Hari masih pagi. Lintang dan Ki Sardulo berjalan biasa menuju luar hutan. Sesampainya di pinggir hutan, Lintang sudah bisa melihat, penduduk desa terdekat dengan hutan sudah beraktifitas seperti biasanya. Ada yang di sawah, ladang bahkan ada yang mengurus ternaknya di sungai kecil di tepi hutan.
Lintang khawatir kalau penduduk dan orang orang yang berpapasan dengan mereka, ketakutan kalau melihat Ki Sardulo. Dan akan menimbulkan masalah.
"Ki Sardulo, maaf, bagaimana kalau Ki Sardulo masuk medalam cincin saya ? Biar tidak membuat takut orang yang bertemu kita. Kita tetap bisa berkomunikasi Ki," kata Lintang sambil berhenti tepat di pinggir hutan.
"Tidak masalah raden," jawab Ki Sardulo cepat.
Lintang segera mengangkat tangan kirinya yang memakai cincin ke arah Ki Sardulo. Sekejap kemudian Ki Sardulo sudah menghilang masuk ke dalam cincin Lintang.
Kemudian Lintang melesat cepat sambil berkata, "kita ke arah kanan ya Ki. Eyang pesan kita ambil arah kanan, arah selatan."
Ki Sardulo mengangguk. Dia tidak sadar kalau anggukannya tidak terlihat oleh Lintang. Tetapi Lintang tidak butuh jawaban, langsung dia melesat cepat secepat kilat, tanpa semua penduduk yang ada di sawah dan ladang menyadari kalau ada yang melesat melayang di atas mereka.
Setelah melewati desa Paminggir dan kemudian melewati persawahan dan ladang yang lebih luas lagi, masih dikejauhan, terlihat perkampungan yang sangat besar dan ramai.
Lintang dapat tetap melihat dengan jelas dalam jarak satu kilometeran.
Agar tidak menimbulkan hal hal yang merepotkan, Lintang memutuskan untuk berjalan biasa seperti bukan ahli kanuragan.
Lintang sangat kagum dengan suasana yang ditemuinya.
Lintang yang baru pertama kali masuk ke dunia ramai, sebenarnya tidak tahu arah. Karena tidak tahu akan kemana, makanya Lintang menuruti kemanapun kaki melangkah, yang penting mendapat pengalaman dan menambah pengetahuan dan wawasan.
Begitu sampai di gerbang perkampungan, Lintang terkagum kagum dengan suasana dan keadaannya.
Banyak rumah rumah yang besar besar dan jaraknya yang tidak berjauhan. Jalan jalan tampak lebar lebar, ramai lalu lalang yang mayoritas berjalan kaki. Ada beberapa yang lewat dengan menunggang kuda.
Kebanyakan mereka yang lewat dan berjalan kaki adalah penduduk biasa. Ada yang berprofesi sebagai pedagang, ada petani yang sedang menjual hasil panennya, ada juga orng orang yang menjual jasa membawakan barang barang, dengan memanggulnya, menggendongnya, menyunggi ataupun menjinjing.
Dalam penilaian Lintang, mereka bermacam macam, tapi ada satu kesamaan. Yaitu mereka ramah ramah. Saling bertegur sapa. Senyum selalu menghias bibirnya.
Tiba tiba dari arah belakang Lintang, terdengar suara berderap disertai teriakan.
"Awas....minggir minggir !!!"
Walaupun masih agak jauh, tetapi suaranya terdengar sampai di mana Lintang berada.
Selang beberapa saat kemudian barisan orang orang berkuda berjumlah lima orang melewati Lintang.
Agaknya mereka prajurit pengawal seorang pembesar keraton.
Terlihat, di belakang mereka satu kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda. Duduk di depan, seorang sais di sampingnya ada seorang prajurit. Di bagian tengah sampai belakang tertutup rapat oleh kelambu.
Entah siapa yang berada di dalam kereta yang lumayan mewah itu.
Di belakang kereta mengikuti sekitar sepuluh orang prajurit.
Akhirnya rombongan prajurit dan kereta itu lewat, tanpa ada yang berbìcara.
Beberapa saat kemudian, rombongan itu semakin jauh dan kemudian tidak terlihat lagi karena sudah sangat jauh.
Lintang terus berjalan. Dia sangat menikmati suasana perkampungan itu. Sampai tak terasa sampailah dia di ujung kampung. Jalan yang Lintang lewati mulai bernuasa persawahan lagi dan kadang persawahan.
Sampai suatu saat, Ki Sardulo berbicara kepadanya, "Den, apakah mendengar suara suara itu ?"
