“Jadi bagaimana sudah ada kemajuan sama Oka?”
Bentari hanya bisa menggelengkan kepala pasrah.
“Asli ya, Teh, Oka itu keraaas banget. Susah banget buat deket sama dia.”
“Hahaha.” Kirana tertawa sambil menggigit bakwan diikuti oleh cabe rawit, dengan mulut penuh dia berkata. “Kalau gampang bukan Asoka namanya, tapi asongan. Tinggal ditepukin langsung nyamperin.”
“Hahaha.” Siska ikut tertawa mendengar ucapan Kirana.
Saat ini Bentari dan Siska sedang berada di rumah Kirana yang mengeluh kalau di rumahnya sangat susah kalau mau beli gorengan, harus ke luar komplek yang cukup jauh hanya untuk sepotong bakwan. Alhasil hari ini Siska dan Bentari datang dengan seplastik besar aneka macam gorengan.
“Padahal semua sudah aku lakukan.” Bentari kini duduk menghadap Kirana dan Siska yang duduk selonjoran di atas karpet. “Aku sudah mengalah soal kamar mandi. Aku tak pernah luluran lagi, mandipun cepat-cepat.”
“Salah!” Seru Kirana sambil mengambil tahu isi dan cabai rawit.
“Jangan kebanyakan makan pedes! Tar anak lo sakit perut.”
Kirana kembali menaruh cabai rawit, dan mulai menggigit tahu isinya.
“Salah kenapa, Teh?”
Kirana mengunyah tahunya cepat, kemudian menelannya. “Jangan ngalah kalau sama dia.”
“Nanti dia marah, Teh.”
“Marahin lagi, ingat kamu kakaknya! Jadi jangan mau kalau dimarahin dia.”
“Nanti kuliahnya jadi telat bagaimana?”
“Ya, nggak sengaja bikin dia telat juga dong,” ucap Siska yang mendapat anggukan dari Kirana.
“Kamu juga, ko tumben luluran di rumah biasanya perawatan di sanalah, perawatan di sinilah.”
“Kan Teteh yang bilang aku harus hidup sederhana. Semenjak tinggal di Jakarta aku tidak pernah perawatan tubuh lho, Teh, sekalinya luluran malah digedor-gedor Oka.”
“Hahaha. Perawatan tubuh sekali-kali boleh, tidak ada yang melarang.”
“Jadi perawatan boleh?”
“Boleh.”
Mata Bentari seketika berbinar mendengar jawaban Kirana yang tengah makan tahu isi entah yang keberapa.
“Lapar, Bu?”
“Ibu menyusui itu bawaannya lapar mulu. Mumpung lagi tidur juga tuh bayi jadi gue bisa isi ulang.”
Baru saja mulut Kirana mingkem, terdengar suara tangisan dari dalam kamar.
“Tuh kan!” serunya sambi berjalan dengan cepat masuk ke dalam kamar.
Siska mengambil pisang goreng sambil berkata, “Oka itu pada dasarnya anak baik. Nggak tegaan.” Siska mengunyah pisang gorengnya. “Cuma kadang keras kepala, persis seperti kakaknya. Kamu tidak tahu kan, Bi, bagaimana keras kepalanya kakakmu itu?”
Bentari yang mulutnya penuh dengan bakwan menggelengkan kepala.
“Sampai capeee banget aku ngasih tahu kakakmu soal Caraka.” Siska menggelengkan kepala sambil mengunyah pisang gorengnya. “Nah Oka juga sama. Aku juga yakin saat ini Oka sudah bisa menerima kamu, cuma dia terlalu gengsi saja buat ngakuin.”
Siska meneguk minumnya.
“Tapi aku juga maklum sih kalau Oka belum bisa menerima kamu. 2 tahun ini kamu kalau ke Jakarta kan dihabiskan dengan Kirana atau bu Mega, ketemu Oka paling cuma beberapa menit saja bahkan kadang tidak bertemu kan?”
Bentari mengangguk. Selama ini ketika dia tinggal di Surabaya memang dia sangat jarang menghabiskan waktu dengan Oka, ada kecanggunggan ketika mereka ditinggal berdua.
