Tini masih berdiri mematung di depan ruang akuarium. Pandangannya bersitatap dengan Warni. Ia menelan ludahnya cepat-cepat. Banyak sekali pertanyaan berjejalan di dalam kepalanya. Soal Pak Alie, soal Warni yang terlihat akan pergi dari tempat itu meninggalkannya.
Tini memandang amplop cokelat di tangan Warni yang terlihat sangat tebal. Apa saja yang dilakukan wanita itu selama ini, sampai-sampai orang asing mau memberinya uang sebanyak itu?
“Katanya harus hidup bener, Mbak.” Tini masih memandang amplop cokelat.
Warni terkekeh-kekeh. “Kayak hidup si Alie udah bener aja,” sahut Warni. “Aku mau pulang, Tin. Kayaknya aku nggak balik ke sini lagi. Inget, kamu jangan belagak kayak anak baru. Kamu harus lebih ngegas kalau ngomong. Bisa?” tanya Warni.
Tentu saja Warni yang baru bertemu dengan Tini dua kali, tak mengetahui soal tabiat Tini yang terbiasa berbicara keras. Tini hanya menjaga kelakuannya di depan orang baru. Ia khawatir salah bicara lagi. Tapi, jika memang tempat itu mengharuskannya berkelakuan demikian, ia yakin bisa. Apa susahnya berbicara keras dan lantang pada orang lain. Ia hanya tinggal menjadi dirinya sendiri.
“Pak Alie masih punya keluarga? Kenapa mainnya ke tempat kayak gini?” tanya Tini.
“Karena kalau main ke playground, dia kuatir dikira bocah. Ya, menurut kamu kenapa? Pak Alie itu istrinya udah meninggal. Anaknya semua kaya dan jarang jenguk dia di rumah. Yang perempuan tadi, asistennya. Pak Alie ini, pengusaha kelapa sawit. Berminyak pokoknya,” tukas Warni. “Kamu pinter-pinter ngambil hatinya dia. Dia nggak pelit. Pegang susu sebentar, aku dikasi satu juta. Itu masih dia yang megang. Kalau kamu yang megang ditambah satu lagu romantis, kamu bisa dapet tiga juta satu malam.”
“Wah, ada paket bundling juga ternyata.” Tini mengangguk-angguk.
“Ya, sudah. Liat itu,” Warni menunjuk Pak Alie yang masih terlihat di lorong. “Kita sudah ngobrol lama, dia baru nyampe sana.” Warni terkikik geli.
“Ringkih,” gumam Tini.
“Makanya, kamu lembutin. Jangan dibentak, nanti meninggal sakit jantung.” Warni kembali tertawa. “Aku balik dulu, Tin. Good luck. Kamu nanti pasti jago dandan. Kalau ada ketemu laki-laki pakai jas yang badannya gemuk, liat badge namanya. Itu Pak Binsar. Manager operasional di sini. Dia nggak genit karena udah jeleh liat perempuan. Ya, udah. Sana!” seru Warni. Ia lalu memutar tubuhnya dan melambai pada Tini.
Itu adalah kali terakhir Tini bertemu dengan Warni. Wanita itu kembali ke kampung halamannya, dan tak pernah muncul lagi di kos kandang ayam. Pesan-pesan dari Warni menjadi acuan buat Tini di tempat itu. Dan ucapan wanita itu terbukti saat Tini mempraktekkannya.
Malam pertama Tini bekerja di karaoke itu, ia langsung menuju ruangan tempat Pak Alie menghilang. Tini sedikit lega karena melihat asisten pria itu tak ikut masuk ke dalam. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seorang perempuan bisa tega melihat perempuan lain menjual jasa esek-esek di bawah tatapannya. Tini merasa akan risi sekali.
“Bisa nyanyi?” tanya Pak Alie.
“Bisa, tapi lagu dangdut. Apa Bapak suka?” tanya Tini. Ia duduk di sofa dengan jarak setengah meter dari Pak Alie.
“Suka—suka, deket sini. Jangan jauh-jauh.” Pak Alie memanggil Tini dengan gerakan tangannya seperti memanggil bocah.
Tini menggeser duduknya agar lebih mendekat. Ia baru akan menarik napas, tiba-tiba tangan Pak Alie memencet dadanya kiri-kanan sekilas.
“Asli ternyata. Bagus ini,” kata Pak Alie. Seperti dokter bedah plastik yang baru saja sukses memasangkan implan di dada pasiennya. Raut Pak Alie terlihat biasa saja.
Tini membeku, lalu menunduk memandang dadanya yang baru saja ternoda diremat oleh seorang lelaki uzur beraroma minyak rambut. Teringat akan perkataan Warni, ia lalu mengambil remote yang tergeletak di atas meja. Menekan semua tombol untuk mempelajari semua fungsinya.
Seorang pelayan masuk mengantarkan minuman dan menyusunnya di atas meja. Tini masih pura-pura sibuk. Bertemu dengan pria muda di dalam ruangan gelap, saat sedang bersama pria tua, bukan cita-cita Tini. Apalagi pelayan yang mengantar minuman itu bertubuh bagus dan wajahnya lumayan ganteng.
Akhirnya, setelah menekan semua tombol remote ke arah televisi, Tini menemukan satu lagu yang dianggapnya paling pas untuk suasana hatinya malam itu. Musik mengalun, dan Tini mengisi gelas tinggi langsing dengan sebuah botol yang ada di sana. Sebelum menuangkan minuman ke gelas, ia sedikit heran dengan mulut botol yang disumbat dengan irisan jeruk nipis.
