"Ceritakan, di mana dan kapan biasanya memberikan persembahan," kata Lintang.
"Di tepi samudra. Di pantai yang datar dan berpasir putih, yang di kelilingi tebing tinggi den. Hampir setiap larut malam den," jawab prajurit itu.
"Baiklah, kali ini kalian kubebaskan. Ingat, jadilah prajurit yang bisa melindungi rakyat. Jangan berbuat semena mena pada rakyat," kata Lintang lagi, "kalian boleh pergi. Bawa jasad pimpinanmu itu. Cepat."
Tidak menunggu diperintah lagi, mereka segera pergi dengan membawa jasad Ki Demang.
Setelah para prajurit itu pergi, Lintang mendekati si mbok lagi.
"Mbok, ajak anakmu pulang," kata Lintang sambil memberikan satu kampil (kantong uang) pada si mbok.
Melihat isi kampil yang sekitar seratus koin emas, si mbok, sambil bersujud berulang ulang, mengucapkan terima kasih tak henti henti.
Si mbok baru berhenti setelah anak gadisnya memeluk lengannya dan berkata "mbok'e, sudah....berhenti.....den mas'e sudah pergi."
"Per...pergi ? kapan nduk ?" kata si mbok heran.
"Saya juga tidak tahu mbok. Tahu tahu sudah tidak ada di depan simbok," jawab anak perempuan itu.
Lintang memang segera melesat, pergi ke arah pesisir pantai. Rasa penasaran Lintang semakin besar.
Lintang menuju puncak bukit kapur yang kemungkinan kecil dilewati orang. Tetapi tetap mempunyai pandangan yang luas, bisa melihat dan memantau keadaan sekitarnya.
Begitu hari berganti malam, di kejauhan Lintang melihat rombongan kereta diiringi pasukan berkuda. Rombongan itu bergerak menyusuri jalan berkelok kelok menuju pantai. Tergesa gesa seperti ada yang mengejarnya.
Dari jalan arah lain lagi, lebih ke timur, terlihat juga rombongan kereta dikawal pasukan berkuda, juga menuju pantai yang sama.
Rombongan kereta itu terlihat bertemu dan berkumpul di satu titik di tepi pantai.
"Berapa yang kamu bawa, Senopati muda Wirayuda ?" tanya seorang yang sepertinya kerabat kraton.
"Ada empat, raden tumenggung," jawab orang yang ternyata seorang senopati muda bernama Wirayuda.
"Maaf tumenggung Kalidoro, Ki demang Sujiwo terpaksa saya bunuh," kata senopati Wirayuda.
"Aku sudah mendengar dari prajurit yang selamat. Siapa anak muda yang kamu maksudkan itu, senopati ?" tanya tumenggung Kalidoro.
"Siapa dia, saya belum bisa memastikan, raden. Saya merasakan, anak muda itu sepertinya mempunyai kekuatan yang sangat besar. Mudah mudahan, anak muda itu tidak berseberangan dengan kita," sambung senopati Wiryuda.
"Untuk urusan anak muda itu, wewenang ada di tanganmu, senopati. Lakukan sesuai apa yang kamu anggap perlu," kata Raden Tumenggung Kalidoro.
"Akan saya lakukan semampu saya, raden," jawab senopati muda Wirayuda.
Para prajurit segera berjaga jaga di sekitar kereta dan menyalakan beberapa obor, sekedar untuk penerangan. Mereka seperti tidak peduli, angin pantai yang bertiup, membuat baju, selendang dan rambut mereka berkibaran.
Semua rombongan kereta terdiam. Seperti ada yang mereka tunggu.
Lintang pun juga menunggu, apa yang akan dilakukan rombongan kereta itu. Sambil duduk bersemedi, jauh di atas bukit kapur.
Tanpa terasa beberapa jam berlalu. Malam mulai memasuki puncaknya. Jam duabelas malam.
Tiba tiba, suara dan hembusan angin berhenti. Suara dan gerakan gelombang ombak berhenti. Bahkan waktu pun serasa seperti berhenti. Suasana menjadi senyap beberapa waktu.
Kemudian lamat lamat terdengar suara bergemerincing. Seperti dari jauh.
Bersamaan dengan itu, terlihat berpendarnya cahaya. Kuning keemasan.
Suara gemerincing itu semakin lama terdengar semakin jelas.
Begitu pula pendaran cahaya kuning keemasan itu. Setelah beberapa waktu dan semakin dekat, tampaklah wujudnya.
Kereta kuda beroda empat, berlapis emas. Ditarik oleh enam ekor kuda putih. Saisnya seorang wanita berpakaian seperti pendekar wanita. Penumpang kereta, seorang berpakaian putri keraton. Kelihatan anggun dan cantik.
Kereta itu dikawal oleh prajurit, semuanya wanita.
Kereta kuda keemasan itu bergerak melayang di angkasa, menuju ke arah rombongan dua kereta yang berada di pantai.
Kemudian terdengar suara dari wanita yang berpakaian putri kraton dari dalam kereta yang melayang.