“Nah sekarang kesempatan kalian buat dekat.”
“Yang namanya saudara berantem itu wajar.” Kirana ke luar dari kamar sambil menggendong Danish dengan wajah bangun tidurnya.
“Babyyyy!” Bentari langsung heboh melihat keponakannya yang hanya menatapnya sebentar sebelum kembali memeluk leher ibunya, menyurukkan kepalanya di pundak Kirana.
“Nyawanya belum ngumpul,” ucap Kirana sambil duduk di samping Bentari, sambil memangku Danish yang memeluknya.
“Dulu teteh sama Oka hampir setiap pagi rebutan kamar mandi kalau teteh harus kerja dan dia harus sekolah, kadang kami juga rebutan makanan, malah kadang sampai jambak-jambakan kalau rebutan remot tv.”
“Hahaha, benar tuh.”
Bentari terdiam. Tentu saja dia belum pernah merasakan bagaimanaa rasanya rebutan kamar mandi, rebutan makanan atau rebutan remot televisi. Dia memiliki kamar mandi di dalam kamarnya, televisipun lengkap dengan audio canggih ada di dalam kamarnya, dan makanan? Lemari pendinginnya selalu penuh dengan berbagai macam makanan. Dan kalaupun dia harus berebut itu semua, dengan siapa dia akan berebut? Di Surabaya dia adalah anak tunggal.
“Kamu jangan terlalu mengalah. Sebandel-bandenya Oka, dia tidak akan berani macam-macam sama kakaknya, malah dia yang lebih banyak ngalah.”
Bentari mengangguk-anggukkan kepala mengerti, tangannya memainkan jari tangan Danish yang kini tengah sibuk mimi ASI.
“Teteh yakin kamu pasti bisa dekatin Oka, yang teteh khawatirin itu ayah.”
“Nah itu bakal susah. Sama-sama lelaki biasanya egonya sama-sama tinggi,” ucap Siska setuju.
“Setelah kita kembali ke Jakarta berapa kali ayah bertemu Oka? 2 kali, hanya ketika lebaran saja, setelah itu … tidak sama sekali. Ayah sibuk dengan pekerjaannya, Oka sibuk dengan kuliahnya. Ya walaupun setiap bulan ayah akan mengirim uang buat Oka, mamah dan …” Kirana mencium pipi anaknya yang sudah mulai terlihat kembali segar. “Baby”
“Enak ya jadi anak lo, Na, masih kecil sudah dapat jatah dari kakek-kakeknya yang kaya.”
“Hahaha.”
“Angkat gue jadi anak lo, Na, ikhlas deh gue manggil lo bunda.”
“Gue yang nggak ikhlas punya anak pengangguran kayak lo.”
“Lo juga kan sekarang pengangguran.”
Memang setelah melahirkan Kirana memutuskan ingin fokus mengurus anak, dia menjadi orang di balik layar ketika ada sesuatu menyangkut pekerjaan di E-World.
“Gue sih pengangguran yang memiliki 5% saham perusahaan.”
“Sialan, gue kalah!”
“Kalau ngomong yang bener!” Kirana menutup kuping Danish yang kini duduk di depan Kirana.
“Eh iya! maaf ya, sayaaaang, anak ganteng, anak soleh,” ucap Siska sambil mengangkat Danish yang langsung tertawa mendapat ciuman di perutnya yang gendut.
“Ayah memang seperti itu, selalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi bukan berarti ayah tidak peduli.”
“Teteh mengerti, Bi. Mungkin karena teteh memiliki kenangan dengan ayah dan sedikit banyak tahu bagaimana sifat ayah, teteh bisa paham itu. Tapi Oka beda. Oka tidak memiliki kenangan apapun dengan ayah. Ibaratnya mereka itu seperti dua orang asing yang baru bertemu dan kenal, jadi bagaiman mungkin mereka bisa dekat kalau mereka jarang bertemu. Yang Oka lihat dari kasih sayang ayah hanya sebuah bentuk transferan setiap bulan, dan sebuah mobil Range Rover keluaran terbaru yang sampai sekarang belum tahu kalau itu dari Ayah.”
