Mata perempuan itu akhirnya bisa menyadari kedatangan tuannya. Wajahnya terkejut dengan kemunculan Arga dengan mata yang terus menatapnya. Tangannya masih memegang bola basket.
"Sha, lempar!" teriak Andre. Asha diam tidak merespon. "Sha!"
"Diam," desis Asha kesal tanpa menoleh ke Andre yang tidak paham situasi. Kepalanya menengok ke Cakra yang melintas hendak merebut bola. Lalu melempar bola ke dia.
"Sha! Kok malah di lempar ke Cakra sih?! Kamu kan satu timnya sama aku!" Andre menunjuk dirinya dengan sebal. Cakra juga bingung kenapa bola malah di lempar ke dia. Setelah melempar bola, Asha segera berjalan menuju pinggir lapangan dengan menunduk. Arga juga mendekat ke arah yang sama dengan di ikuti sama Paris. Dari sini Paris baru sadar ada Asha di situ.
"Kakak!!" teriak Paris senang lihat Asha lagi. Dia langsung memeluk pelayannya itu. Cakra menoleh. Tangannya terangkat menyapa Arga.
"Kakak di tinggal sama kak Arga ya?" Paris melirik kakaknya tajam. Asha hanya nyengir. Arga melihat ke arah perempuan yang lengannya digelayuti sama Paris.
"Hoi! Aku berhenti dulu." Cakra mendekati Arga setelah melempar bola.
"Kemana aja, Ga? Dia kasihan kayak anak kehilangan induknya. Jadinya ngikutin kita terus. Padahal kan dia bisa pulang sendiri ... Ternyata kalian datang bertiga toh," Cakra tersenyum melihat kedatangan adik perempuan Arga.
"Siapa kak?" tanya Paris.
"Cakra, putera paman Danang," terang Arga. Otak Paris masih berpikir.
"Oh ... paman yang kepala sekolah itu? Dia laki yang selalu mengajak kakak bolos itu..." Paris ingat karena sering dengar cerita. Cakra nyengir. Meski lain sekolah, Cakra memang sering bertandang ke sekolah Arga. Padahal mereka enggak satu angkatan. Arga itu satu tingkat di atas Cakra. Karena orang tua mereka teman masa kecil jadi mereka juga dekat.
"Halo, kak." sapa Paris akhirnya. Cakra menyambut sapaan Paris dengan senyum.
Oh ... dekat karena orang tua mereka teman masa kecil, Asha mengambil kesimpulan sendiri. Arga melirik perempuan itu. Dia sedang melihat Cakra dan kemudian bergumam sendiri.
"Kok kenal sama kak Asha?" tanya Paris yang langsung membuat indra penglihatan Asha melihat cepat ke arah Cakra.
"Justru aku yang heran. Kenapa kalian bisa bareng sama dia," tunjuk Cakra ke Asha. Asha memejamkan mata sejenak sambil memegangi kepalanya karena gelisah.
"Kok bisa kak?" Paris masih bingung.
"Aku sama Asha kan teman SMA dulu. Lalu kalian?" Cakra menjelaskan.
"Lho Kak Asha ini sekolah toh? Kok kerja di rumah?" tanya Paris aneh sambil lihat ke Asha. Arga diam saja sambil melirik ke Asha. Sementara perempuan ini berusaha melihat ke arah lain untuk menghilangkan kegelisahannya.
"Kerja di rumah? Kerja apaan sih, Sha?" Cakra jadi penasaran. Asha menghela napas berat.
"Kak Asha itu kerjanya di rumahnya kita ..." jelas Paris senang. Maksudnya dia senang dapat pelayan yang bisa dijadikan teman. Lalu meluk lengan Asha erat. Asha menunduk sambil garuk-garuk leher depan. Mendadak tubuh Asha jadi kayak terserang penyakit gatal-gatal. Dahi, leher dan hidung digaruk semua.
Cakra masih belum paham. Lalu melihat Arga yang sedari tadi masih diam.
"Maksudnya apaan, Ga?" Arga tidak menjawab.
"Aku jadi pelayan di rumah keluarga mereka," ungkap Asha akhirnya. Arga menoleh ke Asha. Perempuan muda itu menjawab sendiri pertanyaan yang ingin dihindarinya. Dia menjawabnya dengan tatapan mata yakin bahwa semua bakal tidak apa-apa. Lebih tepatnya pasrah. Terserah.
"Kamu?" Cakra menunjuk ke Asha.
"Iya."
"Dia menjadi asisten pelayan ku," imbuh Arga. Asha menoleh dengan mata terkejut. Apaan itu?
"Beneran? Jadi kamu di rumah mereka melayani orang ini?" Cakra menunjuk ke arah Arga sambil ketawa. Asha heran. Kenapa Cakra malah ketawa.
"Dua orang yang sama-sama keras gimana kerjasama ya ... Namun sepertinya kamu sudah bisa menjinakkan Asha deh." Cakra bergumam sambil terus-terusan tersenyum geli.
Jinak? Memangnya aku hewan? Mulut Cakra ingin di lakban deh! Asha melirik tajam ke arah temannya ini.
