"Kau bukan bosku, kau tak bisa mengaturku seenaknya!"
"Aku akan membagi hasil penukaran leather-nya denganmu, fifty-fifty!" Tawar Bima seraya meneguk minumannya.
"Aku tak tertarik dengan rencana harammu!" Tolak Seno, pria penting yang bertanggung jawab di bagian pengiriman barang dari industri milik keluarga Abraham.
Seketika tawa Bima menggelegar, hampir memenuhi pojok ruangan di sebuah cafe.
"Pejantan sekali kau, Bro! Kau tak suka dengan uang haram, tapi kau rakus dengan wanita haram!" Sindir Bima dan melemparkan sebuah amplop besar ke hadapan Seno.
Diiringi senyuman tanpa gentar, Seno meraih amplop tersebut. Dan membukanya.
Senyumannya tiba-tiba menghilang dari wajahnya. Berganti dengan raut yang panik, saat melihat isi dalam amplop itu. Beberapa foto dirinya dan Retha yang sedang bermesraan, tercetak dalam jumlah banyak disana. Bahkan tak sedikit, pose mereka yang sedang tanpa busana dan saling bercumbu mesra.
"Aku mencetak banyak foto-foto itu. Kau pilih saja, pose mana yang ingin ku kirimkan untuk Tuan Dimas Abraham!" Bima menyulut rokoknya, santai.
"Bedebah!!"
"Saat pengiriman leater-leater itu, pastikan aku ada disana jika Tuan Dimas tak ingin melihat foto istri tercintanya sedang bermain api dengan orang kepercayaannya!" Ucap Bima. Kemudian pria itu berlalu, meninggalkan Seno yang sedang frustrasi.
*****
Rhibie menatap Eldanno yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggangnya. Matanya terasa perih, saat melihat jejak merah di leher Eldanno. Seketika, Rhibie memalingkan wajahnya dari pria itu. Dadanya terasa panas, ingin rasanya dia menjerit sekencang-kencangnya.
Gadis itu beranjak dari tempatnya, saat Eldanno berjalan untuk mengambil pakaiannya di lemari. Rasa sakit di ulu hatinya terasa semakin menjadi, ketika Eldanno hampir melewatinya.
"Bie, apa kau melihat...."
"Gak tau! Aku gak liat apapun!" Rhibie menyahut cepat dengan nada jutek. Padahal Eldanno belum sempat menuntaskan pertanyaannya. Dan dia pun berlalu menuju balkon.
Eldanno menatap tingkah Rhibie dengan alis yang berkerut. Dia pun melanjutkan niatnya untuk berpakaian.
Keputusan gue udah bener 'kan? Rasa ingin bertanggung jawabnya, hanyalah sebuah bacot kosong belaka. Andai benar gue nikah sama dia, kesakitan apa yang bakal gue terima di sepanjang hidup gue...
Rhibie berkutat dengan pikirannya, sambil menyeka cairan yang membasahi pipinya.
"Bie, ayo sarapan!" Ajak Eldanno dari ambang pintu.
Rhibie tetap acuh, pura-pura tak mendengarnya.
"Bie, apa kau mendengarku?" Kali ini Eldanno berbicara dari jarak yang lebih dekat.
Rhibie hanya meliriknya sekilas, dan kembali memandang rumput hijau yang jauh di hadapannya.
"Ayo sarapan! Nanti kamu sakit!"
Rhibie tersenyum miring, merespon celotehan busuk Eldanno.
Eldanno berjalan lebih dekat lagi, meraih tangan Rhibie. Mengajaknya untuk sarapan.
"Lepas!!" Tolak Rhibie, kasar.
"Bie, kamu kenapa?"
"Kapan aku dibebaskan?"
"Tidak akan!"
"Bukankah kau sudah bosan dengan tubuhku?"
"Jadi kamu marah, karena kita tak bersenang-senang selama tiga hari?" Eldanno mulai mengembangkan senyumannya.
Rhibie melirik sinis kearahnya. Kemudian meludah, muak.
"Baiklah, kita sarapannya disini saja!" Ucap Eldanno yang sama sekali tak mengerti perubahan sikap Rhibie yang misteri. Dia kembali ke dalam, membawa sarapan untuk mereka berdua.
Tak berapa lama, Eldanno telah kembali dengan dua mangkuk sereal gandum. Satu mangkuk, ia sodorkan untuk Rhibie.
Rhibie menatap sinis pada leher Eldanno, lalu menatap mangkuk serealnya. Dan,
Praaaank!!!
Rhibie membanting mangkuk itu pada dinding dengan keras. Hingga membuatnya hancur berantakan seketika seperti hatinya.
"Rhibie, ada apa denganmu??" Mata Eldanno melotot, geram.
"Kalau lo udah gak butuh gue, kenapa lo gak bebasin gue? Kenapa gue masih harus dikurung kayak gini? Lo pikir, gue suka? ENGGAK, ELDANNO!! Gue benci sama lo! Gue benci!!!" Teriak Rhibie menangis, sakit.
"Bie!!" Hardik Eldanno seraya mencengkeram kedua tangan gadis itu. Lalu menguncinya ke belakang.
"Lepasin, bajingan!!!" Rhibie kembali berontak, berusaha melepaskan tangannya.
"Aku tidak akan melepaskanmu, sebelum kamu bicara apa yang terjadi?"
"LEPAS!!!" Rhibie menghentakkan tangannya lebih keras. Membuat genggaman tangan Eldanno pun terlepas, pasrah.
"Bie... Ada apa?"
"Pergiii....!!!" Rhibie menjerit seraya menunjuk pintu.
"Aku tidak akan pergi, sebelum kamu bicara!"
"Gue bilang, pergi!!"
"Rhibie, kamu kenapa??
"Lo pergi dari kamar ini? Atau gue yang pergi?"
"Tapi, Bie?"
"Apa lo lebih suka gue mati??" Ancam Rhibie dan meraih pecahan beling dari mangkuk yang di pecahkannya tadi.
"Rhibie, Sayang! Please, jangan kayak gini!"
"PERGIII....!!!!"
"I... Iya, iya. Aku pergi. Tapi, kamu..."
Rhibie menghunuskan tatapan tajamnya, mengancam.
"Oke, aku pergi!" Patuh Eldanno seraya berjalan mundur.
Rhibie menjatuhkan tubuhnya di pojok pagar. Menangis histeris disana. Meneriakkan segala kesakitan dan amarahnya. Saat ini, dia sangat benci terhadap Eldanno. Sangat, sangat benci! Kebencian yang begitu dalam. Hatinya sangat marah pada pria itu.
******
"Aaaarrrgghhhh....!!!" Eldanno menggeram. Dan menghempaskan semua barang di atas meja kerjanya. Dia begitu frustrasi dengan sikap Rhibie yang tiba-tiba marah dan begitu membencinya.
"Salahku apa, Bie? Kenapa kamu begitu marah? Apa kamu benci, karena aku mengacuhkanmu? Asal kamu tahu, tak ada niat sedikit pun di hatiku untuk mengacuhkanmu! Aku hanya mencoba belajar untuk menghargaimu! Tapi kenapa kamu marah??" Desah Eldanno frustrasi. Kemudian duduk di kursi kerjanya. Menyandarkan kepalanya yang terasa berat, mencoba memahami sikap Rhibie yang begitu sulit diartikan.
Sore menjelang malam, Rhibie masih marah pada Eldanno. Terlebih, ketika pria itu berusaha beberapa kali untuk mendekatinya. Padahal Eldanno hanya ingin memastikan ada makanan yang masuk ke dalam perut Rhibie.
Namun Rhibie menolak keras kehadirannya. Gadis itu selalu berteriak, saat Eldanno masuk ke kamarnya. Jejak merah itu begitu menyakitkan. Bahkan rasa sakit itu menyebar, menyeruak, merobek hati.
Rhibie membuka lemari koleksi minuman milik Eldanno yang terpajang di dinding kamar. Mengambil sebotol anggur untuk melampiaskan kemarahannya. Dan menikmatinya di atas balkon.
Dengan perlahan, gadis itu menghisap rokok ditangannya. Lalu menghempaskannya secara teratur. Angannya masih melayang, membayangkan Eldanno yang bergulat mesra dengan wanita lain di ranjang. Wanita yang lebih cantik dan seksi darinya.
