Qia berhasil keluar dari rumah keluarga Qiandra dengan tatapan ingin menghabisi dari keluarganya itu. Hh..melegakan.
Di dalam mobil sepanjang perjalanan, Qia hanya diam. Real yang duduk di samping, juga terdiam. Terkadang kedua matanya yang runcing menoleh ke samping. Ke arah Qia yang duduk bersandar sambil melihat ke arah jalanan.
Akhirnya mobil yang membawa mereka sampai di depan rumah Arkana. Axel hendak membuka pintu untuk Real. Tapi Real sudah turun terlebih dahulu. Dia memberi kode kepada Axel untuk membuka pintu untuk Qia. Perempuan muda itu masih termenung di dekat jendela. Dia belum sadar mobil ini sudah sampai pada tujuan mereka.
Qia terkejut saat mendapati Axel berdiri di luar mobil. Axel membungkuk dan ingin membukakan pintu mobil. Tapi Qia segera membuka pintunya sendiri.
"Aku bisa membawanya sendiri," ujar Qia saat seorang pelayan rumah akan membawakan tasnya. Pak Samo yang ada di depan pintu membungkuk hormat.
"Antar dia ke kamarnya!" perintah Real.
"Baik tuan." Pak Samo mempersilahkan. Qia mengikutinya. Pak Samo mengantarkan Qia ke sebuah kamar yang jendelanya menghadap ke sebuah taman. Bagus. Qia menyukainya. Walaupun seandainya tidak sebagus ini Qia akan menyukainya.
"Di sebelah kamar siapa?" tanya Qia yang melihat sebuah pintu di sebelah kamarnya.
"Itu kamar tuan muda Real, nona..," Qia mengangguk. Jadi dia benar-benar menempatkan aku di sisinya. Berada selalu di dekatnya. Ini semua akan jadi cerita romantis kalau seandainya latar belakang cerita bukan di mulai dari aku yang memaksanya untuk melenyapkanku.
"Anda bisa menelpon lewat telfon khusus untuk pelayan kalau anda membutuhkan sesuatu nona,"
"Jangan memanggil saya nona, Pak. Saya hanya gelandangan yang numpang di sini. Bukan nona-nona berkelas yang biasanya anda temui bersama Tuan Real," Qia membungkuk sopan.
"Saya tidak perduli soal itu. Yang saya tahu Tuan Real berkata anda adalah tamu rumah ini. Saya akan berlakukan sama untuk semua tamu Tuan Real Arkana," kata Pak Samo itu tenang dan sopan. Pekerja yang setia sepertinya.
"Kalau begitu saya sangat berterima kasih anda melakukannya, Pak. Walaupun saya sendiri merasa tidak perlu." Qia membungkuk lagi.
"Baik saya permisi dulu nona.."
"Terima kasih, Pak."
***
Real hendak mengetuk pintu kamar Qia. Tak di sangka pintu itu ternyata terbuka sedikit. Sepertinya Qia tak sadar pintu kamarnya masih terbuka sedikit. Real terkejut. Real melihat perempuan itu sedang berganti pakaian. Dia bukan terkejut karena perempuan itu bertelanjang bulat. Tetapi dia terkejut saat melihat punggung perempuan itu penuh dengan bekas luka memanjang. Seperti bekas pukulan sebuah tongkat.
Real langsung membalikkan badan dan berhenti di sana. Berdiri di samping pintu kamar Qia. Tidak jadi masuk ke dalam kamar. Real menyandarkan tubuh dan kepalanya di dinding. Pikirannya melayang jauh tentang luka-luka itu.
Kenapa dengan punggung itu? Jadi di balik keberaniannya dia menyimpan luka seperti itu.
Real tetap berdiri di sana. Karena dia tidak tega jika ada orang lain yang tahu luka itu. Kalau seandainya dia memaksa menutup pintu, perempuan itu akan tahu ada orang yang sudah melihat luka itu. Dia pasti akan terluka. Jadi Real tetap berdiri di sana sampai Bibi Inah, isteri pak Samo lewat. Bi Inah membungkuk hormat.
Dia hendak bertanya, tapi Real sudah meletakkan telunjuk di bibirnya menandakan jangan membuat suara-suara. Bi Inah paham dan mendekat ke arah Real dengan pelan. Memberikan intruksi lalu dia pergi.
Setelah Real pergi, Bi Inah melaksanakan tugasnya. Tok! Tok!
"Anda di sana nona? Saya melihat pintu ini terbuka. Kalau anda di sana saya akan membiarkannya dan masuk. Karena ada pesan dari Tuan Real."
Qia sedikit terkejut mendapati pintu kamarnya terbuka sedikit. Dia sudah selesai berpakaian.
"Aku ada di dalam. Silahkan masuk kalau anda ada perlu!" teriak Qia. Bik Inah masuk dengan menunduk.
"Saya barusan datang untuk memberi tahu pesan dari Tuan Real," kata Bik Inah sambil menekankan kata barusan agar Qia tahu kalau tidak ada orang lain yang tahu pintunya terbuka saat dia berganti pakaian. Itu intruksi Real Arkana tadi. Bik Inah tidak begitu paham tapi dia mendengarkan intruksi secara seksama dan melaksanakannya.
"Oh..begitu. Ada pesan apa Bik.." Qia akhirnya bisa sedikit lega. Bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya sedang berpakaian. Dia tidak ingin ada yang tahu soal luka itu.
"Saya Bik Inah yang bertugas membuat makanan di rumah ini. Pak Samo tadi adalah suami saya," Kata Bik Inah memperkenalkan diri tanpa di minta. Sepertinya orangnya ramah dan penuh ke ibuan. Qia mengangguk mengerti.
"Anda di minta ke meja makan. Makanan untuk makan malam sudah siap."
"Bolehkah saya makan di sini, Bi?" tanya Qia lesu. Dia sedang tidak ingin keluar kamar. Rasanya tubuh dan pikirannya lesu dan letih. Bik Inah menggeleng lembut.
"Tuan sudah berbaik hati mengundang anda ke meja makan. Lebih baik anda memenuhi undangan itu. Ini adalah hari pertama anda datang kerumah ini. Sepertinya kurang pantas seorang tamu mengabaikan tuan rumahnya yang berbaik hati mengundang anda makan malam. Karena dia juga sudah memperlakukan anda sebagai tamu dengan pantas. Jadi berkenanlah anda menjadi tamu yang pantas bagi Tuan Real Arkana."
Benar. Mana ada gelandangan seenaknya sendiri di hadapan seorang tuan kaya. Baiklah.. aku juga harus tahu diri bukan.
"Saya akan turun sekarang,"
"Terima kasih nona," Bik Inah membungkuk dan pergi. Qia akhirnya keluar kamar. Menuju ruang makan yang di lihatnya tadi saat di antar ke kamar oleh pak Samo. Melihat kedatangan Qia, Real mendongak.
"Silahkan duduk," Real mempersilahkan Qia duduk di dekatnya. Qia mendekati dan duduk di tempat yang di tunjuk Real.
"Sebaiknya kau makan dengan baik." Qia mengangguk. Seorang pelayan hendak mengambilkan makanan untuk Qia, tapi Qia menolaknya,
"Jangan. Biarkan aku mengambilnya sendiri. Terima kasih," Lalu Real memberi kode pada semua pelayan untuk keluar dari ruang makan. Qia mengambil nasi dan lainnya secukupnya.
"Kau hanya makan sebanyak itu?" tanya Real melihat porsi makan Qia yang sangat sedikit.
"Ya, Tuan." Real memperhatikan perempuan itu memakan makanannya.
"Hapus kata-kata Tuan dari mulutmu. Kau bisa membiasakan mulut itu untuk memanggil ku, Real." Qia mendongak.
"Apakah pantas saya memanggil anda hanya dengan nama?" Real menyelesaikan suapannya sebelum menjawab pertanyaan Qia.
"Kamu sudah pernah melakukannya. Pernah mengatakan kamu dan aku padahal itu pertemuan kita yang masih baru. Jadi kenapa sekarang merasa tidak pantas! Seharusnya kau tanyakan itu pada saat kau melakukannya!" Real menatap lurus perempuan itu. Sejak kepulangan dia dari rumah Qiandra semakin jelas sorot mata itu menjadi lesu. Tapi setelah Real mengucapkan banyak kalimat dengan nada keras karena dia kesal, entah kenapa sorot mata itu menjadi sedikit hidup.
Rupanya Real masih ingat soal lidah Qia yang 'keseleo' dengan berani sudah berkata aku dan kamu. Mata Qia mengerjap karena gugup.
"Apalagi saat berada dalam rumah keluarga Qiandra. Bukankah kau sudah menepuk pundakku dengan sengaja dan tanpa takut. Di sana juga kau tidak memanggilku Tuan. Sekarang apa yang perlu kau ributkan?!"
Benar. Gertakan Real rupanya bisa membuat mata perempuan itu berkilat lagi. Mungkin dia jadi lupa soal luka saat bersama keluarganya saat Real memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya perlu berpikir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Andriani
hmhmmm.... sedikit misteri nih cerita... ortu kandung Qia mana yaa... aap di bunuh si Om ya
2022-10-08
0
Syamsidar Imelda
alurnya gk mudah ketebak, bikin penasaran Thor
2021-10-05
0
Mogu
ak baca di bab ni ko sprti mngndung bawang bnyk ya thor awalnya ga trlli tertarik sm n novel tpi stlh baca wah trnyta dahsyatttttt bgt ceritanya ak jdi pnasaran ad ap dgn Qia
2021-09-02
0