“Hah! Jadi itu mobil bukan dari Caraka?” Siska terlihat terkejut mendengar ucapan Kirana yang kini tengah menjauhkan piring gorengan dari jangkauan Danish.
“Ya, menurut lo apa mungkin gue izinin laki gue beliin mobil seharga hampir 4M buat si kutu kupret? Mending gue beliin rumah buat invest.”
“Benar juga sih." Siska mengangguk setuju. "Jadi Oka belum tahu kalau itu dari bokap lo?”
“Belum.”
Kirana menunjuk Danis yang berjalan tertatih seperti robot, Bentari yang mengerti kode kakaknya langsung berdiri mengejar keponakannya yang langsung tertawa ketika berhasil ditangkap Bentari dan dihadiahi ciuman di pipi dan lehernya.
“Ayah tidak sengaja dengar waktu kakang nanya Oka apa yang dia inginkan sebagai janjinya dulu. Ya walaupun Oka tidak jadi wali gue, tapi Caraka tetap mau menepati janjinya. Lo tahu sendirikan Oka gimana, dia cuma ngomong doang, pas waktunya ditanyain dia bilang dia memilih si merah saja, tapi dengan catatan harus dilunasin dulu. Ya udah gue lunasin tuh si merah, eh gak tahunya ayah dengar dan tidak lama ayah beliin mobil itu untuk Oka, tapi ayah minta tolong gue bilang kalau itu dari kakang buat bayar janjinya karena ayah takut kalau Oka tahu itu dari ayah pasti ditolak.”
“Sok-sokan si Oka nolak mobil segala,” ucap Siska membuat Kirana nyengir.
“Lelaki dan egonya.”
Siska mengangguk setuju.
“Nah ini juga berlaku buat kamu, Bi.”
Bentari yang sedang tengkurep di atas karpet bermain dengan Danish kini menatap Kirana.
“Oka tidak memiliki kenangan apapun soal kamu. Sama, kamupun seperti itu kan? Makanya masih kagok, masih suka canggung kalau berdua. Siska benar, dua tahun kamu tinggal di Surabaya kalau ke Jakarta hanya satu-dua hari itupun dihabiskan denganku atau mamah. Nah, sekarang kesempatanmu untuk membiasakan diri dengan Oka, dan sebaliknya. Oka membiasakan diri denganmu.”
Itu memang tujuan Bentari memutuskan tinggal di Jakarta, agar Oka bisa menerimanya. Tapi ternyata itu tidaklah mudah, Oka yang sibuk dengan kuliahnya apalagi sekarang dia sedang menjadi panita OSPEK tambah jarang mereka bertemu.
Tapi yang dikatakan Kirana benar. Biasakan. Kalau tidak dibiasakan bagaimana akan terbiasa. Dan kesempatan itu hadir lebih cepat dari yang dia rencakan.
Malam itu mamah sudah tidur ketika Oka yang baru pulang dari ngospek dengan wajah lelah ke dapur mencari makanan.
“Lapar, Ka?” tanya Bentari yang tiduran di atas sofa depan TV dengan sheet masker tertempel di wajahnya.
“Hmmm.” Oka membuka lemari dapur mencari mie yang biasanya selalu ada stock, namun ternyata sudah habis.
“Ke luar yuk, Ka. Kakak juga lapar.”
Oka membalikan tubuhnya menatap Bentari yang sudah membuka sheet maskernya. Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Dengan secepat kilat Bentari ke kamar untuk mengambil jaket dan dompetnya dengan senyum lebar.
“Ganti pakai celana panjang!” seru Oka membuat Bentari langsung balik kanan masuk ke kamar dan mengganti celana pendeknya dengan celana training panjang.
Dan di sinilah sekarang mereka berada duduk di tukang sate yang mangkal tak jauh dari komplek rumah mereka. Awalnya mereka duduk dengan canggung, sebelum akhirnya ponsel Oka terus berbunyi menandakan notifikasi pesan yang masuk mambuat Oka akhirnya larut dalam membaca pesan-pesan itu.
Bentari memerhatikan adiknya, tak sekalipun dia melihat Oka membalas pesan-pesan itu hanya membacanya. Kadang dia berdecak, mengerutkan alis, kadang tersenyum.