Hatinya terasa hancur. Ketika tubuh dengan otot yang keras itu, digerayangi dan di peluk wanita lain. Tubuh yang biasanya dengan gagah memanjakan dirinya. Eldanno pasti melupakan dirinya ditengah kenikmatan itu. Lupa dengan gadis yang belum mahir seperti dirinya.
Apalagi Eldanno adalah pemain yang profesional. Sudah pasti dia lebih menyukai wanita yang lebih liar dan lincah, bukan anak itik yang baru tumbuh bulu seperti Rhibie.
Rhibie meneguk anggurnya lagi, lagi dan lagi. Hingga tersisa sedikit saja di botolnya. Kesadarannya mulai mengambang dari akalnya, karena mabuk.
"Lo siapa?" Tanyanya pada seorang pria yang datang menghampirinya dengan nada yang lamban khas orang mabuk.
"Aku Baghal, temannya Eldan!" Pria itu mengulurkan tangannya pada Rhibie.
"Temannya si brengsek, ya? Ada apa menemui gue?" Rhibie tersenyum seperti orang gila.
"Apa kau sudah makan?"
"Buat apa makan? Khawatir gue sakit?? Bilangin sama temen lo yang keparat itu! Gak perlu pura-pura baik apalagi pura-pura perhatian, jika akhirnya dia lebih suka nyakitin perasaan gue!" Rhibie mulai meracau dengan air mata yang mulai meleleh. Menegaskan perasaannya.
"Gue tau! Gue sadar! Gue gak cantik, gue juga gak pandai bermain di ranjang. Tapi please, jangan sakitin gue dengan cara kayak gini! Lo tau? Tubuh gue hanya dinikmati dia seorang! Tapi kenapa?? Kenapa dia membagi tubuhnya dengan orang lain?? Hati gue sakit!! Dia tuh, gak tau?! Kalau gue gak rela jika tubuhnya di jamah cewek lain! Apalagi jejak merah itu, membuat hati gue tambah hancur tau gak??" Rhibie menjerit, meluapkan emosi yang menyesakkan hatinya pada Baghal.
Baghal menarik nafasnya. Menatap iba pada gadis yang sedang tersiksa karena rasa cemburunya.
"Kamu mau 'kan makan dulu? Biar aku suapin!" Ujar Baghal dan mulai menyendok bubur dari mangkuk di tangannya. Kemudian mengarahkan sendok itu pada mulut Rhibie.
Seakan terhipnotis tutur lembut dari Baghal, Rhibie membuka mulutnya dan mulai mengunyah bubur itu pelan dengan mata seperti menolak berkedip, memandang wajah tampan milik pria yang sedang menyuapinya dengan sabar.
Disela-sela makannya, sesekali Rhibie meneguk anggurnya. Padahal matanya sudah sayu, bahkan hampir terpejam karena mabuk berat.
"Kak Baghal, apa kau menginginkan tubuhku?" Tawar Rhibie yang sudah oleng, seraya membuka kancing kemejanya. Membuat tubuh Baghal menegang seketika.
"Tolong, jangan diteruskan!!" Baghal menghentikan gerakan tangan Rhibie seraya memalingkan tatapannya.
"Aah... Kak Baghal ini! Beneran gak mau? Atau, aku yang harus merayumu dulu?" Kembali Rhibie ngelantur tak karuan.
Dengan gerakan yang sangat berat, Rhibie berusaha menyentuh wajah Baghal. Dengan senyuman seperti gadis murahan, perlahan wajahnya mendekat. Hendak mencumbu pria tampan yang begitu perhatian padanya. Namun belum sempat bagi Rhibie menyentuh bibir pria itu. Tiba-tiba,
Brukk!!
Gadis itu ambruk di lantai, hilang kesadaran karena mabuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
sandi
cewe and cemburu and ngambeknya!!!! slalu bener woiii!! 😆😆😆😆
2021-10-01
1
Asma Susanty
masa nggak ada yg memberitahu eldan ttg tanda merah di lehernya...
2021-09-24
2
Diana Zahira
Rhibie marahnya perempuan banget 😅. gak mau ngomongin unek2nya. taunya marah mulu🤣🤣
2021-09-24
2