Eldanno kembali ke kamarnya dengan pertempuran hati yang berkecamuk di raganya. Benarkah dia harus menikah, agar Retha tak lagi mengganggunya? Lalu... Bersediakah Rhibie memberikan hatinya pada pria tak bermoral seperti dirinya? Pria yang telah merenggut mahkota gadis itu secara tidak hormat. Dan bagaimana caranya untuk mengatakan niatnya itu pada Rhibie?
Aaahh... Sungguh rumit sekali! Ternyata meniduri puluhan wanita lain, lebih mudah di bandingkan menata masa depan.
Eldanno berulang kali mengusap wajahnya seraya berfikir, sebelum memasuki kamarnya. Setelah mengumpulkan nyalinya, akhirnya pria itu membuka pintu kamar dan memasukinya.
Dia tersenyum, kala melihat Rhibie yang sedang asyik menonton televisi yang ada di kamarnya. Sepertinya, gadis itu mulai berdamai dengan kepahitannya.
Seperti dayung bersambut, Rhibie pun menyambut Eldanno dengan sumringah. Dan membalas senyumannya.
"Bie, ada yang mau aku omongin!" Ucap Eldanno yakin, setelah mendapat sambutan hangat dari gadis itu. Lalu duduk di sampingnya.
"Enggak! Aku dulu yang ngomong!" Sela Rhibie, cepat.
Sejak tadi, gadis itu sudah tak sabar menunggu kedatangan Eldanno. Rupanya, senyuman Rhibie bukan karena suka dengan kehadirannya. Melainkan dia memiliki tujuan lain.
"Tapi ini lebih penting, Bie!"
"Urusanku jaaaauuh lebih penting!!" Rhibie merentangkan tangannya.
Dari awal, Eldanno sudah tak yakin dengan dirinya sendiri. Ditambah dengan sikap Rhibie yang seakan tak peduli dengan maksud dan tujuannya, membuat nyali Eldanno yang bersusah payah ia kumpulkan. Seketika menciut.
Dasar Pecundang!!!
"Kamu mau ngomong apa?" Akhirnya Eldanno menyatakan kalah.
"Aku mau tanya, kapan sebenarnya kamu akan bosan dengan tubuhku?" Tanya Rhibie bimbang. Membuat Eldanno menatapnya seketika.
Rasa percaya diri yang tadi pernah ada, kini musnah dari diri Eldanno. Mendengar pertanyaan itu.
Kenapa kau bertanya, kapan aku akan bosan padamu, Rhibie? Tak adakah rasa inginmu, untuk tetap disisiku? Seperti gadis lain yang menginginkan aku. Meski hanya sekedar menginginkan uangku saja...
Batin Eldanno dengan tatapan sayu memandang Rhibie.
"Apa tak ada pembahasan lain?" Tanya Eldanno, pura-pura acuh.
"Oh ya, kamu liat HP aku gak?"
Eldanno hanya meliriknya sekilas, tanpa menyahut.
"Mungkin saja kamu menemukannya di bawah?" Lanjut Rhibie harap-harap cemas.
"Ngapain HP butut di tanyain?" Jawab Eldanno, angkuh.
"Karena aku butuh, lah! Songong banget sih, jadi orang?!" Sungut Rhibie kesal.
"Udah aku buang" Ucap Eldanno, enteng.
"Apa?? Kamu buang?? Kamu tau gak? Itu barang penting banget buat aku!!!" Teriak Rhibie dengan mata yang berkaca-kaca.
Dasar manusia ibl*s! Sekali ibl*s tetap saja ibl*is...
Maki Rhibie dalam hati.
"Emang kamu mau ngapain dengan barang rongsokan itu?"
"Ya, buat nelpon lah! Emang, buat apa lagi?" Sahut Rhibie jutek.
"Terus, motor aku mana??" Sambungnya.
"Ada di garasi"
"SIM card-nya? Kamu buang juga??"
Eldanno hanya mengangguk, menjawabnya.