"Sekalian aja di jadikan bodyguardnya kamu, Ga! Dia kan ..." Asha mendelik.
"Tutup mulutmu ..." sergah Asha tertahan. Cakra tertawa terbahak-bahak. Merasa sangat senang bisa meledek perempuan ini. Paris tersenyum paham maksud Cakra.
"Baiklah, ayo kita pulang," ajak Arga.
"Hei, aku pulang dulu!" teriak Asha ke Deni dan Andre. Mereka hanya melihat dan mengangguk.
"Jangan lupa traktir kita ya, Sha! Aku tahu gaji kamu banyak," teriak Cakra saat Asha sudah berjalan menjauhi mereka.
Tahu aja itu anak aku dapat gaji banyak, tapi harus beneran traktir dia nih kalau gak mau mulut itu anak ember ke Arga soal aku.
Di dalam mobil,
"Jadi kak Asha ini sudah lulus SMA?" Di dalam mobil Paris masih saja membahas itu. Dia tidak menyangka, seorang yang masih bisa melamar pekerjaan di suatu perusahaan kecil misalnya, memilih menjadi pelayan di rumahnya. Apalagi memilih sebagai tukang cuci. Pekerjaan yang seringnya di anggap remeh.
"Kenapa kakak kerja di rumahku?"
"Hmmm ... Karena gajinya banyak, tidak perlu keahlian khusus dan tak perlu menulis surat lamaran kerja" jawab Asha lugas. Paris cekikikan. Dia ingat pertama kali bertemu dengan Asha. Hanya karena alasan simpel dia mau membantu Paris yang sedang di kepung dua orang.
"Cara berpikir kakak kadang terlalu simpel, tapi seru juga ..." Paris senang. Di kursi pengemudi, Arga melihat dari kaca spion atas melihat raut wajah Asha yang tidak lagi tegang. Mungkin dia merasa lega setelah melihat respon Cakra saat tahu bahwa dia bekerja sebagai pelayan. Arga sebenarnya tahu bagaimana Cakra itu karena sudah kenal dengan itu anak dari dulu. Saat Asha mengkhawatirkannya, Arga ingin bilang secara langsung kalau Cakra itu orangnya tidak begitu. Namun dia tahan, biar dia tahu sendiri.
"Sebentar, berarti kakak yang tadi lagi main basket sama kak Cakra itu ya ..." Paris kok baru sadar sih. Asha senyum. "Hooo ... Bisa aku ajak keluar main basket nih." Paris sudah punya banyak ide di dalam otaknya.
"Memangnya kamu bisa?" tanya Arga ikut nimbrung. Paris menggeleng. "Lalu?" tanya Arga heran.
"Biar kak Asha yang main, aku yang nonton. Aku jadi bisa dapat kenalan cowok baru kalau mengajak kak Asha." Maksudnya Asha jadi umpan nih. Paris tengil dan gila juga. Itu sih kelihatan dari dia yang sempat gelut waktu itu. Namun sepertinya Arga dan keluarganya enggak paham.
"Dia kerja Paris ... Jangan ngajak seenaknya." tegur Arga. Paris tidak menggubris perkataan kakaknya. Asha meringis dalam hati. Bakal banyak pekerjaan lagi nih kalau harus menemani nona muda ini.
Akhirnya mereka sampai di rumah. Paris segera berlari keluar dari mobil karena kudu ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sejak tadi sudah dia tahan mati-matian. Asha keluar belakangan dari mobil. Orang tua mereka sepertinya belum datang.
"Hei," panggil Arga saat Asha sudah mau belok ke belakang. Pas Arga masih di depan tangga menuju lantai dua. Asha berhenti dan memutar tubuhnya.
"Ya, Tuan." Arga membiarkan pelayan itu memanggilnya Tuan. Karena dia sedang tidak ingin mengganggu Asha.
"Maaf yang tadi." Pasti Arga sedang membahas soal dia yang menelantarkan pelayannya tanpa penjelasan yang jelas dia mau kemana dan kapan pulangnya.
"Tidak apa-apa, tuan ..." Asha membungkuk. Lalu Arga berjalan menuju meja telepon rumah. Menarik selembar kertas dan menuliskan sesuatu.
"Ini nomor ponselku. Kamu bisa menggunakannya jika hal seperti tadi terjadi lagi. Kirim nomor ponselmu melalui nomor itu. Namun jika kamu tidak membutuhkannya, kamu boleh membuangnya." Arga menyerahkan selembar kertas berisi nomor ponselnya.
"Baik, Tuan."
"Itu kalau kamu berani melakukannya," tukas Arga membuat Asha mendongak kesal.
GRRR!! Sama saja. Artinya aku harus menyimpan nomornya dan memberikan nomor ponselku ke dia. Maksa ini namanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Enung Samsiah
mnhauh aja sha, agra tuh nggk punya hati dingin
2023-09-08
0
anggun sinaga
suka maksanya ... xixixixi ... jd mesem2 sendiri
2023-01-28
0
Dahlia Anwar
aku males cerita cowok nya plin plan engga tau malu kaya Arga ,, dah tau mantan nya dah nikah mau aja di bego begoin.. tapi karena ada Asha aku lanjut baca
2022-10-06
0