“Caranya begini,” kata Pak Alie tiba-tiba. Ternyata pria tua itu memperhatikan kebingungan Tini. “Ini namanya Corona Beer. Rasanya agak pait makanya dikasi jeruk untuk diperaskan. Kamu nyanyi,” tutur Pak Alie yang mengambil gelas kosong dari tangan Tini. Pria itu mengibaskan tangannya, meminta Tini bernyanyi.
Lalu dengan sigap, Tini kembali mengambil mic dan memencet tombol play pada remote. Musik mengalun dan Tini mendekatkan mic ke dekat mulutnya. Ia memajukan sedikit letak duduknya menghadap layar televisi besar. Dari ekor matanya, ia melihat kalau Pak Alie tengah bersandar menyesap bir dan ikut menatap layar televisi dengan santai.
Tini mulai bernyanyi.
Kowe lunga ninggalke aku ning kene
(Engkau pergi meninggalkanku di sini)
Wis kebacut ambyar, ambyar kaya ngene
(Sudah terlanjur hancur, hancur seperti ini)
Manise janjimu jebule mung ana lambe
(Manisnya janjimu ternyata di bibir saja)
Wis kebacut ambyar, ambyar koyo ngene
(Sudah terlanjur hancur, hancur begini)
Ning apa kowe tega nyiksa aku kaya ngene
(Tapi apa kau tega menyiksaku seperti ini)
Sapa sing ra gela
(Siapa yang tak kecewa)
en digawe kuciwa
(Jika dibikin kecewa)
Ambyar
(Hancur)
(Ambyar – Didi Kempot)
Kalau hanya soal bernyanyi, buat Tini bukan hal yang terlalu baru. Dia termasuk sosok yang rajin berinvestasi amplop dan sebuah lagu di setiap resepsi tetangga, ataupun teman-temannya. Dalam seminggu saja, kadang ia bisa mendatangi resepsi di dua tempat. Dengan harapan sederhana, jika suatu saat ia nanti menggelar resepsi pernikahannya, orang-orang juga bakal meringankan langkah untuk datang.
Tini bisa bernyanyi, tapi bekalnya dari desa hanyalah lagu-lagu dangdut. Ia belum familiar dengan lagu pop dan lagu barat yang menjadi lagu wajib saat berada di ruang karaoke.
Suaranya memang tidak terlalu bagus, tapi masih aman didengar oleh manusia. Pak Alie menikmati tembang Tini yang dinyanyikannya dari hati paling dalam. Meski dengan nada riang, lagu itu keluar dari bibir Tini benar-benar menyayat hati. Tak sadar, air matanya meleleh ke pipi.
Tini merasa menjadi manusia paling menyedihkan. Dikhianati kekasih dan sahabatnya, jauh dari keluarga, dan yang paling parah, kehabisan uang hingga harus berakhir di tempat karaoke bersama seorang kakek tua.
Rupanya Pak Alie mengamati kemuraman yang dibawa Tini ke ruangan itu.
“Putus cinta?” tanya laki-laki tua itu langsung.
Tini hanya diam, menoleh pada Pak Alie.
“Yang kemarin sudah nggak bisa dirubah lagi. Urusi yang hari ini aja. Kamu ngapain sedih? Orang yang di sana belum tentu menyesal menyakiti kamu. Saya yang kaya, kalau mati mungkin cuma diingat seminggu sama anak-cucu. Selebihnya mereka hidup seperti biasa. Jadi, nikmati hidup untuk hari ini. Kalau sudah masuk peti, saya nggak bisa minum bir.” Pak Alie terkekeh-kekeh karena hal yang baru diucapkannya.
Tini mengernyit. Merasa sebal dengan orang tua yang sok tau dengan perasaan dan isi hatinya. Tapi, tak bisa ia pungkiri bahwa semua hal yang dikatakan pria tua di sebelahnya itu benar adanya.
Sedikit rasa senang karena Pak Alie tak macam-macam lagi setelah tadi memencet dadanya sekilas, Tini mengambil botol air mineral dan membukanya. Pak Alie ternyata masih waras, pikirnya. Tak terlalu gila dengan kemesuman. Namun, napasnya belum lagi habis dihelanya semua. Pak Alie tiba-tiba beringsut mendekatinya dan tangan pria itu meraba resleting celananya sendiri.
“Pegang-pegang aja. Nanti kamu saya kasi modal untuk mengawali hidup di kota. Inget, lho, kamu laper nggak akan ada yang ngasi makan.” Pria itu menurunkan bagian depan pakaian dalamnya. Dan seketika Tini menoleh untuk melihat benda yang mau dipamerkan pria itu.
Kulit tangan Pak Alie saja sudah keriput dan kisut. Saat memandang setumpuk kecil benda yang dinilai Tini lebih mirip jengger ayam Puput, ia malah memandang pria tua itu dengan iba.
Dengan menyingkirkan hati nurani dan mengenyampingkan rasa malu pada diri sendiri, Tini menahan untuk tak mengernyit jijik. Perlahan ia mulai menyentuh benda mungil yang tergantung mirip gantungan kunci itu.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
jumirah slavina
yaelah.... tombol'y ada gak...coba liat dulu lengkap gak ada 2,... takut'y gak ada satu tombol'y...
buahahahahahahahahahaaaaa
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-01-24
2
Yulay Yuli
jus kelapa bikin w ngakak mulu y 😂😂😂kisut tin. awas lengkeg 😂😂😂
2025-01-12
0
Narto Aja
🤣🤣🤣jengger pitik y tiinn
2024-12-12
0