"Arga, ayo sarapan dulu!" panggil bunda di dapur saat Arga melintas. Ayah juga sedang sarapan pagi di sana.
"Tidak," jawab Arga singkat. Tangannya sibuk mengancingkan kancing di lengan kemejanya.
"Hh ... Bunda menyodorkan banyak wanita cantik tidak pernah ada yang di pilih. Sekarang lihat lah ... Kamu memang butuh seorang pendamping." Bunda mulai membahas soal itu.
"Memangnya mengancingkan ini butuh orang lain? Aku masih bisa," kata Arga sambil menunjukkan ujung lengan bajunya ke arah bunda. Dia paham maksud bunda.
"Iya ... iya." Nyonya wardah menipiskan bibir melihat anaknya yang sedang mengancingkan lengan bajunya. Beliau berusaha mengalah.
"Tuan Muda, sekretaris Ren sudah ada di depan," kata Pak Yus memberi tahu.
"Ya. Aku akan segera keluar." lalu Pak Yus pergi.
"Bagaimana dengan program mall baru di kota Situbondo, Arga?" tanya Ayah sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut beliau.
"Proses pembangunan sudah 90%, Ayah."
"Siapa yang ada di sana?"
"Gilang."
"Dia memang mumpuni. Kamu kapan berangkat meninjaunya?"
"Lusa. Sekarang aku masih melihat perluasan lantai 2 di sini."
"O ... proyek itu ya."
"Aku berangkat," pamit Arga. Ayah dan bunda mengangguk.
"Jangan telat makan siang, Arga!" teriak Bunda mengingatkan.
"Masih saja di anggap anak kecil," kata Ayah membuat Nyonya Wardah menipiskan bibir tidak setuju dengan pendapat suaminya.
"Dia memang masih kecil, Ayah. Kalau belum menikah dia tetap anak kecil bagiku. Sulit banget sih cari istri. Dia kan anak yang tampan dan gagah."
"Sudahlah. Nanti juga dia akan menikah."
"Nanti, nanti. Nanti itu kapan?" Nyonya Wardah ngedumel. Sementara itu di luar rumah, Rendra sekretaris Arga yang cakap dalam bekerja sudah siap.
"Selamat pagi Tuan," sapa Rendra membuka pintu belakang mobil.
"Pagi." Arga menerima sapaan Rendra dan masuk ke mobil. Setelah menutup pintu, Rendra masuk ke pintu depan dan mulai menyalakan mesin. Saat itu muncul Asha di depan pintu keluar.
Arga memperhatikan perempuan itu berjalan dari pintu belakang. Dia menghampiri tukang kebun dan berbincang.
Dia!
***
"Ren, bagaimana pendapatmu tentang kriteria seorang pelayan rumah?" tanya Arga tiba-tiba saat sedang menandatangani dokumen di ruang kerja. Membahas hal lain yang tidak ada hubungannya dengan dokumen yang sedang di tanda tanganinya.
"Kriteria seorang pelayan?" Rendra berpikir. Kenapa membahas pelayan. Biasanya kalau Tuan Arga sedang membahas perekrutan pegawai pasti soal sekretaris. Tapi ini membahas pelayan rumah.
Sejak kapan Tuan ikut memikirkan urusan rumah?
"Apakah anda akan menambah pelayan lagi, Tuan?" tanya Rendra. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Direktur.
"Tidak. Jawab saja," jawab Arga pendek. Menunjukkan kalau dia tidak suka Rendra tidak menjawab pertanyaannya dan justru mengajukan pertanyaan. Rendra mendehem lirih. Menyadari kekeliruannya.
"Maaf. Kita harus tahu dulu. Dimana kita menempatkan posisinya Tuan."
"Posisi ya ...." Arga bergumam sambil berpikir.