"Berapa persembahan yang kamu bawa ? Kenapa bukan junjunganmu sendiri yang mengantarkannya ?" tanya wanita yang berbusana seperti putri keraton.
"Ampun ratu. Hari ini ada delapan, kanjeng ratu. Ampun juga Kanjeng Ratu, kanjeng pangeran masih sibuk. Mengatur tugas para senopati dan tumenggung dan pejabat lainnya. Kanjeng pangeran mengutus kami berdua, tumenggung Kalidoro dan senopati Wirayuda, untuk melayani kanjeng ratu," jawab Raden Tumenggung Kalidoro.
"Dulu menemui aku, minta bantuan agar bisa menjadi raja jawa. Aku sanggupi permintaannya, aku hanya minta diberi wanita wanita muda, yang akan kujadikan abdi dan prajuritku di kerajanku," kata Kanjeng Ratu.
"Pergilah. Tinggalkan mereka semua di sini," sambung Kanjeng Ratu.
"Baik Kanjeng Ratu, kami pamit," jawab Raden Tumenggung Kalidoro.
Segera saja dua kereta beserta prajurit pengawalnya, meninggalkan pantai itu. Yang sebelumnya menurunkan masing masing empat wanita muda dari dalam kereta.
Setelah rombongan kereta raden tumenggung Kalidoro pergi jauh, kereta yang berpendar menyala kuning keemasan itu turun, tapi tetap dalam keadaan melayang.
"Prajurit, ambil mereka semua," perintah Kanjeng Ratu.
"Laksanakan Kanjeng Ratu," jawab seorang prajurit.
Delapan prajurit berkuda, turun memdekati para wanita muda yang tidak berdaya itu. Berniat hendak mengambil, satu prajurit membawa satu gadis persembahan.
Tetapi, sebelum mereka menaikkan gadis gadis itu, tiba tiba , kekuatan yang sangat besar disertai suara yang keras, seperti menahan mereka.
Lintang Rahina, yang sebelumnya berdiri di atas bukit berkapur, menyaksikan semuanya, segera melesat turun mendekati rombongan kanjeng ratu, untuk menyelamatkan para korban persembahan.
"Berhenti !!! jangan sentuh mereka !!" teriak Lintang dengan mengeluarkan tenaga dalamnya.
Begitu mendengar teriakan Lintang, delapan prajurit wanita yang turun hendak pengambil gadis gadis persembahan, merasakan tekanan yang membuat mereka tidak bisa bergerak.
Dalam berteriak, Lintang memang mengerahkan tenaga dalam ke dalam suaranya dan juga membaca mantra, bersiap untuk melawan siluman. Sehingga untuk golongan siluman biasa, akan langsung terkena efeknya.
Melihat siapa yang mendekat dan apa yang terjadi pada para prajuritnya, Kanjeng Ratu juga berteriak sambil mengibaskan tangannya ke arah prajuritnya.
"Hai manusia. Kamu anak muda yang tadi malam kan ? Apa yang kamu lakukan disini ? Jangan ganggu urusanku," teriak Kanjeng Katu.
"Aku tahu, kamu siluman naga, ratu para siluman di samudra ini. Aku tidak akan mengganggu urusanmu. Tetapi, kalau kau memangsa manusia dengan alasan persembahan, aku tidak bisa terima. Aku akan memusnahkanmu," jawab Lintang.
"Kamu manusia dari gunung Merbabu. Jangan mengganggu urusanku. Ki Simo saja tidak berani menggangguku," kata ratu siluman Naga Wilis Kencana.
"Lintang mengayunkan tangan kanannya yang memakai cincin sambil berkata, "Ki Sardulo, keluarlah !!!"
Dalam sekejab, Ki Sardulo atau Ki Simo, keluar dari cincin Lintang dalam wujud harimau loreng kuning setinggi tiga meter lebih.
Melihat dan merasakan hawa siluman lain, ratu siluman naga, Naga Wilis Kencana berteriak kaget.
"Ki Simo, kenapa kamu berada di sini ?"
"Kita bertemu lagi Nyi Wilis Kencana. Aku ke sini menemani den Lintang, anak muda ini," jawab Ki Sardulo.
"Sebentar....Ki Simo menemani anak muda ini ? Jangan bilang Ki Simo sudah..." kata Nyi Naga Wilis Kencana pelan.
"Betul nyi. Aku ditaklukkan anak muda ini" jawab Ki Sardulo.
Mendengar jawaban Ki Sardulo, ratu siluman naga, Naga Wilis Kencana berkata dalam hati, "manusia memang kemampuannya tak bisa diduga, dengan kemampuan akal pikirannya. Aku merasakan, Lintang anak manusia ini, mempunyai energi yang sangat besar. Ki Simo saja bisa ditaklukkan. Kekuatan yang mengerikan. Aku tidak akan bisa menang melawannya. Harus kuakali, agar anak manusia ini, tidak berseberangan denganku."
\_\_\_ 0 \_\_\_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 282 Episodes
Comments
BaronMhk
👍👍👍👍👍
2022-12-19
0
BaronMhk
💪💪💪💪
2022-12-19
0
rajes salam lubis
lanjutkan
2022-11-29
1