Akibat pemecatan tidak terhormat yang didapatnya kemarin, Naina memilih pulang ke panti lebih cepat dari rencana. Daripada menghabiskan waktu di kosannya yang sempit, hanya akan menambah sakit kepala.
Jarak panti dari kosnya tidak terlalu jauh, setengah jam sudah cukup baginya melakukan perjalanan menggunakan taksi. Naina sudah mengabari perihal pemecatannya pada Risa. Memberitahu Risa, bahwa dirinya akan tinggal untuk sementara waktu, untuk menenangkan dirinya.
"Ibu..." panggil Naina, yang baru saja memasuki pekarangan panti yang tidak terlalu luas, tetapi cukup luas bagi anak-anak untuk bermain. Arnita tengah menimang bayi di teras saat itu. Seketika tersenyum sumringah saat melihat anak kesayangannya.
"Naina... katanya datang akhir pekan." sapanya senang.
Naina hanya tersenyum kecut, enggan membahas kejadian yang sangat traumatis baginya. Terdengar lebay memang, tetapi Naina benar-benar tidak ingin membahas hal itu.
"Kamu enggak kerja Nak?" sambil membiarkan Naina mencium tangannya.
"Enggak Bu, hari ini ada acara di kantor, tapi anak-anak baru kayak Naina belum terlalu diperlukan, cuma orang-orang penting di kantor aja. Makanya Naina mutusin buat datang ke sini aja." jelasnya berbohong.
"Ohh.. Kamu udah makan, di dapur masih ada sisa lauk adik-adik kamu. Makan gih."
"Enggak usah Bu. Naina baru makan kok sebelum ke sini." tolaknya. "Bu, bayinya?" tanya Naina melirik bayi dalam gendongan Arnita.
"Oh.. ini. Namanya Diah, baru datang minggu kemarin, dititip sama keluarganya. Katanya kedua orang tuanya udah meninggal karena kecelakaan." jelas Arni sambil menimang-nimang bayi tersebut.
Naina menjadi murung, untuk yang kesekian kalinya selalu seperti ini. Merasa sesak setiap ada anak-anak yang dititipkan di panti ini. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang masih keluarga, tetapi mereka tidak mau merawat. Hingga mereka sanggup membuangnya di tempat ini.
"Keluarganya nggak mau rawat?" sambil mengambil bayi mungil tersebut. "Lucu banget." Naina gemas.
"Kayaknya. Katanya nanti mereka bakal datang setiap sekali sebulan."
"Ibu percaya?"
Arnita hanya menggeleng. Tersenyum miris setiap mengingat janji keluarga dari anak-anak asuhnya yang berjanji akan sering mengunjungi. Di awal mereka akan datang, tetapi selanjutnya, semua hanya tinggal janji. Anak-anak ini dilupakan.
Arnita memperhatikan Naina yang tengah asik bermain dengan Diah. Ada kebanggaan tersendiri dalam dirinya karena telah membesarkan Naina. Naina anak yang teguh, baik dan juga tulus. Selama masih tinggal bersama Naina yang lebih sering menjadi temannya, layaknya ibu dan anak.
Setelah Naina memilih hidup mandiri pun, Naina tetap dekat dengannya. Bahkan saat sudah tinggal terpisah, Naina tidak pernah lupa mengirimkan sedikit dari gaji paruh waktunya untuk membantu panti. Memang tidak seberapa, tetapi itu sudah cukup untuk membuktikan betapa besar hati gadis ini.
***
"Bu... Ibu nggak lagi bercanda kan?" suara Naina setengah berteriak, akibat rasa terkejut setelah mendengar penuturan Arnita baru saja. Rasanya seperti mimpi, saat mendengar perjodohannya dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Arnita tidak tega, tetapi dia juga tidak bisa mengingkari janjinya. Dilema. Itu yang Arnita rasakan. Rasanya tidak tega membiarkan anak kesayangannya menikah dengan lelaki yang bahkan memiliki umur yang terpaut jauh dengan Naina.