Ki Sardulo adalah bangsa siluman, jadi bisa mendengarkan dan merasakan suatu kejadian walau masih lumayan jauh.
Lintang mengkonsentrasikan indra pendengarannya.
"Seperti suara pertempuran Ki," jawab Lintang.
Lintang langsung menggunakan ilmu meringankan tubuhnya menuju ke tempat yang sepertinya terjadi pertempuran.
Sampai di tempat yang di tuju, Lintang tidak langsung mendekat. Dia melihat terlebih dahulu dari kejauhan.
Dan benar saja. Kelihatan rombongan kereta yang tadi melewati Lintang saat di perkampungan yang dia lewati.
Para prajurit yang mengawal kereta tampak dikepung dan bertarung dengan para pengepungnya. Tampaknya rombongan kereta sudah terdesak karena kalah jumlah dan kalah posisi.
Para berjumlah sekitar limapuluh orang dan dipimpin oleh seorang berbadan tinggi besar.
"Siapapun kalian, apa kalian tidak memandang kalau kami prajurit keraton yang sedang bertugas ?" teriak prajurit yang tadi memimpin rombongan berkuda.
"Ha ha ha ha ha.....Kami tahu kalian prajurit keraton. Kami tidak peduli kalian prajurit atau pembesar keraton. Ini tlatah jauh dari keraton Kami tidak takut pada prajurit. Selama ini tidak ada prajurit yang bisa mengalahkan kami," kata pemimpin gerombolan penghadang.
"Kami hanya ingin harta benda yang kalian bawa. Kalau kalian ingin selamat, tinggalkan kereta dan kuda kuda kalian serta semua harta yang kalian bawa," lanjut pemimpin gerombolan.
"Kalian gila ! Kami mengawal Raden Arya Wisnutama, putra Bupati wilayah timur," pemimpin prajurit mencoba bernegosiasi.
"Kami tidak peduli. Serahkan harta kalian atau kami paksa dengan kekerasan," ancam pemimpin gerombolan.
"Teman teman, ambil paksa harta mereka. Kalau ada yang melawan, bunuh saja," perintah pemimpin gerombolan.
"Siap !!!" jawab teman temannya serentak.
Akhirnya pecah juga pertempuran yang tidak seimbang kekuatannya.
Walaupun lima prajurit berkuda ditambah satu yang duduk di dekat sais kereta adalah para perwira yang ilmunya lebih tinggi dari para prajurit, tetapi menghadapi gerombolan pendekar yang jumlahnya lebih banyak, mereka kuwalahan juga.
Satu perwira dikeroyok lima sampai enam gerombolan penghadang.
Akhirnya rombongan prajurit terdesak. Apalagi sudah ada lima prajurit yang terluka parah dan tidak bisa bertarung lagi.
"Den, sebaiknya den Lintang turun membantu para prajurit itu," saran Ki Sardulo.
"Baiklah Ki," jawab Lintang.
Lintang agak mendekat, sambil mengambil beberapa lembar daun kering di sekitarnya.
Diam diam Lintang melumpuhkan anggota gerombolan yang hendak bertindak kejam membunuh prajurit yang telah terluka.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Tiba tiba saat akan mengayunkan senjatanya untuk membunuh prajurit, satu persatu tiba tiba jatuh terduduk dan tidak bisa bangun.
Dari tempatnya berdiri, Lintang menyabitkan lembaran daun kering dengan dilapisi tenaga dalam. Ke arah tangan kanan untuk menjatuhkan senjata anggota gerombolan, kemudian ke arah kedua lutut mereka sehingga mereka tiba tiba terjatuh.
Sampai separo lebih anggota penghadang, mereka belum mengetahui apa yang terjadi.
Tiba tiba pemimpin gerombolan penghadang berteriak kepada Lintang, "Hei anak muda, jangan kau ikut campur urusan kami, kalau kau masih sayang nyawamu."
"Aku tidak ikut campur. Aku hanya tidak bisa melihat ketidak adilan dan kesewenang wenangan," jawab Lintang.
"Tahu apa kau tentang keadilan," bentak pemimpin penghadang.
"Mengeroyok adalah tidak adil," jawab Lintang lagi.
"Kalau begitu, kamu harus berhadapan dengan aku," jawab pemimpin gerombolan penghadang sambil mendekat ke tempat Lintang, dan mulai menyerang Lintang.
\_\_\_ 0 \_\_\_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 282 Episodes
Comments
Prb Kertapati
kan ceritanya siluman....harusnya gk terlihat mata normal.
2023-04-14
0
MATADEWA
Hajar....
2023-01-17
1
BaronMhk
gasssssss
2022-12-17
1