra di balik tubuh Oka.
“Kak, ingat kata mamah! Kita tidak boleh bicara dengan sembarang orang … apalagi sama orang yang tidak kita kenal. Kalau culik gimana? Aku tidak mau bayar tebusan kalau sampai kakak di culik.”
Bentari mengangkat alis mendengar ocehan tak jelas Oka sebelum akhirnya dia berkata.
“Tadi kakak khilaf … seperti dihipnotis gitu.”
“Tuh kan ngeri … ayo kita pulang sekarang.” Oka kembali membalikan tubuh, tangan kanannya menarik koper dengan travel bag di atasnya, sesaat Oka menatap tajam Birendra sambil berkata, “Freezer.” Sebelum tangan kirinya merangkul bahu Bentari dan berjalan meninggalkan Birendra yang masih berdiri menatap kedua kakak beradik yang terlihat akrab.
“Diam, tidak perlu nengok-nengok ke belakang!” Geram Oka pelan sambil sedikit memiting leher Bentari yang masih ingin melihat Birendra.
“Terakhir, mumpung ada kesempatan … aww!” Bentari hendak kembali menengok ketika Oka mengetatkan rangkulannya.
“Mau move on gimana coba, kalau kayak gitu terus,” bisik Oka.
“Habis ini move on, kakak janji.”
Oka mengggelengkan kepala sambil terus berjalan menuju arah luar pintu kedatangan.
“Kok dia bisa ada di sini?”
Bentari terdiam kemudian mengedikkan bahu.
“Tidak tahu.” Diam-diam Bentari mengintip ke arah belakang, tak jauh dari mereka Birendra berjalan ke arah yang sama. “Dia ngikutin kita!”
“Bukan ngikutin, emang ini jalan keluar satu-satunya.”
“Oh iya, lupa.”
“Jangan GR deh.”
“Siapa yang GR, cuma hati-hati kalau dia ngikutin kita bagaimana.”
“Tidak mungkin!”
Mereka berdua terus berbicara dengan bisik-bisik atau kadang geraman dari Oka sepanjang perjalanan menuju tempat taksi. Mereka langsung masuk ke dalam taksi dan pergi meninggalkan area bandara.
Sesaat mata Bentari dan Birendra bertemu ketika taksi yang ditumpangi Oka dan Bentari melintas melewati Birendra yang masih berdiri memerhatikan dalam diam.
“Sudah dua kali kami bertemu di Jakarta … kenapa dia ada di Jakarta ya?” Bentari masih penasaran dengan keberadaan Birendra di Jakarta
.
“Mungkin pekerjaan,” jawab Oka sambil membuka ponselnya, tadi dia sempat meng-upload foto 'misteri' yang diambil Bentari di dalam pesawat dan mendapat banyak balasan salah satunya dari Arunika.
Arunika :
Abaaaang, masyaallah calon imam aku, ganteng bangeeeet 😍😍😍
Abang lagi ngelamunin aku ya? Kangen yaaaa?
Iya Abang aku juga kangeeen banget 😘😘
Oka hanya membaca pesan itu seperti biasa tanpa membalasnya sebelum membaca pesan lainnya, membalas singkat yang kira-kira penting.
Kemal :
Udah balik lo?
Bawa oleh-oleh nggak?
Asoka :
Tenang gue bawa anak suro dan boyo buat lo, Wempi sama Mantir makan setahun.
“Dia tidak memakai cincin nikah,” ucap Bentari membuat Oka menatap ke arah kakaknya yang tengah menerawang menggali seluruh ingatannya.
Bentari baru menyadaranya, tadi pagi ketika Birendra datang ke rumah, mereka sempat duduk berhadap-hadapanan dan Bentari tak melihat cincin nikah melingkar di jari manisnya, begitupun tadi.
“Apa mungkin dia belum menikah seperti yang
dikatakan ayah?”
“Terus kalau belum menikah kenapa? Kakak mau balik lagi ke dia? ingat, Kak, dia sudah menyakiti Kakak.”
Bentari terdiam kemudian mengangguk.
“Tidak, tentu saja tidak, dia sudah terlalu menyakitiku dengan kata-katanya. Hanya saja … kalau dia tidak menikah, kenapa dia mengatakan padaku kalau dia sudah menikah?”
Oka terdiam ikut memikirkan jawaban pertanyaan itu.
“Ya mungkin dulu dia memang mau menikah, tapi gagal atau mungkin diundur.”
Ya, itu bisa saja terjadi. Namun apapun itu seharusnya bukan masalah bagi Bentari, karena hubungan mereka benar-benar sudah berakhir bahkan sebelum dimulai, tapi ... kenapa hati ini berkhianat? Kenapa hati ini masih mengharapkannya?
Hati ... please be nice, jangan berkhianat atau kamu akan kembali hancur untuk kesekian kalinya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
RR.Novia
Hadeh 🤣
2024-03-21
0
sakura🇵🇸
pengen punya adek cowok tp udah g mungkin😄 seru banget kayaknya
2023-11-17
1
may
Bentari kayak aku banget😭
2023-11-01
0