"Jika kita butuh koki, berarti dia harus pintar memasak. Jika kita butuh tukang kebun, dia harus pandai merawat kebun dan paham cara menanam bunga misalnya," jelas Rendra. Tepat! Memang seharusnya seperti itu. Meskipun banyak pelayan rumah yang cakap akan bermacam pekerjaan. Tapi intinya kriteria pelayan itu merujuk pada posisi dan keahliannya.
"Bagaimana jika hanya di tempatkan di area laundry?"
"Laundry? Bukannya cukup dia pintar mencuci Tuan? Dan saya rasa untuk tukang cuci tidak perlu kriteria khusus. Kebanyakan orang itu bisa mencuci. Karena keahlian ini tidak perlu bersekolah khusus, Tuan." Rendra sempat mengerutkan kening samar.
"Benar. Memang seharusnya tukang cuci tidak perlu keahlian khusus. Dia cukup bisa mencuci dengan bersih, bukan? Bagaimana jika seorang tukang cuci itu mahir main basket."
"Main basket?"
Apakah tuan habis nonton film? Kenapa tukang cuci mau main basket.
"Yang saya tahu tukang cuci itu tidak pernah, bahkan tidak perlu main basket tuan. Maaf bila saya keliru." Rendra menambahkan kata maaf karena sebenarnya dia sedang menyalahkan pembicaraan Tuannya.
"Tidak kamu memang tidak keliru. Aku juga tidak pernah menemukan seorang tukang cuci mahir main basket," ujar Arga sepaham dengan kalimat Rendra. Dan Rendra bersyukur.
Sebenarnya apa yang di bicarakan Tuan Muda.
Tok! Tok!
Pintu ruangan di ketuk orang. Arga melihat tajam ke arah pintu. Raut mukanya menjadi kesal. Sepertinya dia merasa terganggu dengan suara ketukan itu. Rendra menangkap rasa kesal itu.
Kenapa Maya tidak memberi tahu kalau ada tamu. Padahal Tuan Muda sudah senang tadi. Rendra menggerutu dalam hati.
"Masuk!" teriak Rendra. Tapi tidak ada yang masuk. Tuan Muda Arga menatap tajam lagi. Rendra menggeram dalam hati dan mendekat ke pintu untuk membukakan pintu.
"Halo. Selamat siang." Seorang perempuan membungkuk memberi salam di depan pintu. Ternyata pelayan rumah keluarga Hendarto.
"Kau sendirian?" tanya sekretaris Ren celingukan.
"Iya. Tuan Muda ada di dalam?"
"Ada. Sebentar, kamu tunggu di sini. Jangan masuk, sebelum aku memanggilmu." Sekretaris Rendra memperingatkan. Pelayan itu mengangguk setuju.
"Siapa?" tanya Arga masih kesal.
"Itu ... pelayan dari rumah anda, Tuan." Seketika tangan Arga berhenti menandatangani dokumen. "Boleh saya suruh masuk?" tanya Rendra ragu.
Arga memberi kode untuk membiarkan pelayan itu masuk. Arga ingin melihat siapa yang datang menemuinya saat jam kerja begini. Apalagi pelayan perempuan. Tidak biasanya Bunda menyuruh pelayan perempuan ke kantor. Rata-rata mereka takut dan malu untuk datang ke gedung perusahaan milik keluarga Hendarto yang megah. Mungkin merasa ciut karena mereka menganggap diri mereka orang kecil.
"Masuklah!" teriak Rendra dengan nada tegas berwibawa dari dalam. Asha membuka pintu perlahan. Arga menunggu pengunjung tak di undang itu memasuki ruangan. Seorang perempuan muncul. Dia pelayan di area laundry. Orang yang di bicarakan Arga barusan. Kali ini dia memakai pakaian lebih rapi di banding saat Arga menemuinya di tempat jemuran.
"Selamat siang, Tuan." Asha membungkuk. Arga melihat perempuan itu. Tangan kanannya membawa bekal.
Hh ... pasti Bunda yang menyuruhnya.
Arga memberi tanda kepada Rendra untuk menghentikan kegiatan dulu. Rendra mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Lalu Rendra keluar ruangan meninggalkan tumpukan dokumen di atas meja Arga. sambil melirik.ke arah Asha masih berdiri di depan pintu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Arga sambil melihat pelayan itu. Asha mengerjapkan mata bingung. "Sampai kapan kau ada di sana? Duduk!"
Segera Asha duduk di sofa. Dan meletakkan bekal di atas meja.
"Siapa nama kamu?" tanya Arga dari kursi kerjanya.
"Asha."
"Apa itu?" tanya Arga yang beranjak dari kursi kerjanya menuju sofa tempat Asha berada.
"Makan siang Tuan Muda."
"Kenapa harus di bawakan dari rumah. Aku kan bisa membelinya." Tuan Muda menggerutu seperti tidak senang. Seperti sedang memarahi Asha.
Mana saya tahu, pikir Asha dalam hati.
"Maaf tuan. Saya hanya di suruh Nyonya." Asha memberi alasan. Dia seperti di salahkan karena membawa bekal makan siang ini.
"Cepat buka!"
Hah? Asha bingung. Lalu tangan Arga menunjuk ke arah bekal makanan yang ada di atas meja.
"Oh, Baik." Asha membuka tempat makan satu persatu. Bekal itu ada tiga susun. Dimana nasi lauk dan sayur di pisah. Setelah Asha mengeluarkan semua dia mempersilahkan Tuan Muda untuk makan. Arga mulai mengambil lauk dan sayur kemudian memakannya.
Asha menunduk saja di sofanya. Dia tidak menyangka akan di suruh tetap di sana sambil menunggui Tuan Mudanya makan siang.
"Kamu pelayan di tempat cuci kan?" tanya Arga kemudian.
"Iya, Tuan," jawab Asha masih tetap menunduk. Asha ingin segera keluar dari ruangan ini.
"Kenapa mengantarkan ini?"
"Maaf Tuan. Saya tidak tahu. Saya hanya di suruh."
Selain karena gugup dan enggak percaya diri masuk ke gedung ini. Masa gak paham kalau gak ada yang mau ketemu sama kamu. Mereka pada takut. Jadi aku yang di suruh.
Asha mencibir dalam hati.
Arga sering bilang ke Bunda untuk tidak membawakan bekal ke kantor. Karena masih banyak tempat membeli makanan di sekitar kantor yang buka. Tapi tetap saja seperti ini. Kalau tidak di makan, bakal ada drama tangis menangis bunda. Walaupun drama itu sudah basi tapi Arga tidak bisa membiarkan tangisan bunda. Bisa saja Arga memberikan ke sekretarisnya tapi masa iya tega gak makan bekal yang di buat bundanya dengan susah payah. Biasanya Pak Yus tukang kebun yang di suruh tapi tumben sekarang menyuruh pelayan baru.
"Pak Yus, kemana?"
"Saya tidak tahu Tuan." Sebenarnya Asha lihat tadi Pak Yus keluar. Kalau dia bilang Pak Yus keluar tapi tidak bisa memberitahu Pak Yus kemana, bisa-bisa dia kesal lagi. Asha menghindari itu. Makanya sengaja Asha berbohong tadi. Arga makan sambil melihat pelayan di depannya yang masih menunduk.
Beda jauh dengan yang kulihat di luar sana. Apa dia punya kepribadian ganda. Apa dia berpura-pura takut padahal enggak. Kelihatannya sih begitu... Lihatlah tubuhnya memang di tekuk. Tapi sorot matanya tetap tenang. Tubuhnya menunjukkan dia tidak lagi tertekan ataupun gugup. Dia hanya menunduk, mungkin untuk menunjukkan dia hormat kepada majikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Riska Wulandari
syukaa
2022-09-05
1
Rokesih Esi
kynya ada yg trtarik nih
2022-08-03
0
Yunita Susanti
hi thor salam kenal
2022-07-27
0