"AAAA....AA!!!" Rhibie berteriak kesal.
"Berisik, tau!" Maki Eldanno.
"Bodo!" Balas Rhibie seraya membanting bantal sofa. Dan berlalu menuju tempat tidur dengan langkah kaki yang di hentakan, karena marah.
Rhibie segera menghambur, menenggelamkan wajahnya pada bantal. Melepaskan segala amarah yang menyesakkan dadanya.
Eldanno mengusap wajahnya, kasar. Sangat frustrasi dengan apa yang dihadapinya saat ini.
Bagaimana caranya agar gadis itu mau untuk menerima lamarannya? Sedang Rhibie sendiri, tak tertarik padanya. Bahkan gadis itu menginginkan, bahwa dirinya agar cepat bosan akan tubuhnya. Itu artinya, Rhibie ingin cepat terlepas darinya. Tanpa mengharapkan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukannya.
Kenapa gadis itu sangat berbeda dari gadis-gadis yang pernah ia kencani sebelumnya. Jangankan diminta untuk tinggal bersama, di ajak buat nemenin tidur semalam saja, mereka sudah antusias. Tapi kenapa, tidak dengan Rhibie? Kenapa sulit sekali untuk menguasai gadis itu?
*****
Sudah tiga hari, Rhibie menghilang. Meski putus asa, namun tak memadamkan semangat keempat gadis yang sedang merindukan Rhibie. Jessie dan Joanna, setiap hari tanpa lelah mencari gadis itu.
Pagi ini, mereka melakukan sarapan bersama seperti hari-hari sebelumnya. Sebelum melakukan aktivitas yang dianggapnya membosankan. Bagaimana mereka tak merasa bosan? Setiap hari, keempatnya masih teguh mengurus sayurannya tanpa ditemani canda tawa dari Rhibie.
Hasil dari panennya, Sandra dan Karmen bertugas menjualnya. Hanya saja, kali ini mereka berjualan di depan rumah saja. Karena kondisi mereka yang sedang hamil. Sedang Jessie dan Joanna masih setia mencari Rhibie.
Karmen, Jessie dan Joanna seketika menoleh ke arah Sandra. Ketika gadis berusia 20 tahun itu, terdengar terisak.
"Lo kenapa, San?" Tanya Jessie seraya mengusap-usap punggung Sandra.
"Gue hanya kangen Rhibie. Dulu waktu Rhibie masih ada, setiap pagi dia selalu ngajak ngobrol sama bayi gue. Gue sempet iri, kalau lihat perempuan lain selalu di jagain suaminya. Tapi kalau ada Rhibie, gue masih tetep bersyukur karena masih ada orang yang mau merhatiin gue" Isak Sandra sesenggukan.
"Lo sabar, San! Gue janji, hari ini gue sama Joanna mau cari Rhibie ke tempat yang agak jauh. Lo sama Karmen berdoa ya, semoga kita cepet ketemu sama Rhibie!" Hibur Jessie. Padahal, dia sendiri sedang menyembunyikan air matanya di balik punggung Sandra.
Sandra hanya mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Karena yang ingin dia lakukan saat ini, hanya menangis saja. Dulu dia sempat berharap, jika pacarnya suatu saat akan datang untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Lalu menikahinya. Sandra berkeinginan, jika dirinya bisa melahirkan dengan didampingi para sahabatnya berikut suaminya juga.
Namun sepertinya, semua itu hanya mimpi belaka. Karena hingga detik ini, pria bej*t itu tak kunjung datang mencarinya. Bahkan impiannya untuk bisa melahirkan dengan di temani para sahabatnya, juga harus pupus begitu saja. Karena Rhibie belum juga pulang hingga saat ini. Padahal persalinannya hanya tinggal menghitung hari saja.
Setelah berpamitan, Joanna dan Jessie kembali ke aktivitas baru mereka belakangan ini. Yaitu mencari Rhibie.
Tiba di perempatan jalan, mereka di kejutkan dengan suara klakson motor yang menghampirinya. Serempak kedua gadis itu menoleh.
"Lo ngagetin, tau gak?" Cerca Joanna seraya memukul lengan Arya yang sedang memegang setang motornya.
"Hehe... Sorry! Lagian jalan sambil ngelamun. Entar keserempet kendaraan lain, gimana?" Jawab pria berusia 25 tahun itu.
Joanna dan Jessie pun menggeser langkahnya yang sudah agak ke tengah jalan. Mungkin karena melamun, mereka sampai tak sadar jika langkahnya sudah mencuri pengguna jalan lainnya.
"Ngomong-ngomong, kalian mau kemana?"
"Kita mau cari Rhibie" Sahut Jessie, lesu.
"Rhibie? Emang Rhibie kemana?" Tanya Arya terkejut.
"Rhibie hilang, udah tiga hari" Ujar Joanna tak bergairah.
"Apa?? Kenapa kalian gak ngabarin gue?" Arya begitu tersentak dengan kabar yang diterimanya. Hatinya terasa amblas ke dalam tanah mendengar kabar itu.
"Iya, sorry! Mungkin karena gue sibuk, jadi gak kepikiran sama lo" Sahut Jessie.
"Terus para anak buahnya Oom Jo, gimana? Udah pada tau, belum?"
Jessie menggeleng.
"Lo gak tau, ya? Mereka 'kan di tangkap polisi" Tutur Joanna.
Ya... Para perusuh itu sudah tak ada lagi di wilayah mereka. Karena dua hari yang lalu, ada penanggulangan premanisme oleh pihak kepolisian. Setelah ada warga yang di sembunyikan identitasnya, melapor pada pihak berwajib.
"Apa kalian udah lapor polisi juga?" Tanya Arya lagi.
"Uang... Bro! Uang...! Meskipun menurut undang-undang, melapor itu gak pake duit. Tapi tetep aja, kalau gak di bantu pake duit. Berkas laporan kita, ada di tumpukan paling bawah!" Ujar Joanna.
"Gimana, ya? Sebenarnya gue mau bantu nyari Rhibie. Tapi gue harus kerja. Kalau bolos, tar yang ada gue di pecat" Arya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dirinya seperti simalakama. Jika dia berhenti kerja, bagaimana dengan keluarganya yang butuh makan. Belum ibunya yang harus meminum obatnya rutin. Sedangkan dia hanya satu-satunya punggung keluarga yang bisa diandalkan, setelah sang ayah meninggal tiga tahun lalu.
Lalu bagaimana dengan Rhibie. Masa iya, dia gak peduli dengan keadaan gadis itu. Katanya suka sama Rhibie?
Arya menggigit bibirnya seraya berfikir. Apa yang harus dilakukannya saat ini?
"Arya, menurut gue... Kalau lo beneran mau bantuin, mending lo tetep kerja. Tapi boleh 'kan, kita pinjem motor lo buat nyari Rhibie?" Saran Jessie.
Arya pun nampak berpikir sejenak. Tapi kalau dipikir lagi, saran mereka ada benarnya juga.
Akhirnya, Arya menyerahkan motornya pada Jessie dan Joanna.
"Kalian hati-hati! Kalau ada apa-apa, cepet hubungi gue!" Pesan Arya seraya menyerahkan kunci motornya.
Kedua gadis itu pun mengangguk serempak. Dan mulai melajukan motornya. Motor Arya, tepatnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Bilang kamu harus tanggungjawab ke dia atas apa yg tlah loe lakuin ke dia,Loe juga nggak mau kan Rhibi ninggalin loe..
2023-09-13
0
🐝⃞⃟𝕾𝕳 TerlenARayuAn
kalian emang sahabat terbaikny rhibie
2021-12-20
2
𝐙⃝🦜 (*❛‿❛)→🌼
ceritanya seru.. ttp semangattt thor.. 💪
2021-12-04
0