“Dari siapa?” tanya Bentari sambil menerima sepiring sate ayam lengkap dengan lontong, sedangkan Oka sate ayam dan nasi putih. “Pacar?”
“Pacar apaan sih.”
Oka menaruh ponselnya yang terus berbunyi. Oka berdecak ketika Bentari meyuruhnya jangan dulu menyentuh nasinya dan gadis itu sibuk mengambil foto dengan ponselnya dari berbagai angle.
“Dia sepertinya suka sama kamu.”
Oka hanya mengedikkan bahunya sambil menarik piringnya mendekat dan mulai makan.
“Kamu suka sama dia?” Bi mulai memakan satenya sambil memerhatika Oka yang terlihat kelaparan.
“Apaan sih. Anak manja gitu.”
“Hahaha, atau kamu sudah punya pacar?”
“Enggaklah, ribet.” Oka menggigit satenya dilanjut dengan menyendok nasi.
“Kenapa? Jangan-jangan nggak ada yang suka sama kamu karena kamu jutek.” Bentari memakan sepotong lontong yang sudah dibaluri bumbu sate.
“Enak saja! Gini-gini aku tuh terkenal di kampus. Cewek yang suka sama aku … kalau disuruh antri … beuh! Panjang banget deh.”
“Hahaha.” Bentari tertawa kemudian kembali menusuk lontong dengan tusuk sate dan memakannya. “Tapi kamu tidak PHP-in mereka kan?”
“Enggalah. Mereka saja yang ke-GR-an.” Oka kembali menyuap nasi dan satenya yang hanya tinggal setengah lagi.
“Cewek itu perasaannya halus.” Bentari kembali menyuap satenya. “Diakui atau tidak, kami meyukai segala bentuk perhatian.” Dia diam sesaat untuk mengunyah satenya. “Tak jarang kami salah mengartikan semua perhatian-perhatian itu sebagai bentuk rasa suka, tapi ternyata itu salah.” Dia meneguk teh hangat sebelum kembali berkata. “Seperti sudah diterbangkan ke awan, tiba-tiba dihempaskan begitu saja.”
Oka terdiam menatap Bentari yang tersenyum, namun sorot matanya memancarkan kesedihan yang mendalam.
“Jadi, jangan memberi harapan kepada perempuan manapun. Kamu harus pintar menarik garis tegas. Kalau suka bilang suka, kalau tidak bilang kalian hanya berteman, jangan sampai mereka menganggap salah semua perhatian-perhatianmu.”
Bentari kembali tersenyum sebelum tertunduk dan mulai kembali menghabiskan makannya dalam hening, dan Oka bisa merasakan kesedihan kakaknya itu.
***
1st date.
Itu yang tertulis di bawah foto dua piring sate yang diupload Bentari di media sosialnya. Lelaki itu menghela napas berat sebelum membaringkan tubuhnya di atas sofa apartemennya yang sepi dan dingin.
Sudah setahun dari kejadian dia pergi meninggalkannya jadi wajar kalau gadis itu kini sudah bisa menemukan penggantinya, sedangkan dia masih berkubang dalam kesendirian dan kerinduan.
Hanya dari media sosialnyalah dia bisa sedikit mengobati segala kerinduan itu. Dan kini setelah sekian lama dia menunggu kabarnya di media sosial, yang dia dapat malah membuat hatinya terasa semakin hampa.
Kencan pertama … sepertinya gadis itu benar-benar sudah melupakannya. Tidak apa-apa yang penting gadis itu bahagia, itu sudah cukup baginya. Namun kenapa hatinya terasa sakit memikirkan gadis itu bahagia tanpa dirinya?
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
🔴 Kⁱᵃⁿᵈ⏤͟͟͞Rą 🈂️irka
wkwwwk...mau gw bisikin ga Bhi
itu tuh adiknya si Okaa... 🤣🤣🤣
2024-01-30
1
sakura🇵🇸
abhi g liat aja yg disebelah si oka😄 yg difoto makanan doank
2023-11-17
1
✨Susanti✨
nexttt
2023-02-28
0