10. Hidup Di Antara Hitam Dan Putih

Ternyata benar apa yang dikatakan Warni, Pak Alie hanya naafsu besar tenaga kurang. Jangankan untuk tegang, menggeliat saja burungnya sulit. Tapi pria tua itu cukup senang saat Tini mulai mengusap-usap benda kecil yang sepertinya akan ia banggakan hingga akhir hayat. Wajar saja, bagi seorang laki-laki, itu adalah mahkotanya.

Sebelum melakukan hal itu, Tini merasa jijik pada dirinya sendiri. Dan setelah melakukan hal itu, ia lebih jijik pada dirinya. Namun, ia merasa lebih lega. Bukan lega karena berhasil memegang burung Pak Alie. Ia hanya lega karena ternyata Pak Alie tidak terlalu menakutkan. Malah dibanding coki, Pak Alie jauh lebih baik memperlakukannya, meski ia wanita asing dan bisa disebut sebagai wanita penghibur. Pria tua itu setidaknya bermodal uang. Sedangkan Coki, hanya bermodal janji.

Pak Alie hanya meminta Tini untuk sering-sering bernyanyi, lalu beristirahat untuk mendengarkan cerita soal almarhum istrinya.

Pak Alie ternyata punya cerita melankolis juga soal hidupnya. Dalam satu percakapan di menit terakhir pria itu sebelum pulang, Pak Alie mengatakan, “Dulu, ada yang mengatakan bahwa saya harus merawat dan mendidik anak-anak saya dengan baik. Karena, mereka adalah investasi saya di masa tua. Tapi, saya tidak sepenuhnya setuju. Bagi saya, istri saya adalah investasi paling berharga dalam hidup saya. Saya membahagiakannya, maka hidup saya di rumah juga bahagia. Anak-anak sehat terawat, dan dia banyak tersenyum. Rumah jadi lebih ceria.”

“Anak-anak dengan cepat tumbuh besar dan pergi meninggalkan orang tuanya. Di rumah hanya tinggal saya dan istri. Lalu, istri saya meninggal dan saya sendiri. Anak-anak sibuk dengan keluarganya masing-masing. Saya nggak mau ganggu. Enggak mau jadi beban. Saya ada asisten dan perawat di rumah. Untungnya uang saya banyak. Sewaktu muda saya kerja keras, kehilangan banyak waktu untuk keluarga. Setelah tua dan mengumpulkan banyak harta, ternyata saya juga tidak bersama keluarga. Tapi ... setidaknya untuk itulah uang dicari. Ya, tidak? Uang ada untuk memudahkan hidup manusia.”

“Jadi—anak-anak Bapak sekarang di mana?” tanya Tini mulai penasaran. Ia sudah kepalang basah. Selain harus memetik hasil dari pekerjaan buruknya, apa lagi yang bisa ia lakukan. Lagi pula, ia tak pernah berbicara dengan orang kaya di kota. Tini menyetujui buah pikiran Pak Alie. Pria itu dinilainya sangat realistis.

“Anak sulung saya, perempuan, di luar negeri ikut suaminya. Yang tiga laki-laki, tersebar di seluruh Indonesia. Jadi pengusaha. Cuma satu yang di Jakarta. Yang bungsu. Sekarang saya tidak ada lagi memikirkan apa-apa. Anak saya sudah hidup bahagia dengan keluarganya masing-masing. Cucu saya bahkan sudah ada yang berkuliah di luar negeri. Semuanya happy. Kehidupan tercukupi. Lalu, saya mau apa lagi? Saya hanya tinggal menunggu mati. Menunggu kapan Tuhan mengambil saya, biar saya bisa bertemu dengan kekasih hati yang selalu saya rindukan. Istri saya.” Pak Alie setengah melamun saat menyebutkan soal istrinya. Sorot matanya meredup dan rautnya muram.

“Istri Bapak pasti orang baik,” kata Tini. Ia ingat pesan Warni soal mengambil hati pria itu. Teori sebanyak apa pun, tak akan berguna tanpa disertai praktek.

“Baik sekali. Istri saya baik sekali. Usaha pertama saya adalah pemasok sparepart mobil ke bengkel-bengkel. Kebun kelapa sawit berasal dari sparepart. Penghasilan di awal menikah cuma dua belas ribu sehari. Tapi dia menemani saya dengan setia. Saya sudah sering ke dunia malam karena tuntutan pekerjaan. Dia tau saya menghabiskan malam bernyanyi bersama perempuan berdada besar.” Pak Alie mengedikkan bahunya.

Seketika Tini menunduk melihat dadanya. Ternyata laki-laki tua di sebelahnya ini sudah menyukai dada jumbo sejak dulu.

“Malah istri saya kadang bercanda. ‘Jangan lupa cari yang besar, Pih.’ Tapi setiap saya pulang dini hari, dia nggak pernah absen buatin saya teh herbal.”

“Benar-benar baik ternyata,” ucap Tini dengan suara dikeraskan. Ia ingin Pak Alie mendengar pujiannya barusan. “Bapak benar-benar beruntung.” Tini mengangguk-angguk dengan wajah serius.

Pak Alie mengangguk membenarkan ucapan Tini. “Terkadang saya tidak sabar. Rasanya, kok, umur saya terlalu panjang. Apa karena saya memang terlalu bajingan untuk diambil cepat-cepat? Soalnya istri saya baik sekali tapi malah dia yang duluan meninggalkan saya.” Pak Ali menggeleng dengan raut menyesal.

Tini sudah mematikan mic sejak tadi. Ia sudah menghabiskan dua botol kecil air mineral dan pergi sekali ke toilet dalam tiga jam menemani Pak Alie. Dan dalam tiga jam di ruangan itu, Pak Alie hanya minta burungnya diusap sesekali. Tindakan itu dianggap Tini sebagai tindakan mengasihani burung Pak Alie yang tak berdaya. Dan pria itu kembali meremat dadanya dua kali.

Ternyata tiga jam itu membuat perubahan sudut pandang Tini cukup tajam. Rematan singkat Pak Alie di dadanya tak membuatnya lecet atau terluka. Selain itu, jika burung Pak Alie ditenangkan, pria itu akan terlihat lebih anteng. Satu kunci yang didapatnya malam itu. Disentuh atau menyentuh. Tini lebih memilih menyentuh, mengusap atau membelai, ketimbang sebaliknya.

Puncaknya, pria itu mengakhiri acara berkaraoke. Pak Alie meminta Tini untuk merogoh saku kanan celananya. Ternyata berisi amplop cokelat. Tini memaki dalam hati. Padahal pria itu tinggal merogoh saku sendiri. Tapi, untuk menerima uang bayaran, ia tetap harus menyenggol gantungan kunci di dalam celana Pak Alie.

Tini melepaskan Pak Alie di depan ruang karaoke. Demi kesopanan, ia menunggui pria itu menghilang di simpang lorong. Tapi, ternyata benar-benar lama sekali. Lagi-lagi benar apa yang dikatakan Warni.

Ketika tengah mengancingkan tasnya, seorang pria berjas datang. Tini mengingat pesan Warni, bahwa pria itu adalah Pak Binsar. Manager operasional karaoke itu.

“Anak baru, ya? Temennya Warni?” tanya Pak Binsar.

“Iya, bener, Pak.” Tini mengangguk.

“Pak Alie pelanggan setia di sini, enggak rewel. Jadi, kamu jaga, ya.” Pak Binsar menepuk bahu Tini dua kali.

Pesan itu terdengar seperti Pak Binsar sedang menitipkan seorang bocah padanya. Raut Pak Binsar yang datar-datar saja, membuat Tini tenang. Ia tak merasa dihakimi. Pak Binsar tak menanyakan dari mana asalnya, dan kenapa ia berada di tempat itu. Manager itu fokus pada tugasnya di tempat itu. Menjaga pelanggan.

Malam itu ternyata tak begitu menakutkan seperti dugaan Tini. Waktu sudah menunjukkan hampir sebelas malam. Sebelum pulang, ia tak sabar mampir ke toilet untuk mengintip isi amplopnya.

Usai Pak Binsar menepuk bahunya, pintu ruang akuarim terbuka. Seorang wanita berdada besar lainnya keluar dengan pakaian seksi.

“Ini temennya Warni, Pak?” tanya perempuan itu.

“Iya, kenapa?” tanya Pak Binsar. “Mau berisik lagi? Padahal udah diomongin kemarin. Saya capek. Kalo nggak ada tamu lagi, pulang aja.” Pak Binsar mengibaskan tangannya mengusir perempuan itu.

“Pak Binsar gimana, sih? Kan, aku udah bilang kalo Warni pensiun, yang gantiin nemenin Pak Alie itu aku. Bukan anak baru. Aku lebih lama di sini,” tukas wanita itu.

“Saya nggak tau. Enggak ikut-ikutan. Pak Alie nggak ada komplain apa-apa ke saya. Malah nitip pesan, lusa dia dateng lagi. Mbak ini yang harus nemenin.” Pak Binsar menunjuk Tini.

Tini mulai mengerti duduk persoalan. Ternyata, kakek tua pun menjadi rebutan kalau uangnya banyak dan royal. Sekali lagi, sebelum pulang, Tini mengingat pesan Warni. Jangan terlihat seperti anak kemarin sore yang baru terjun ke dunia esek-esek. Artinya ia harus bertahan dengan kemampuan lidahnya, jika tak ingin kehilangan pelanggan royal seperti Pak Alie.

Ibarat sebuah aset berharga, Tini merasa harus mempertahankan Pak Alie demi kemudahannya di tempat itu.

“Anak baru! Siapa nama kamu?” tanya perempuan itu di hadapan Pak Binsar.

“Tini,” jawab Tini tanpa mengalihkan tatapannya dari lawan bicara.

“Denger, ya. Kayaknya kamu harus mengalah sama yang lebih senior. Aku lebih lama di sini. Sudah lebih dari empat tahun. Lusa kamu bisa pura-pura sakit. Biar aku aja yang nemenin Pak Alie. Ngerti, ya?” tanya perempuan dengan dress hitam yang berdiri menyilangkan tangannya di depan dada.

Tini tak menyahut. Ia menarik napas panjang. Lalu, ia ikut menyilangkan tangan di depan dadanya.

“Anak lama! Siapa nama kamu?” Tini balik bertanya.

Wanita itu terperanjat mendengar hardikan Tini. Ia tak menjawab pertanyaan soal namanya.

“Mei—mei, panggilannya. Lengkapnya Maisaroh.” Pak Binsar tampaknya ingin perseteruan itu cepat selesai. Ia membantu Tini melengkapi biodata lawannya.

“Oke, Mbak Saroh. Saya anak baru. Memangnya kenapa dengan anak lama? Bangga? Harusnya malu. Sudah kerja lama tapi nggak naik jabatan. Masih kerja begini. Soal Pak Alie, nggak usah ikut campur. Cari lahan sendiri. Saya nggak ngambil bapak itu dari Mbak Saroh.” Tini melepaskan dekapan tangannya dan membenarkan letak tas di bahu.

“Kerja lama di sini, kok, bangga. Makin lama di sini, makin lama di neraka. Ngerti, ya?” ketus Tini. Ia lalu mengangguk pada Pak Binsar dan memutar tubuhnya.

Tini menegakkan kepala berjalan menyusuri lorong untuk keluar dari pintu samping hotel. Pekerjaannya sudah rendah. Dan ... hina. Tini tak mengharapkan orang membelanya atas pilihan itu. Baginya, hidupnya adalah miliknya. Orang-orang nyinyir di luar sana tak ikut menanggung pengeluarannya. Jadi, apa yang ia beratkan?

Dalam hidup ini, memang selalu ada hitam dan putih. Tapi, di antara kedua warna itu masih ada abu-abu yang jarang disadari orang lain. Tini memilih berada di antara warna itu. Selama mengusap burung Pak Alie tak membuatnya terluka, ia tak keberatan. Evi dan Dayat tak perlu tahu akan hal itu.

To Be Continued

Jangan lupa likenya, Mbeeebs :*

Terpopuler

Comments

Fitria Ningsih

Fitria Ningsih

azeeekk Tin

2024-03-24

0

Fitria Ningsih

Fitria Ningsih

/Facepalm//Facepalm//Facepalm/

2024-03-24

0

Lulu Imaroh

Lulu Imaroh

bagus Tini..👍🏻

2024-03-14

0

lihat semua
Episodes
1 1. Calon Legenda
2 2. Terpincang-pincang
3 3. Kutangkap Kau Dengan Desah
4 4. Harusnya Tanpa Air Mata
5 5. Pak Paijo
6 6. Terciptanya Legenda Desa Cokro
7 7. Perkenalan Kandang Ayam
8 8. Awal Dunia Malam
9 9. Ratapan Berbalut Senyum
10 10. Hidup Di Antara Hitam Dan Putih
11 11. Pembuktian Diri
12 12. Musuh Baru
13 13. Namaku Tini Suketi
14 14. Berita Dari Posyandu
15 15. Awal Mula Terlena
16 16. Awal Kisah Itu
17 17. Perang Dingin
18 18. Mengusik Hati
19 19. Penghuni Satunya
20 20. Tentang Asti
21 21. Penghuni Baru Dengan Speaker
22 22. Calon Legenda Kos-kosan
23 23. Percakapan Tini dan Boy
24 24. Mengukuhkan Sejarah
25 25. Awalnya Persahabatan
26 26. Pengalaman Pertama Dan Terakhir
27 27. Pelajaran Hari Itu
28 28. Titik Balik Kandang Ayam
29 29. Refleksi Hidup
30 30. Kunjungan Sahabat
31 31. Tentang Agus Soang
32 32. Ternyata, Laki-laki itu.
33 33. Pilihan Pertama
34 34. Pilihan Kedua
35 35. Pilihan Ketiga (1)
36 36. Pilihan Ketiga (2)
37 37. Ngalor-Ngidul Pertemuan
38 38. Peran Budhe Tini
39 39. Persekutuan
40 40. Minggu Pagi
41 41. Tak Perlu Taktik
42 42. Kebiasaan Baru Tini
43 43. Efek Puasa Rokok (1)
44 44. Efek Puasa Rokok (2)
45 45. Sore Pertama
46 46. Tini Sebenarnya
47 47. Kebimbangan Tini
48 48. Usaha Untuk Bertahan
49 49. Tini Baik-baik Saja
50 50. Hari Melelahkan
51 51. Hati Nurani Tini (1)
52 52. Hati Nurani Tini (2)
53 53. Obrolan Pria
54 54. Gombal Halus Tini
55 55. Harinya Tini
56 56. Ujian Mental Tini
57 57. Hari Mengeluh
58 58. Kebimbangan Tini
59 59. Mulai Serius
60 60. Dugaan Tini
61 61. Ternyata Wibi
62 62. Melangkah Maju
63 63. Perpisahan
64 64. Katanya Rahasia
65 65. Training Hari Pertama
66 66. Menyerap Ilmu
67 67. Dari Yang Paling Ahli
68 68. Idola Pertama Tini
69 69. Rangkuman Tini
70 70. Penghilang Lelah Tini
71 71. Kumpul Keluarga Kandang Ayam
72 72. Riuh Makan Malam
