Hanya dua hari Arin melepas rindu dengan anak semata wayangnya, karena sebenarnya tidak boleh orang tua berlama-lama menemui anaknya di pondok. Namun karena kondisi Arin yang datang dari jauh dan sendirian, maka pihak pondok memberikan waktu untuknya menginap.
Banyak hal yang diceritakan Flora padanya, begitupun dia. Bersyukurnya Arin, Flora sangat dekat dengannya, dan tidak pernah malu menceritakan apapun padanya.
" Papa gimana ma? masih seperti yang dulu?"
" Ya iyalah, masak papamu berubah jadi Power Ranger? kamu tuh ada-ada aja Flo."
" Bukan begitu ma, maksud Flora apakah sifat papa masih seperti dulu?"
Arin diam, mereka berdua saling bertatap-tatapan. Arin tidak ingin menjelekkan Yuda di depan anaknya sendiri. Dia ingin Flora tidak ingin menyimpan kenangan buruk tentang papanya.
" Nak...apapun dan bagaimanapun, beliau tetap papamu. Papa yang sudah berjuang menafkahi mama dan kamu. Kalau papa nggak kerja keras, belum tentu kita bisa menikmati semua fasilitas yang luar biasa ini, selain karena campur tangan Allah juga tentunya."
" Ya mah, Flora tidak akan pernah berhenti bersyukur memiliki orang tua seperti kalian. Namun yang Flo harapkan mama tetap bersabar dan kuat ya."
Arin diam, Flora sudah dewasa, dia bisa melihat ketimpangan yang terjadi dalam rumah tangga kedua orang tuanya. Yang jelas Arin tetap berharap tidak ada kebencian yang tersimpan di hati Flo pada papanya.
" Ehhh hafalan kamu sampai mana?"
Arin mengalihkan pembicaraan mereka. Arin tidak ingin Flora semakin jauh membahas tentang Yuda.
Setelah dua hari menemani anaknya di pondok, Arin segera meluncur menuju kota tempatnya dia menuntut ilmu dulu. Kota yang menyimpan banyak sekali kenangan saat dia menyandang gelar sebagai seorang mahasiswi. Dulu dia dan Yuda menjalin hubungan jarak jauh dan jarang sekali bertemu. Yuda kuliah di ibukota, dan hanya sesekali saja Yuda mengunjunginya, jadi Arin lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya dibandingan berpacaran dengan Yuda.
" Stop pak!!" Arin menghentikan taksi yang ditumpanginya pada sebuah hotel yang memiliki bangunan klasik. Nuansa Jawa melekat di interior hotel tersebut. Terlihat asri dan menawan. Dia telah memesan hotel itu melalui aplikasi hpnya sebelum dia berangkat. Arin sengaja memilih penginapan di pusat keramaian agar memudahkan dia pergi membeli sesuatu tanpa harus naik kendaraan. Arin berjalan pelan, nuansanya masih sama seperti dulu. Bangunan-bangunan tokopun belum banyak berubah, hanya saja sekarang semakin ramai dan banyak pedagang kecil di emperan.
Arin mengangkat kopernya dan segera menuju resepsionis. Setelah berbicara sebentar, petugas resepsionis segera mengantar Arin ke kamarnya. Setelah membantu Arin dan mengecek segala fasilitas yang ada di kamar tersebut, petugas resepsionis mempersilahkan Arin untuk beristirahat.
" Moturnuwon pak."
" Injih bu, sami-sami."
Sepeninggal petugas tersebut, Arin segera meletakkan koper bawaannya dan merebahkan diri di kasur. Perjalanan dari pondok anaknya, sebenarnya tidak seberapa jauh, hanya saja semalam dia mengobrol sampai larut malam dengan Flora, hingga saat ini membuatnya sangat mengantuk. Diliriknya jam tangannya, pukul 13.24 Wib, itu berarti dia memiliki waktu tidur siang yang cukup panjang. Arin segera merebahkan tubuhnya di kasur empuk kamar hotel yang baru saja disewanya itu, namun kemudian diurungkannya, dia ingat belum mengabari Brian bahwa dia sudah tiba di hotel yang alamatnya sudah dia beritahu sebelumnya pada kekasihnya itu. Namun, baru saja dia ingin mengetik status ternyata Brian sudah lebih dulu mengirim pesan padanya.
" Sayang, maaf banget sayang. Duh gimana ya?? aku dari kemarin udah berusaha cari alasan tepat untuk bisa ketemu sama kamu, tapi istriku sepertinya nggak percaya kalau aku bilang ada urusan kerja, dia malah mau ikut pergi sama aku!"
