My Bule Husband
Naina, gadis malang yang tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya. Tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan, menjalani kehidupan hampa tanpa adanya kasih sayang dari kedua orang tua kandungnya. Kasih sayang? Hah, orang tuanya saja dia tidak tau dimana. Yang dia ingat hanya perkataan ibu panti, bahwa dirinya ditemukan di gerbang panti saat tengah malam. Hanya berbalut sehelai kain, menutupi tubuh merahnya. Ya, ibu panti memprediksi bahwa dirinya sampai di panti tidak lama setelah dilahirkan.
Miris bukan? Tentu saja, tetapi Naina sudah terbiasa.
Kehidupan Naina tidak beda jauh dari anak-anak yatim piatu lainnya. Bersekolah di sekolah biasa dengan uang sekolah yang terbilang sangat murah. Tidak ada les atau kursus, seperti anak-anak sekolah kebanyakan.
Tetapi Naina bersyukur. Setidaknya dia masih bisa mengenyam pendidikan, meski dengan keadaan terbatas.
Sebuah keberuntungan bagi anak seperti Naina, yang hidup di panti. Sebuah yayasan yang kebanyakan tidak mampu menyekolahkan anak-anak asuhnya. Tetapi beruntung panti asuhan tempat Naina tinggal, seringkali mendapat sumbangan dari beberapa dermawan. Sehingga Naina dan juga teman-teman lainnya bisa bersekolah hingga lulus SMA.
Setelah lulus SMA, Naina memutuskan keluar dari panti. Mulai mencari pekerjaan demi mencukupi kebutuhannya dan juga membayar uang kuliahnya. Naina kuliah? Ya, Tidak sia-sia dia bersusah payah sekolah dulu, hingga akhirnya gadis malang itu mendapat beasiswa di sebuah universitas negeri di Jakarta.
Hari ini, tepatnya pada hari Jumat, merupakan hari wisudanya, Naina lulus dengan gelar Sarjana Manajemen Bisnis. Naina terlihat murung duduk di sebuah bangku panjang. Sambil memegang toga sarjananya, dan sebuket bunga hadiah dari temannya, Naina memperhatikan teman-temannya tengah asyik berfoto ria dengan keluarga mereka.
Naina tersenyum miris, tanpa sadar maniknya berkaca-kaca. Betapa bahagianya jika saja dirinya memiliki keluarga.
Ya, hari ini Naina menghadiri acara wisudanya sendirian. Tidak ada keluarga yang menemaninya. Sebelumnya, Naina sudah menghubungi Arnita, ibu panti, untuk datang menghadiri acara ini, tetapi sayang sekali, Ibu Arni tidak bisa, karena adik-adik pantinya tengah sakit. Katanya salah satu adiknya terkena demam, tetapi malah menular pada adik-adiknya yang lain, membuat ibu panti kerepotan mengurus mereka.
Sebenarnya Naina memiliki orang terdekat di Jakarta ini, dan dia sudah berjanji akan datang. Tetapi sampai acara selesai dan berfoto-foto dengan teman-temannya, orang itu belum juga datang.
Setengah jam, bagi Naina sudah cukup menunggu orang itu. Akhirnya Naina memilih pulang, dari pada hanya duduk mematung di tempat ini.
"Dorr..."
Hampir saja Naina berdiri, tetapi seseorang mengejutkannya dari arah belakang.
"Kak Risa!" Naina memekik kaget, seketika senyumnya mengembang, melihat sosok yang dia sayangi muncul di hadapannya. "Kakak datang?" dan langsung memeluk wanita tersebut.
"Loh kok malah nangis?" wanita dewasa berperawakan tinggi itu heran melihat Naina menangis.
"Naina pikir Kak Risa nggak bakalan datang...." dilanjutkan dengan tangisannya.
"Cup...cup..cup, aduh adik kesayanganku ini. Maafin Kakak, soalnya macet banget di jalan." membalas pelukan Naina, lalu mengusap-usap bahunya. Risa paham perasaan Naina yang hanya sebatang kara. Sedih rasanya tidak memiliki seorang pun untuk merayakan kebahagiaannya ini.
Begitulah Risa, sosok wanita yang selama ini mendukung Naina selama ini. Risa adalah pemilik toko roti, tempat Naina bekerja selama ini. Awalnya mereka hanya bos dan karyawan. Tetapi seiring berjalannya waktu, mereka sudah seperti keluarga. Risa sudah menganggap Naina seperti adik kandungnya sendiri.
Semua itu berawal karena mereka saling membutuhkan. Risa, anak dari keluarga kaya, merasa kesepian karena keluarganya lebih sibuk dengan bisnis dibanding dirinya. Sehingga Risa menjadikan Naina sebagai teman ceritanya, yang berlanjut menjadi sebuah hubungan yang erat.
"Udah-udah... Jangan nangis lagi. Kan Kakak udah di sini sekarang. Nah, lihat kan. Make upnya udah luntur." dengan telaten, Risa menghapus sisa air mata di wajah Naina.
"Udah jangan nangis lagi." sekali lagi Risa menghapus air mata, karena Naina masih saja menangis.
"Foto yuk. Nanti Kakak mau pajang foto kamu di kamar Kakak." ajak Risa. Naina tersenyum bahagia, menurut dan mulai tersenyum ke arah kamera ponsel milik Risa.
Kedua wanita itu tertawa bahagia, layaknya sahabat. Setelah mengambil beberapa foto, keduanya memutuskan pulang.
"Kamu mau kado apa dari Kakak?" tanya Risa di perjalanan mereka menuju parkiran.
"Nggak usah deh Kak. Naina masih belum pengen apa-apa. Kan semua keperluan Naina udah Kakak beli minggu kemarin." tolak Naina halus.
"Uhuh. Kamu ini ya. Dari dulu nggak banyak maunya." Risa jengkel akan sifat Naina yang satu ini. Jika ditanya seperti itu, pasti menolak. Oleh karena itu, Risa selalu memberikan Naina hadiah, tanpa memberitahunya dulu.
"Tapi Kakak nggak mau tau. Kali ini kamu harus..."
"Auu..." Naina memekik saat tubuh mungilnya terhempas ke tanah, dihantam oleh tubuh besar yang melewati mereka.
"Aduh Naina... kamu nggak papa?" Risa segera membantu Naina yang kesulitan berdiri, karena kebaya dan roknya yang sempit. Manik Risa melebar, melihat kedua telapak tangan Naina tergores oleh pasir, hingga menimbulkan luka.
"Tangan kamu terluka." lalu menoleh pada sosok bertubuh besar yang baru saja menabrak Naina. Pria yang mereka yakini bukan orang lokal, tengah berdiri tegap, sambil meletakkan ponsel di telinganya. "Hei kamu! Kalau jalan liat-liat dong. Adik saya jatuh kan, tangannya luka." sembur Risa tanpa basa basi.
"Kak udah, jangan marah-marah. Naina nggak papa kok." Naina melerai, kadang jengkel dengan Risa yang mudah marah.
Tetapi Risa mengabaikannya, dan semakin marah saat melihat pria bule itu mengacuhkannya, terlihat lebih fokus mendengar seseorang dari seberang telepon.
"Hei! Kamu denger nggak?" bentak Risa, kali ini membuat pria itu bereaksi. Memperhatikan Risa dan Naina dengan tatapan mencemooh.
"Malah bengong lagi. Cepat minta maaf!" perintah Risa.
Namun sangat menjengkelkan, "Saya salah apa?" pria itu menyahut dengan acuh.
"Loh loh..." Risa semakin tersulut, paling benci melihat orang angkuh seperti ini. "Kamu udah nabrak adik saya, sampe tangan dia luka begini, kamu masih tanya salah kamu apa?" cecar Risa tidak terima akan respon pria itu.
Pria itu mendelikkan matanya, masih acuh akan Risa.
"Cepat minta maaf. Hei..." kesal Risa karena pria itu tidak mengindahkan perintahnya.
"Sinting." ucap pria itu sarkas, lalu berjalan meninggalkan Naina dan Risa begitu saja.
"Hei, minta maaf dulu..." teriak Risa, hendak mengejar, tetapi segera ditahan oleh Naina.
"Udah Kak, udah. Biarin aja, Naina nggak papa kok." ucap Naina.
Akhirnya Risa menurut, padahal sebenarnya dia masih kesal pada pria asing itu. "Kakak paling benci sama orang kayak dia tau! Dasar bule KW!" rutuk Risa.
"Perasaan bule-bule yang pernah Kakak temuin nggak kayak gitu deh. Mereka itu ramah dan nggak berani macam-macam." omel Risa.
"Kan mereka cuma numpang di sini Kak. Mana mungkinlah mereka macam-macam sama Kakak." sahut Naina jenaka.
"Kamu juga." Risa kesal. "Sini Kakak bantu obatin. Di mobil ada kotak P3K."
Keduanya akhirnya berjalan menuju parkiran. Tanpa sadar dari jauh seseorang memperhatikan interaksi keduanya.
Visualnya pake yang begini atau yang cartoon aja🙂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Anonymous
Yang ini keren
2024-08-28
0
Kita Masak Kita Makan
hadirrr
2024-08-07
0
Elza Septina
jangan yg cartoon lah ga keren
2024-08-02
0