"Maafkan Ibu Nak. Ibu tidak punya pilihan. Kami ingat waktu kamu masih SMA? Waktu ibu benar-benar tidak punya uang buat bayar uang sekolah kamu? Ibu minta tolong pada orang itu Nak. Mereka setuju, tapi dengan syarat, kamu harus menikah dengan putra mereka." jelas Arnita berharap Naina mengerti.
"Tapi Bu, bukan berarti hanya karena uang itu, Naina harus menikah dengan putra mereka. Berapa yang Ibu minta, biar Naina bayar sekarang."
"Bayar? Kamu tidak akan mampu membayarnya Nak. Bukan hanya kamu Nak. Biaya sekolah adik-adik kamu, dan semua kebutuhan panti ini, mereka yang menanggung. Bukan setahun dua tahun. Sejak kamu masih kecil, mereka sudah membiayai kehidupan kita Nak. Ibu tidak yakin, kamu bisa membayar semua itu. Jumlahnya... pasti tidak sedikit."
Arnita terengah, menjelaskan pada Naina. Dan benar saja, hal itu membuat Naina terperangah.
"Ibu..." masih belum percaya.
"Ibu tidak punya pilihan Naina. Kalau kamu tidak bersedia menerima pernikahan ini, Ibu tidak yakin mereka masih mau membantu panti ini. Dan Ibu tidak tau lagi gimana nantinya panti ini, kalau mereka berhenti menyalurkan dana ke panti ini. Mungkin adik-adikmu akan kesulitan dalam segala biaya sekolahnya, karena hanya mereka penyumbang terbesar panti ini."
Kali ini Arnita memanfaatkan kebesaran hati Naina. Dia yakin Naina tidak akan tega membiarkan mereka kesulitan seperti yang dia katakan.
Dan memang seperti tebakan Arnita, Naina terenyuh. Tidak sanggup membayangkan adik-adiknya merasakan kesulitan yang lebih parah darinya.
"Apa memang tidak ada pilihan lain Bu selain menikah dengan pria itu? Naina bisa kok melakukan apapun, asal tidak menikah."
Naina mencoba bernegosiasi. Terlepas dari ketidaktahuannya dengan siapa ia akan menikah, hanya saja Naina belum siap mengambil langkah menuju jenjang sejauh itu. Mengurus hidupnya sendiri saja, kadang ia merasa tidak kompeten. Apalagi nanti, mengurus satu orang lagi dalam hidupnya. Entah bagaimana nantinya pernikahan itu.
"Kalau memang ada pilihan lain, Ibu tidak akan mungkin membiarkanmu dengan pilihan ini. Maafkan Ibu Nak, Ibu telah mempertaruhkan masa depanmu hanya untuk kehidupan kita di panti ini." penuh rasa bersalah Arnita berucap.
Mau tidak mau, Naina harus bersedia dengan keputusan ini. Menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia temui. Umur, rupa, bahkan kepribadiannya, Naina tidak tau sama sekali. Hanya berbekal pengetahuan, bahwa calon suaminya itu adalah anak dari pengusaha kaya raya.
Kaya raya? Naina tidak tertarik sama sekali, walaupun pria itu kaya. Prinsip Naina dalam memilih pasangan hidup, adalah tanggungjawab dan kebijaksanaan. Baginya, kekayaan hanyalah bonus yang patut disyukuri.
"Minggu depan?" lirihnya diiringi senyum masam. Naina tengah duduk di teras, sambil meratapi masa depannya di malam yang dingin ini.
Naina terus mengulangi kalimat itu. Minggu depan. Hari dimana pernikahannya akan segera diadakan. Jelas Naina syok, membuat gadis yang jarang menangis ini menitikkan air matanya.
Secepat itukah?
"Ok Naina. Semua ini demi adik-adikmu. Kamu harus kasihan sama Ibu, dia pasti udah capek jadi tulang punggung selama ini." lirihnya, berusaha menyemangati dirinya sendiri.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Fella Anggraeni
visual jan kartun lah ka
2022-09-29
1
Meili Mekel
visualx gambar ya
2022-08-20
0
Suzhy
up
2022-02-25
0