Arin bengong sesaat membaca pesan dari Brian. Tiba-tiba hatinya begitu kecewa, padahal ini adalah kesempatan satu-satunya mereka dapat bertemu dan tidak hanya tau sebatas di layar hp saja. Belum tentu ada kesempatan kedua kali seperti ini lagi. Arin ingin sekali marah, namun dia tidak memiliki hak untuk marah pada pria itu, mereka berdua hanyalah dua anak manusia yang sedang terbuai asmara terlarang yang seharusnya tidak boleh terjadi. Arin benar-benar merasa sedih, bahkan dia jadi ragu kesungguhan perasaan Brian padanya. Mengapa pria itu tidak berusaha lebih keras lagi agar bisa bertemu dengannya? dan justru memilih membiarkan dia sendirian menunggunya di hotel itu. Tiba-tiba Arin menangis. Pengorbanannya jauh-jauh ke kota itu ternyata sia-sia. Arin kemudian meletakkan hpnya, dan mengurungkan niat menulis status untuk Brian. Kemudian Arin merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Dia mencoba melupakan kesedihannya, menerima kenyataan bahwa begitu sakit mencintai lelaki yang sudah dimiliki orang.
Bangun tidur, dia memeriksa lagi hpnya.
" Sayang, kok wa-ku nggak dibalas sih? kamu marah ya? maaf ya sayang? pleas jangan marah ya?"
Arin kemudian membalasnya dengan status singkat.
" Iya nggak papa yank!" Namun, tiba-tiba hpnya berdering. Dilihatnya Brian menelfonnya.
" Assalamualaikum!" Sapa Arin.
" Waalaikum salam!"
" Yank...duh maaf ya!! kamu marah ya?" Dengan mimik wajah memelas.
" Kamu lagi dimana? kok bisa telfon aku?"
" Iya aku ada di jalan ini, mau nganter pesenan langgananku. Kamu udah sampai hotel?"
" Udah dari jam 1an tadi." Jawab Arin singkat, dengan ekspresi muka datar dan seperti tidak mood mengobrol dengan Brian.
" Yaaankk..pleas jangan marah ya?"
" Nggak papa yank, aku paham kok, nggak usah dipikirin."
" Tapi wajah muka kelihatan masam, kamu kecewa ya?" Arin diam dan hanya memandang muka Brian dengan seribu rasa marah berkecamuk di dada, tapi rasanya dia tidak pantas marah dengan pria itu.
" Yank, ayo dong senyum!"
" Yank? Apa masih bisa aku senyum kalau dari awal keberangkatanku kemarin aku punya harapan besar bisa ketemu sama kamu, namun ternyata sia-sia? Setelah sekian lama waktu dan kesempatan ini aku tunggu-tunggu, padahal dari pertama aku keluar rumah, rasanya aku nggak percaya bakal bisa ketemu kamu di dunia nyata, tapi kenyataannya sekarang apa?" Seketika Arin meluapkan emosinya.
" Yank...maafin aku ya?"
" Nggak ada yang perlu dimaafin. Dari awal hubungan kita memang sudah salah. Kita aja yang memaksa buat jalanin ini semua. Aku nggak berhak marah sama kamu, ataupun nyalahin kamu. Kita berdua sama-sama nggak mungkin ninggalin pasangan kita, dan itu kenyataannya. Jadi buat apa terus dipertahanin?" Kalimat Arin semakin di luar kendali. Brian langsung menepikan mobilnya. Dia tau saat ini Arin pasti sedang marah besar padanya.
" Yank...jangan ngomong kayak gitu. Kita udah janji kan? akan terus jalanin ini semua hingga takdirlah yang memisahkan kita berdua?"
" Ya benar...!! dan itu perjanjian yang nggak masuk akal yang pernah kita buat berdua!!"
" Mau sampai kapan yank? sampai aku atau kamu dipanggil yang kuasa, kemudian salah satu dari kita meratapinya dan menjadikan itu semua kesedihan yang nggak pernah berujung?" Brian melihat kesedihan yang mendalam di wajah Arin. Dia tau kekasihnya itu sedang berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di hadapannya. Dia tau, bahwa Arin sebenarnya sangat mencintainya, hanya saja saat ini dia sedang kecewa, sehingga meluapkan kemarahannya melalui kalimat yang terdengar menyakitkan di telinganya.
" Yank, aku mau mandi dulu. Aku baru aja bangun tidur."
" Sebentar yank! Aku belum selesai ngomong!"
" Mau ngomongin apa lagi?"
" Yank, kita jarang punya kesempatan ngobrol leluasa kayak gini."
" Tapi kita juga jarang, bahkan mungkin nggak akan mungkin punya kesempatan dua kali lagi untuk bisa ketemu kayak gini." Kalimat Arin benar-benar menyudutkan Brian.
" Yank...pleas kamu tau kan posisiku?"
" iya...aku tau banget. Ya udah aku mandi dulu ya, aku belum sholat ashar. Assalamualaikum!" Arin menutup telfonnya tanpa persetujuan Brian. Brian hanya terbengong-bengong, baru sekali ini dia melihat Arin semarah itu. Namun kemudian Brian senyum-senyum sendiri, dan kembali melanjutkan perjalanannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments