Di ujung jalan yang mengarah ke sawah sawah dan ladang, penduduk desa yang sedang bekerja di sawah dan ladang, terlihat duduk dan jongkok di pinggir jalan. Di depannya berdiri para pendatang yang telah turun dari kudanya masing masing.
"Heiii kalian !!! Apakah pernah ada prajurit keraton yang datang ke sini ?" tanya Prahasta pemimpin rombongan berkuda.
"Tii... tidak pernah ndoro," jawab salah satu warga.
"Apakah ada orang yang tinggal di hutan atas itu ?" tanyanya lagi.
"A a...ada ndoro," jawab warga yang tadi.
"Cukuppp !!!" bentak Prahasta.
"Dengarkan ! Jangan pernah ada yang bilang kalau kami pernah datang ke sini Kalau ada yang buka mulut mengatakan kalau kami pernah datang ke sini, awas !!! Akan kupenggal kepalanya. Mengerti ?" Prahasta berkata lantang.
"Mengerti ndoro....." jawab warga desa serentak.
"Bagus. Prono, panggil yang lainnya. Kita berangkat sekarang," perintah Prahasta.
"Siap kakang," Prono menjawab.
Sesaat kemudian terdengar suitan melengking nyaring sebanyak tiga kali.
Jarak beberapa saat kemudian terdengar suitan satu kali dari arah rumah rumah penduduk.
"Prono, Karto, kita berangkat sekarang menuju ke hutan itu," kata Prahasta sambil tangan kanannya menunjuk ke arah gunung, arah hutan Alas Penahun.
Mereka bertiga segera menggebah kuda mereka agar berlari kencang.
Yang tidak berapa lama disusul anak buahnya yang berjumlah 27 orang. Yang juga membawa barang barang yang telah mereka rampas dari penduduk desa. Bahkan ada beberapa wanita muda yang mereka bawa dengan paksa. Terdengar mereka tertawa tawa puas dengan rampasan mereka.
--- 0 ---
Jauh dari Desa Paminggir, di tepian hutan Alas Penahun.
"Thole Lintang, ayo kita masuk ke hutan. Berburu sekalian melatih insting memanahmu," ajak Ki Penahun.
"Iya Eyang," jawab Lintang Rahina.
Segera Lintang menyiapkan semua peralatan berburunya. Kemudian pamit ke neneknya dan langsung menyusul kakeknya menuju ke arah hutan.
Sampai dengan sore hari, Lintang dan Ki Penahun berhasil mendapatkan 2 ayam hutan besar. Menjelang hari gelap, mereka berdua pulang.
Tepat saat gelap menyelimuti hutan, mereka berdua jalan setapak menuju ke gubugnya.
Tetapi, betapa terkejutnya mereka berdua, melihat teras dan halaman depan gubugnya tampak terang benderang. Banyak obor tertancap mengelilingi halaman depan gubug. Di tengah tengah halaman terlihat ada api unggun besar. Di sekeliling api unggun, duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke teras sekitar 20 - 30 laki laki dewasa berbadan kekar kekar. Mereka berbicara ramai kadang di sertai dengan teriakan dan tawa yang bersahutan.
Dengan penuh menyimpan pertanyaan, Ki Penahun dan Lintang mendekat, dan sesaat kemudian mereka berdua sampai di depan gerombolan lelaki itu.
"Kakek.....jangan mendekat....pergilah dari sini. Ajak cucumu itu pergi dari sini, kalau kalian berdua tidak ingin celaka," teriak Wage sambil mendekati Ki Penahun.
"Kisanak.......kisanak sekalian siapa ? Sampai bisa berada di gubug kami ?" tanya Ki Penahun sambil menggandeng tangan Lintang.
"Siapa kami.....bukan urusanmu ! Pergi dari sini ! " bentak Wage. Disusul suara gelak tawa rekan rekannya mentertawakan Ki Penahun dan Lintang.
"Ini gubug kami. Jadi siapa kalian, itu jadi urusan kami," sergah Ki Penahun yang perasaannya mulai dihinggapi rasa gelisah dan juga curiga pada mereka semua.
Owhh....ho ho ho....jadi kamu suami dan cucu nenek renta yang sudah jadi mayat itu ?" kata Wage sambil menuding bawah satu pohon kelapa.
"Nyai...!!!"
"Eyang....!!!"
Ki Penahun dan Lintang berteriak memanggil sambil hendak berjalan menuju jasad Nyai Penahun.
"Berhenti !!! Atau kamu ingin bernasib sama dengan perempuan tua itu ? Kehilangan nyawanya karena tidak mau menyerahkan rumah ini ?" bentak Wage lagi.
"Jadi, kamu yang membunuh istriku ?" tanya Ki Penahun dengan suara yang berubah lirih tapi tegas disertai tatapan mata yang berubah dingin.