73 73. Tini Melayang
74 74. Bagi-bagi Rejeki
75 75. Dandanan Tini
76 76. Percakapan Serius
77 77. Calon-calon Ipar
78 78. Terbacanya Taktik Tini
79 79. Hebohnya Hari Tini
80 80. Awal Perjalanan Dimulai
81 81. Renungan Perjalanan
82 82. Keluarga Calon Mertua (1)
83 83. Keluarga Calon Mertua (2)
84 84. Pesona Surabaya dan Kamu
85 85. Jatuh Cinta Yang Sebenarnya
86 86. Pamitan
87 87. Desa Cokro (1)
88 88. Desa Cokro (2)
89 89. Desa Cokro (3)
90 90. Desa Cokro (4)
91 91. Bersama Keluarga Baru
92 92. Menjamu Tamu
93 93. Rencana Pamer
94 94. Mendampingi Bapak
95 95. Saatnya Serius
96 96. Obrolan Tengah Malam
97 97. Perpisahan Sementara
98 98. Obrolan Dalam Perjalanan
99 99. Mematangkan Rencana
100 100. Banyak Rencana
101 101. Tugas yang Sesungguhnya
102 102. Meningkatkan Kualitas Diri
103 103. Kunjungan Profesional Tini
104 104. Nostalgia Versi Tini
105 105. Keberhasilan Pertama
106 106. Rapat Darurat
107 107. Hasil Keputusan Rapat
108 108. Ide Brilian Tini
109 109. Harap-harap Cemas
110 110. Akhirnya Milik Tini
111 111. Kartu Undangan
112 112. Keterkejutan
113 113. Orang-orang Penting Bagi Tini
114 114. Pengobat Rindu
115 115. Hari Halal Tini Wibi (1)
116 116. Hari Halal Tini Wibi (2)
117 117. Hari Halal Tini Wibi (3)
118 118. Tamu Yang Ditunggu
119 119. Dayat Unjuk Gigi
120 120. Pertemuan Para Tamu
121 121. Akhir Pesta Tini
122 122. Tak Sabar
123 123. Setelah Senampan Hidangan
124 124. Teman Saling Mengisi
125 125. Pagi Pertama
126 126. Tetangga Misterius
127 127. Kesan Pesan Tini
128 128. Rangkuman Obrolan
129 129. Hidup Tini Sekarang
130 130. Perpisahan Selalu Ada
131 131. Melangkah Bersama
132 132. Makan Layaknya Keluarga Besar
133 133. Wisuda Evi
134 134. Makan Siang Kelulusan
135 135. Bapak Mengantar Dayat
136 136. Sekilas Kehidupan Baru Dayat
137 137. Keresahan Hidup Lainnya
138 138. Asti Mengantarkan Kartu Undangan
139 139. Masih Dengan Kekhawatiran
140 140. Sebuah Kabar
141 141. Di Balik Cerita
142 142. Pelukan Bahagia
143 143. Kebahagiaan Pada Waktunya
144 144. Sempurna Buat Masing-masing
145 145. Rangkuman Kebahagiaan
146 146. Sekilas Masa Depan
147 147. Akhir Kisah Tini Suketi
Episodes