"Ho ho ho....jad kamu tidak terima istrimu aku bunuh ? Kamu mau menyusulnya menghadap dewa kematian ? Kalau memang itu yang kau pilih, kamu bisa memilih, dengan cara apa. Minta ku keluarkan isi perutmu ? Atau aku pecahkan kepalamu seperti istrimu ?" tantang Wage dengan sombongnya.
"Kalian semua harus menerima balasannya !" ucap Ki Penahun pelan namun tegas dan bisa didengar oleh semua gerombolan yang berada disitu.
"Kakang Wage....haj.....!??"
"Habisi kak....!??"
"Haa...."
Suara teriakan teriakan teman teman Wage terhenti seketika.
"Aughh...." hanya suara itu yang bisa keluar dari mulut Wage.
Entah kapan bergeraknya, tahu tahu Ki Penahun sudah berada persis di depan Wage dan kelima jari jari tangan kanannya sudah menusuk lehernya dan mencengkeram kerongkongan Wage. Kemudian terdengar bunyi tulang leher Wage yang patah. Tidak sampai dua tarikan nafas, Wage mati dengan leher yang menganga. Sampai dengan hilangnya nyawanya, Wage tidak pernah tahu, apa yang terjadi pada dirinya.
"Heeiii....siapa kamu ? berani beraninya membunuh anak buahku !!!" teriak Prahasta.
"Siapa aku, itu bukan urusan kalian. Yang pasti, kalian harus membayar apa yang sudah kalian lakukan pada
istriku dan tempat tinggal kami," sergah Ki Penahun.
"Anak anak.....singkirkan kakek tua itu dan cucunya juga !!!" perintah Prahasta.
Langsung saja, anak buah Prahasta yang sejak tadi sudah mengepung, menyerbu Ki Penahun dan Lintang.
Ki Penahun menarik Lintang dan digendong di punggungnya. Ki Penahun yang sudah menahan diri sejak tadi, langsung menyambut serbuan anak buah Prahasta. Dengan sekali sentuhan tapak kanan dan kirinya, Ki Penahun meremukkan isi kepala ataupun isi dada anak buah Prahasta.
Tidak sampai 10 menit, semua anak buah prahasta mati tanpa sempat berteriak terkena pukulan Tapak Wulung yang lama sekali sudah tidak pernah Ki Penahun keluarkan, walaupun diam diam Ki Penahun selalu melatih gerakannya.
"Whaahhhhh..... kakek tua !!! kamu cari mati !! berani mengusik Si Pedang Geni," Prahasta berteriak sambil menyebutkan julukannya.
"Prono, Karto. Habisi kakek dan cucunya itu !!! Bawa kepalanya kehadapanku !!!" perintah Prahasta pada dua tangan kanannya.
"Siap kakang !!" sahut mereka berdua.
Langsung saja Prono dan Karto mencabut golok mereka dan langsung menyerang dengan jurus jurus yang tampaknya jurus yang dimainkan berpasangan.
Prono dan Karto sebenarnya memang sepasang pendekar dengan ilmu silat golok berpasangan. Mereka berdua telah malang melintang menjadi pendekar di sepanjang Kali Progo. Tapi karena mereka hanya mencari kepuasan hawa nafsunya, mereka jadi pendekar golongan hitam.
Pada suatu saat, mereka berdua bertemu dengan Prahasta dan anak buahnya. mereka berebut korban dan barang barang rampasan.
Dengan kesaktiannya, Prahasta bisa mengalahkan Prono dan Karto. Sejak bertemu dan bertempur dengan keduanya, Prahasta sudah bisa melihat potensi yang bagus, jika Prahasta bisa menarik keduanya untuk menjadi tangan kanannya.
Dan dengan janji janji yang menggiurkan, Prono dan Karto bersedia menjadi tangan kanan Prahasta.
Kembali ke pertempuran.
Selama kira kira lima jurus serangan, Ki Penahun hanya menghindar untuk menilai dan mempelajari serangan Prono dan Karto.
Setelah dirasa cukup mempelajarinya, Ki Penahun bekata pada mereka berdua.
"Ilmu kacangan begini berani mengusik Alas Penahun," kata Ki Penahun sambil kedua tangannya membuka ke samping kiri dan kanan.
Dalam sekejap, kedua tangan Ki Penahun sudah mencengkeram leher Prono dan Parto. Dan tanpa sempat menghindar dan berteriak, leher mereka terkoyak dan patah. Prono dan Karto tewas seketika hanya sempat mengeluarkan lima jurusnya.
Prahasta tercekat melihat hal itu.
"Sekarang giliranmu !!!" kata Ki Penahun.
___ o ___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 282 Episodes
Comments
Wan Trado
penyelesaian yg efisien, tidak bertele-tele 👍
2024-10-14
0
MATADEWA
Awal yang seru...
2023-01-17
1
Kgs Indra Rajasyah
👍👍👍
2022-12-23
1