Updated 147 Episodes

1
1. Calon Legenda
2
2. Terpincang-pincang
3
3. Kutangkap Kau Dengan Desah
4
4. Harusnya Tanpa Air Mata
5
5. Pak Paijo
6
6. Terciptanya Legenda Desa Cokro
7
7. Perkenalan Kandang Ayam
8
8. Awal Dunia Malam
9
9. Ratapan Berbalut Senyum
10
10. Hidup Di Antara Hitam Dan Putih
11
11. Pembuktian Diri
12
12. Musuh Baru
13
13. Namaku Tini Suketi
14
14. Berita Dari Posyandu
15
15. Awal Mula Terlena
16
16. Awal Kisah Itu
17
17. Perang Dingin
18
18. Mengusik Hati
19
19. Penghuni Satunya
20
20. Tentang Asti
21
21. Penghuni Baru Dengan Speaker
22
22. Calon Legenda Kos-kosan
23
23. Percakapan Tini dan Boy
24
24. Mengukuhkan Sejarah
25
25. Awalnya Persahabatan
26
26. Pengalaman Pertama Dan Terakhir
27
27. Pelajaran Hari Itu
28
28. Titik Balik Kandang Ayam
29
29. Refleksi Hidup
30
30. Kunjungan Sahabat
31
31. Tentang Agus Soang
32
32. Ternyata, Laki-laki itu.
33
33. Pilihan Pertama
34
34. Pilihan Kedua
35
35. Pilihan Ketiga (1)
36
36. Pilihan Ketiga (2)
37
37. Ngalor-Ngidul Pertemuan
38
38. Peran Budhe Tini
39
39. Persekutuan
40
40. Minggu Pagi
41
41. Tak Perlu Taktik
42
42. Kebiasaan Baru Tini
43
43. Efek Puasa Rokok (1)
44
44. Efek Puasa Rokok (2)
45
45. Sore Pertama
46
46. Tini Sebenarnya
47
47. Kebimbangan Tini
48
48. Usaha Untuk Bertahan
49
49. Tini Baik-baik Saja
50
50. Hari Melelahkan
51
51. Hati Nurani Tini (1)
52
52. Hati Nurani Tini (2)
53
53. Obrolan Pria
54
54. Gombal Halus Tini
55
55. Harinya Tini
56
56. Ujian Mental Tini
57
57. Hari Mengeluh
58
58. Kebimbangan Tini
59
59. Mulai Serius
60
60. Dugaan Tini
61
61. Ternyata Wibi
62
62. Melangkah Maju
63
63. Perpisahan
64
64. Katanya Rahasia
65
65. Training Hari Pertama
66
66. Menyerap Ilmu
67
67. Dari Yang Paling Ahli
68
68. Idola Pertama Tini
69
69. Rangkuman Tini
70
70. Penghilang Lelah Tini
71
71. Kumpul Keluarga Kandang Ayam
72
72. Riuh Makan Malam
73
73. Tini Melayang
74
74. Bagi-bagi Rejeki
75
75. Dandanan Tini
76
76. Percakapan Serius
77
77. Calon-calon Ipar
78
78. Terbacanya Taktik Tini
79
79. Hebohnya Hari Tini
80
80. Awal Perjalanan Dimulai
81
81. Renungan Perjalanan
82
82. Keluarga Calon Mertua (1)
83
83. Keluarga Calon Mertua (2)
84
84. Pesona Surabaya dan Kamu
85
85. Jatuh Cinta Yang Sebenarnya
86
86. Pamitan
87
87. Desa Cokro (1)
88
88. Desa Cokro (2)
89
89. Desa Cokro (3)
90
90. Desa Cokro (4)
91
91. Bersama Keluarga Baru
92
92. Menjamu Tamu
93
93. Rencana Pamer
94
94. Mendampingi Bapak
95
95. Saatnya Serius
96
96. Obrolan Tengah Malam
97
97. Perpisahan Sementara
98
98. Obrolan Dalam Perjalanan
99
99. Mematangkan Rencana
100
100. Banyak Rencana
101
101. Tugas yang Sesungguhnya
102
102. Meningkatkan Kualitas Diri
103
103. Kunjungan Profesional Tini
104
104. Nostalgia Versi Tini
105
105. Keberhasilan Pertama
106
106. Rapat Darurat
107
107. Hasil Keputusan Rapat
108
108. Ide Brilian Tini
109
109. Harap-harap Cemas
110
110. Akhirnya Milik Tini
111
111. Kartu Undangan
112
112. Keterkejutan
113
113. Orang-orang Penting Bagi Tini
114
114. Pengobat Rindu
115
115. Hari Halal Tini Wibi (1)
116
116. Hari Halal Tini Wibi (2)
117
117. Hari Halal Tini Wibi (3)
118
118. Tamu Yang Ditunggu
119
119. Dayat Unjuk Gigi
120
120. Pertemuan Para Tamu
121
121. Akhir Pesta Tini
122
122. Tak Sabar
123
123. Setelah Senampan Hidangan
124
124. Teman Saling Mengisi
125
125. Pagi Pertama
126
126. Tetangga Misterius
127
127. Kesan Pesan Tini
128
128. Rangkuman Obrolan
129
129. Hidup Tini Sekarang
130
130. Perpisahan Selalu Ada
131
131. Melangkah Bersama
132
132. Makan Layaknya Keluarga Besar
133
133. Wisuda Evi
134
134. Makan Siang Kelulusan
135
135. Bapak Mengantar Dayat
136
136. Sekilas Kehidupan Baru Dayat
137
137. Keresahan Hidup Lainnya
138
138. Asti Mengantarkan Kartu Undangan
139
139. Masih Dengan Kekhawatiran
140
140. Sebuah Kabar
141
141. Di Balik Cerita
142
142. Pelukan Bahagia
143
143. Kebahagiaan Pada Waktunya
144
144. Sempurna Buat Masing-masing
145
145. Rangkuman Kebahagiaan
146
146. Sekilas Masa Depan
147
147. Akhir Kisah Tini Suketi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!